Halaman

Jumat, 17 Februari 2012

Argumentasi


Jangan Tertipu Kemasan!

Oleh: Husnul Khatimah Arief
Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Instik Annuqayah, Madura

            Calon mahasiswa tidak boleh salah pilih perguruan tinggi, karena ini sangat terkait dengan keseriusan belajar.  Jika kampus yang dipilih tidak sesuai dengan harapan, maka tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti ia akan ugal-ugalan kuliah dan hasil yang akan didapatkan juga tidak akan memuaskan.
            Melihat kualitas kampus tentu tidak hanya terbatas pada akreditasi, karena akreditasi kerap menipu dan tidak sesuai dengan realita di lapangan. Sering kita temukan perguruan tinggi yang terakreditasi A tapi fasilitas yang tersedia sangat terbatas. Ini tentu sangat merugikan mahasiswa. Dalam hal ini, barangkali yang harus dijadikan barometer  adalah out put perguruan tinggi. Out put sangat menentukan pada baik tidaknya mutu perguruan tinggi.
            Selain kapabilitas out put, hal yang tak kalah penting untuk dijadikan tolok ukur adalah dosen dan pengelola perguruan tinggi. Dosen yang kompeten dan profesional tentu saja mampu mendidik mahasiswanya dengan baik. Jika ladangnya subur dan bibitnya unggul, maka buahnya akan segar dan berkualitas. Ladang di sini adalah kampus, bibit adalah dosen dan buah adalah mahasiswa.

Keterangan: tulisan ini dimuat di harian Kompas Kampus rubric Argumentasi.

Resensi


Berkenalan Dengan Pemikiran Tokoh Islam Terkemuka
Judul Buku: The Magnificent Seven; Ulama’-Ulama’ Inspirator Zaman
Penulis: Dr. KH. A. Malik Madany, M. A.
Penerbit: Pustaka Pesantren
Tahun Terbit: 2010
Terbal Buku: 168 + x halaman
Peresensi: Khatim Arief

Dalam khazanah keilmuan Islam, ada banyak produksi pemikiran yang berhasil dilahirkan oleh ulama’-ulama’ klasik dan kontemporer. Ide dan pemikiran yang dicetuskan mereka menjadi kontribusi terhadap perjalanan intelektual umat Islam. Secara garis besar, hal ini sangat terkait dengan kehadiran al-Quran yang sifatnya inklusif untuk ditafsirkan siapapun di setiap zaman. Tak berlebihan kiranya ketika Abdullah Darraz dalam kitabnya an-Naba’ al-Adhim mengatakan bahwa al-Quran bagai intan permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedan dalam menafsirkan al-Quran adalah sebuah keniscayaan, karena al-Quran sendiri bersifat global dan menyimpan banyak makna. Pernyataan afirmatif tersebut semakin mengokohkan bahwa al-Quran adalah satu-satunya kitab yang shalih likulli zaman wa makan.  Ini tak lain karena kandungan al-Quran selalu relevan dengan kondisi zaman. 
Terkait dengan mufassir, Dr. KH. A. Malik Madany, M. A. mencoba untuk mengurai pemikiran beberapa tokoh tafsir beserta kitabnya dalam buku “The Magnificent Seven; Ulama’-Ulama’ Inspirator Zaman” ini. Ia meng-cover  beberapa pemikiran tokoh yang dianggapnya sebagai inspirator umat. Di dalamnya, ia memperkenalkan biografi sembilan tokoh beserta masterpiece-nya untuk dijadikan obyek pembahasan. Diantaranya: Ibnu Katsir pemilik kitab tafsir monumental At-Tafsir fi al-Quran al-karim, Syah Waliyullah ad-Dihlawi pemilik kitab Hujjah Allah al-Balighah, az-Zamahsyari pengarang tafsir al-Kassyaf, al-Ghazali penggagas Ihya’ Ulumuddin, al-Mawardi pengarang tafsir al-Hawiy al-Kabir, Muhammad Abduh-Rasyid Ridha penggubah tafsir al-Manar, dan Jalaluddin al-Mahalli-Jalaluddin as-Suyuthi pengarang Tafsir Jalalain.  
Buku ini bukan dimaksudkan sebagai ensiklopedi atau kajian yang terlalu mendalam, melainkan hanya sebuah tinjauan yang –meski singkat- tampak kritis. Dalam arti, sekalipun kitab-kitab yang disebutkan di buku ini tergolong mu’tabarah, yakni kitab yang diakui keotentikannya, namun sikap mensakralkan dan menganggap benar semua yang tersurat di dalamnya adalah tindakan yang kurang tepat. Karya ulama’ masih terbuka lebar untuk didiskusikan dan dikritisi bersama. Hal ini bukan berarti ingin melecehkan kitab tersebut, akan tetapi sekedar menempatkan kitab tersebut secara adil dan proporsional.
Penulis memulai pembahasannya dari Ibnu Katsir dan kitabnya. At-Tafsir fi al-Quran al-karim adalah kitab tafsir yang menjadi rujukan penting di kalangan pesantren. Mengingat, penulisnya adalah seorang tokoh bermadzhab Syafi’i, madzhab yang dianut oleh sebagian besar pesantren di Nusantara ini. Namun, satu hal yang luput dari pengamatan santri adalah kenyataan bahwa Ibnu Katsir termasuk salah satu murid Ibnu Taimiyah, tokoh yang kerap mengundang sikap “alergi” di sebagian besar umat Islam. Tafsir yang bergenre bil ma’tsur ini terdiri dari empat jilid. Di dalamnya, beliau menafsirkan al-Quran berdasarkan pada ayat, hadis, qaulu as-shahabah dan tabi’in.
Selain Ibnu Katsir, penulis mengenalkan tokoh asal India yang nyaris dilupakan oleh umat Islam saat ini, yaitu Syah Waliyullah ad-Dihlawi. Pemikirannya sedikit banyak sudah bergema di Nusantara ini. Faktanya, ide-ide beliau diadopsi secara apik oleh ulama’ terkemuka seperti KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama’, dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama’. Karya yang mampu membesarkan namanya adalah Hujjah Allah al-Balighah yang berisi tentang filsafat hukum Islam. Satu hal yang menonjol darinya adalah kepiawaiannya dalam mengkompromikan Fiqh dan Tasawwuf sebagaimana yang sebelumnya dilakukan oleh imam al-Ghazali.
Tidak hanya seputar tafsir, pembaca juga dibawa pada ranah pemikiran politik al-Mawardi dalam karyanya al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Penulis memaparkan bahwa al-Mawardi menghukumi wajib bagi terbentuknya institusi imamah di sebuah negara. Kewajiban ini didasarkan pada konsensus ulama’. Beliau menetapkan beberapa syarat yang mesti dipenuhi untuk menjadi khalifah. Namun sayang, ketentuan tersebut nampaknya hanya tertentu pada pemerintahan di Arab.
Di lembar berikutnya, pembaca akan dihadapkan dengan pemikiran dua tokoh yang dikenal sebagai ahlu ar-ra’yi, yaitu Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha. Keduanya mengarang tafsir al-Manar yang muncul di abad keduapuluh. Kitab ini disinyalir berada pada deretan pertama, baik dalam hal popularitas tokoh penulisnya maupun dalam hal kualitas isi yang dikandungnya. Dalam tafsirnya, keduanya berupaya mendialogkan al-Quran dengan keadaan sosio-kultural mayarakat, karena keduanya lebih menekankan fungsi al-Quran sebagai hudan bagi manusia. Tak salah jika kemudian tafsir ini dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak al-adabi wa al-ijtima’i yang mekanisme penafsirannya menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan.
Di bagian akhir, penulis merilis kitab tafsir jalalain karya “Duo Jalaluddin”, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddi as-Suyuthi. Tentu kitab ini tidak asing lagi didengar di kalangan pesantren, karena diakui atau tidak, sebagian besar pesantren menggunakan kitab ini sebagai rujukan utama. Salah satu alasan kenapa kitab ini begitu digandrungi oleh sebagian besar masyarakat Islam adalah karena muallif menggunakan metode ijmali dalam mengungkap makna-makna al-Quran. Hal ini tentu saja akan memudahkan bagi siapapun yang ingin mendapatkan penafsiran ayat secara cepat dan menyeluruh.
“The Magnificent Sevent” ini bisa dijadikan buku pengantar bagi mereka yang ingin mengenal lebih dekat dengan kitab dan tokoh yang disebut tadi. Buku ini sangat disayangkan tidak menghadirkan perwakilan tokoh dari tiap masa (periode klasik, pertengahan dan kontemporer). Penulis juga terkesan tidak memiliki tolok ukur yang jelas atas pemilihan tokoh tersebut. Seandainya penulis menghadirkan mufassir Indonesia yang tafsirnya tidak kalah populer dengan tafsir karya ulama’ Timur Tengah, katakanlah Quraish Shihab dan Buya Hamka, maka pengetahuan di dalam buku ini akan tampak sempurna.. Namun terlepas dari itu, penyajian yang sederhana, ringkas, namun kritis ini menjadikan pembaca cukup puas.
Keterangan: tulisan ini diikutkan dalam lomba Resensi Mahasiswa Latee II yang diadakan oleh pengurus Departemen Pendidikan dan Pengembangan Intelektual PPA Latee II.

Gagasan


Hindari Anarkisme!
Mahasiswa sebagai agent of control memang tak wajar jika hanya berdiam diri. Mahasiswa berkewajiban untuk mengontrol gerak langkah pejabat dalam mengatur negeri. Sejauh ini, mahasiswa tampaknya sudah menjalankan perannya tersebut dengan berupaya mengkritisi cara kerja elite politik yang belakangan ini tidak memberi kepuasan pada rakyat.  Cara menyampaikan aspirasi yang mereka lakukan  lebih cenderung pada tindakan-tindakan anarkis yang membahayakan, aksi demonstrasi dan aksi bakar diri misalnya. Aksi bakar diri yang dilakukan Sondang Hutagalung di depan Istana Presiden kemarin cukup menjadi contoh tindakan mahasiswa yang kurang tepat.
                       Prilaku anarkis tentu mencerminkan sosok mahasiswa yang terlalu terburu-buru dan gegabah dalam mengambil tindakan yang mengandung riskan tersebut. Mahasiswa terkesan menonjolkan egosentrisme sebelum terlebih dahulu mengambil tindakan yang lebih sopan dan terpuji. Dalam Islam, aksi demonstrasi –apalagi bakar diri- adalah alternatif terakhir dalam  menyampaikan aspirasi.
                       Islam melarang seseorang atau sekelompok orang melakukan demonstrasi sebelum melakukan aksi yang lebih santun, seperti mengirim surat terlebih dahulu atau mengajak berunding dalam forum yang lebih tertutup, sebagaimana hadis Nabi Saw. man kaanat ‘indahu nashihatun lidzi sulthanin fala yukallimhu biha ‘alaniyatan wal ya’khudz biyadihi falyakhlu bihi. Nah, inilah yang seharusnya diutamakan oleh mahasiswa. Baru jika opsi pertama ini tidak mempan, demonstrasi boleh dilakukan. Tapi dengan catatan, dalam tataran praktiknya harus tetap mengindahkan nilai-nilai agama dan sosial.

Gagasan


Membangun Komunikasi Politik yang Efektif
Kejadian anarkistis yang belakangan ini kerap terjadi, seperti insiden pembakaran kantor Bupati di Bima, sempat menyedot perhatian kita. Ini adalah indikasi akan lambannya para birokrat dalam merespon dan mengantisipasi dinamika sosial masyarakat. Pembakaran ini hanyalah satu diantara banyak kasus konflik di sejumlah tempat terkait kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah adanya krisis komunikasi yang efektif antara birokrat dan rakyat. Padahal, komunikasi yang bijak, efektif, cepat dan tepat adalah kebutuhan yang sangat mendesak dalam membangun demokrasi yang partisipatoris.
            Di era reformasi dengan representasi rentan marah dalam menyampaikan aspirasi ini mengharuskan komunikasi antara rakyat dan para birokrat cepat diselenggarakan, sebab –sekali lagi- ini adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Penentuan  kebijakan yang dilakukan sepihak an sich tanpa intervensi suara rakyat  tentu akan menyulut api kemarahan yang belakangan akan berujung pada sengketa dan tindakan anarkisme rakyat. Pengunjuk rasa di Cikarang, pengunjuk rasa di depan gedung DPR/MPR, pengunjuk rasa di Bima dan di sejumlah tempat adalah beberapa contohnya.
            Persolaan negara semestinya diselesaikan bersama dengan cara melakukan komunikasi secara kontinuitas antar komponen. Jangan biarkan rakyat menyelesaikan sendiri persoalannya atau membiarkan persoalan selesai dengan sendirinya. Hal yang terkait dengan kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab bersama.



No. Hp: 087850022277



Essai


Bangun Negara Seperti Sepak Bola
Oleh: Khatim Arief
Pada awalnya, saya sangat tidak menyukai pertandingan sepak bola. Kenapa? Karena permainan sepak bola bagi saya benar-benar membosankan. Pemainnya hanya berputar-putar di sekitar lapangan hijau. Saya justru pusing menontonnya. Ketika saya beserta keluarga menonton TV, pasti paman akan mengubah channel TV jika ternyata ada yang menayangkan turnamen Foot Ball. Tentu saja saya protes. Paman berbuat semaunya. Saya juga punya hak untuk menonton acara TV yang lain. Waktu itu saya memang menyukai film “Angling Darma” -seperti halnya remaja-remaja di kampung saya- yang ditayangkan setiap malam Kamis di Indosiar. Tapi mau bagaimana lagi? saya tetap kalah dan tak bisa memenuhi keinginan untuk mengikuti cerita legendaris “Angling Darma”, karena paman banyak pendukungnya. Mulai dari kakak, sepupu, dan anak-anak tetangga yang juga ikut nimbrung menonton pertandingan itu. Jika sudah demikian, saya langsung ke kamar saja untuk tidur lebih awal.
Tetapi beberapa bulan kemudian, entah bagaimana ceritanya, ketika duduk di bangku IX Madrasah Tsanawiyah saya berubah haluan. Saya mulai “jatuh hati” pada bola. Saya tidak ingin ketinggalan menonton setiap kompetisinya di channel-channel televisi, Timnas Vs. Tim Gajah Putih atau Timnas Vs Malaysia, misalnya. Mungkin ini berawal dari seringnya keluarga saya menonton sepak bola, hingga saya tidak diberi kesempatan untuk sekedar menonton film kesukaan saya. Mau tak mau, secara terpaksa saya kadang nimbrung juga untuk menonton bola. Tanpa saya sadari, hal ini juga menjadikan saya senang menonton pertandingan sepak bola yang dilakukan teman-teman lelaki saya di lapangan sekolah. Setiap mereka akan bertanding, saya dan teman-teman yang lain pasti dipanggil untuk menjadi supporternya.
Dan sampai saat ini kecintaan saya pada bola masih tetap subur. Sebagai anak pesantren, tentu saya dilarang menonton TV (karena memang tidak ada TV J). Tapi saya tidak kehilangan akal, di pesantren masih ada koran. Ya, saya masih bisa membaca perkembangan dunia persepakbolaan di koran lokal atau nasional. Maka ketika saya berada di kantor, saya langsung mengambil Harian Jawa Pos rubrik Sportainment, rubrik yang menyajikan olah raga sepak bola atau Harian Kompas rubrik Olah Raga. Setelah membaca, Saya akan kegirangan setelah tahu bahwa Timnas kebanggaan saya berhasil membantai lawannya atau saya malah kecewa dan sedih ketika mengetahui Timnas bertekuk lutut dihadapan rivalnya, seperti turnamen di SEA Games yang melibatkan Timnas U-23 kemarin. Lagi-lagi, mereka harus kalah untuk yang kesekian kalinya menghadapi Malaysia, rival yang memang menjadi momok bagi pemain Indonesia. Tapi saya yakin, kapten Egi Melgiansyah, Trio Papua (Okto, Tibo, Wanggai), Kurnia Meiga si penjaga gawang, Ferdinand Sinaga, Andik Vermansyah si kecil-kecil cabe rawit dan yang lainya adalah pemain-pemain Timnas yang tangguh dan luar biasa. Hanya saja, keberuntungan belum berada di pihak mereka.
Kecintaan saya pada bola sering dicibir oleh teman-teman lelaki saya. Mereka menganggap saya aneh dan perempuan langka, karena itu bukan dunia saya katanya. Tapi tak masalah. Sepak bola masih tetap istimewa di mata saya, karena saya menilai ada banyak hikmah yang bisa dipetik  dari pertandingan sepak bola. Persaudaraan dan kekompakan antar pemain, itu yang saya suka. Perbedaan latar belakang, budaya, suku dan agama tak mampu menembus dinding-dinding persatuan mereka. Semua berjuang demi satu kata, Indonesia. Dalam sepak bola juga tidak ada unsur manipulasi untuk memilih siapa yang akan menjadi pemenang. Semua orang dapat menentukan dan melihat sendiri tim yang berhak menang dan tim yang pantas kalah –terlepas dari adanya unsur sogokan untuk mengalah.
Di samping itu, untuk menjadi pemenang pemain harus mempertahankan bola yang ada dalam ‘genggamannya’ agar tidak direbut pihak lawan untuk kemudian dijebolkan ke gawang. Dengan perjuangan yang berdarah-darah, tentu antar pemain akan membentuk kerjasama yang baik dan kukuh. Jika salah satu diantara mereka lengah dan lalai, maka dipastikan bola tidak akan pernah menembus gawang. Demikian pula sebaliknya. Lalu apa hubungannya dengan kehidupan kita? Terkait dengan negara, analogi seperti ini yang seharusnya menjadi benih internalisasi founding fathers Indonesia sehubungan dengan pembangunan negara. Negara kita perlu kerja sama yang baik antar elite politik atau rakyat dengan elite politik. Hal ini dilakukan demi keberhasilan ‘mencetak gol’, yaitu membawa Indonesia pada muara kejayaannya.
Mari kita meluangkan waktu sejenak untuk menilai bersama fenomena politik di Indonesia. Di penghujung tahun 2011, kabar media malah dimeriahkan dengan tindakan-tindakan bejat elite politik, endemi korupsi yang semakin massif. Ketidak tegasan KPK memberantas korupsi malah membuka peluang bagi calon-calon koruptor untuk melakukan hal yang sama. Katakanlah Nazaruddin, Malinda, Anas Urbaningrum, Nunun Nur Baeti,  dan yang baru-baru ini adalah Wa Ode Nurhayati. Mereka mengeruk uang kita secara atomistik. Tanpa bersalah mereka merebut ‘makanan’ yang seharusnya menjadi hak kita.
Ini menunjukkan bahwa di negara kita tidak ada kerja sama yang baik antar elite politik. Sebagian orang melakukan korupsi dan sebagian yang lain malah melindungi dan mengadvokasi. Padahal seharusnya mereka tak perlu dibela. Mereka tak perlu dilindungi. Tapi, mereka perlu diberi pendidikan agar tidak mengulangi lagi. Kerja sama yang semestinya mereka bangun adalah kerja sama untuk menjadikan negara Indonesia maju. Jika satu pihak berupaya dengan gigih memperjuangkan kemajuan, maka tidak selayaknya yang lain justru merusak dengan tindakan-tindakan destruktif. Bagaimana bisa maju jika antar pihak belum bekerja sama secara simultan?
Itu masalah yang hanya terdapat di tubuh elite politik. Beda lagi masalahnya ketika berbicara hubungan rakyat dengan elite politik. Kita pasti sudah tahu bahwa baru-baru ini terjadi kasus pelanggaran HAM dan kekerasan di Mesuji dan Bima yang berujung sengketa antara warga dan aparat kepolisian. Di Mesuji konflik lahan dan di Bima konflik tambang. Apa penyebabnya? tidak lain karena antara rakyat dan pemerintah tidak ada keselarasan dalam menentukan kebijakan. Jika rakyat memilih “A”, maka pemerintah memilih “B”. Persengketaan itu berakhir secara tragis hingga ada korban yang terbunuh. Seandainya sejak semula mereka duduk bersama dan bermusyawarah untuk mufakat, maka persengkatan paranoid itu mungkin tidak akan pernah terjadi. Jika sudah seperti itu, lantas siapa yang pantas disalahkan?
Sengketa tersebut menimbulkan efek domino sampai detik ini. Kamis lalu (13/1), media massa mengekspos kabar bahwa unjuk rasa besar terkait konflik agraria terjadi di sejumlah kota di Indonesia yang melibatkan para petani, nelayan, buruh, mahasiswa, aparat desa, dan lain sebagainya. Mereka menyusun kekuatan untuk menuntut pembaruan agraria dan keberpihakan pemerintah pada rakyat. Pesan yang disampaikan pengunjuk rasa tampak jelas. Mereka ingin menyadarkan  bahwa konflik di sejumlah tempat, seperti di Mesuji dan Bima, adalah bagian kecil dari konflik-konflik lahan yang selama ini terjadi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan konflik agraria sudak mencapai ratusan yang  bisa saja luput dari pantauan media massa. Mereka menilai ada ketidak adilan di sana. Ketidak adilan itu sudah semestinya menjadi catatan pemerintah.
Berdasarkan data Badan dan Pertahanan Nasional (BPN) tahun 2010, sekitar 0,2 persen penduduk Indonesia kini menguasai 56 persen aset Nasional, yang 87 persen di antara aset itu berupa tanah. Selain itu, 7,2 juta hektar tanah yang dikuasai swasta sengaja ditelantarkan. Ketimpangan penguasaan lahan itu diduga menjadi pemicu konflik pertahanan di Indonesia. Pembaruan agraria adalah amanat bangsa sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR tahun 2011 (Kompas, 14 Januari 2012).
Untuk menuntaskan ketidak adilan agraria, pemerintah harus segera merealisasikan pembaruan agraria. Pemerintah harus bisa meyakinkan rakyat bahwa ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini membelenggu mereka tentang implementasi UU Pembebasan Tanah yang diduga akan memarjinalkan rakyat tidak akan pernah terjadi. Pemerintah harus membuktikan bahwa mereka sebagai wakil rakyat bukanlah pengecut yang tidak bisa mempertanggung jawabkan kata-katanya.
Begitulah potret buram negara kita. Negara yang belum seutuhnya sejahtera. Negara yang masih merangkak menuju kulminasi kejayaannya. Mari kita ambil hikmah dari permainan sepak bola. Timnas akan menang jika antar anggota Timnas berafiliasi dengan baik. Timnas akan berhasil mencetak gol berkali-kali jika didukung dengan rasa persaudaraan dan kemampuan yang memadai. Jangan jadikan perbedaan agama, ras, suku dan budaya sebagai dalih untuk mengabaikan persatuan. Kita hidup di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas. Jangan pernah ciptakan dikotomi antara pemerintah dan rakyat. Semua sama. Sama-sama berhak mendapatkan kehidupan yang layak.

Untuk pecinta Timnas, yakinlah Timnas kita akan tetap jaya
meski PSSI tak jelas arahnya.