Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin Instik Annuqayah, Madura
Calon
mahasiswa tidak boleh salah pilih perguruan tinggi, karena ini sangat terkait
dengan keseriusan belajar.Jika kampus yang
dipilih tidak sesuai dengan harapan, maka tidak menutup kemungkinan suatu saat
nanti ia akan ugal-ugalan kuliah dan hasil yang akan didapatkan juga
tidak akan memuaskan.
Melihat
kualitas kampus tentu tidak hanya terbatas pada akreditasi, karena akreditasi
kerap menipu dan tidak sesuai dengan realita di lapangan. Sering kita temukan
perguruan tinggi yang terakreditasi A tapi fasilitas yang tersedia sangat
terbatas. Ini tentu sangat merugikan mahasiswa. Dalam hal ini, barangkali yang
harus dijadikan barometeradalah out
put perguruan tinggi. Out put sangat menentukan pada baik tidaknya
mutu perguruan tinggi.
Selain
kapabilitas out put, hal yang tak kalah penting untuk dijadikan tolok
ukur adalah dosen dan pengelola perguruan tinggi. Dosen yang kompeten dan
profesional tentu saja mampu mendidik mahasiswanya dengan baik. Jika ladangnya
subur dan bibitnya unggul, maka buahnya akan segar dan berkualitas. Ladang di
sini adalah kampus, bibit adalah dosen dan buah adalah mahasiswa.
Keterangan: tulisan ini dimuat di harian Kompas Kampus rubric
Argumentasi.
Judul
Buku: The Magnificent Seven; Ulama’-Ulama’ Inspirator Zaman
Penulis:
Dr. KH. A. Malik Madany, M. A.
Penerbit:
Pustaka Pesantren
Tahun
Terbit: 2010
Terbal
Buku: 168 + x halaman
Peresensi:
Khatim Arief
Dalam khazanah keilmuan Islam, ada
banyak produksi pemikiran yang berhasil dilahirkan oleh ulama’-ulama’ klasik dan
kontemporer. Ide dan pemikiran yang dicetuskan mereka menjadi kontribusi
terhadap perjalanan intelektual umat Islam. Secara garis besar, hal ini sangat
terkait dengan kehadiran al-Quran yang sifatnya inklusif untuk ditafsirkan siapapun
di setiap zaman. Tak berlebihan kiranya ketika Abdullah Darraz dalam kitabnya an-Naba’
al-Adhim mengatakan bahwa al-Quran bagai intan permata yang setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang
lain. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedan dalam menafsirkan al-Quran adalah
sebuah keniscayaan, karena al-Quran sendiri bersifat global dan menyimpan
banyak makna. Pernyataan afirmatif tersebut semakin mengokohkan bahwa al-Quran
adalah satu-satunya kitab yang shalih likulli zaman wa makan. Ini tak lain karena kandungan al-Quran
selalu relevan dengan kondisi zaman.
Terkait dengan
mufassir, Dr. KH. A. Malik Madany, M. A. mencoba untuk mengurai pemikiran beberapa
tokoh tafsir beserta kitabnya dalam buku “The Magnificent Seven; Ulama’-Ulama’
Inspirator Zaman” ini. Ia meng-coverbeberapa pemikiran tokoh yang dianggapnya sebagai inspirator umat. Di
dalamnya, ia memperkenalkan biografi sembilan tokoh beserta masterpiece-nya
untuk dijadikan obyek pembahasan. Diantaranya: Ibnu Katsir pemilik kitab tafsir
monumental At-Tafsir fi al-Quran al-karim, Syah Waliyullah ad-Dihlawi
pemilik kitab Hujjah Allah al-Balighah, az-Zamahsyari pengarang tafsir al-Kassyaf,
al-Ghazali penggagas Ihya’ Ulumuddin, al-Mawardi pengarang tafsir al-Hawiy
al-Kabir, Muhammad Abduh-Rasyid Ridha penggubah tafsir al-Manar, dan
Jalaluddin al-Mahalli-Jalaluddin as-Suyuthi pengarang Tafsir Jalalain.
Buku ini bukan dimaksudkan
sebagai ensiklopedi atau kajian yang terlalu mendalam, melainkan hanya sebuah
tinjauan yang –meski singkat- tampak kritis. Dalam arti, sekalipun kitab-kitab yang
disebutkan di buku ini tergolong mu’tabarah, yakni kitab yang diakui
keotentikannya, namun sikap mensakralkan dan menganggap benar semua yang
tersurat di dalamnya adalah tindakan yang kurang tepat. Karya ulama’ masih
terbuka lebar untuk didiskusikan dan dikritisi bersama. Hal ini bukan berarti
ingin melecehkan kitab tersebut, akan tetapi sekedar menempatkan kitab tersebut
secara adil dan proporsional.
Penulis memulai
pembahasannya dari Ibnu Katsir dan kitabnya. At-Tafsir fi al-Quran al-karim
adalah kitab tafsir yang menjadi rujukan penting di kalangan pesantren.
Mengingat, penulisnya adalah seorang tokoh bermadzhab Syafi’i, madzhab yang
dianut oleh sebagian besar pesantren di Nusantara ini. Namun, satu hal yang
luput dari pengamatan santri adalah kenyataan bahwa Ibnu Katsir termasuk salah
satu murid Ibnu Taimiyah, tokoh yang kerap mengundang sikap “alergi” di
sebagian besar umat Islam. Tafsir yang bergenre bil ma’tsur ini terdiri
dari empat jilid. Di dalamnya, beliau menafsirkan al-Quran berdasarkan pada ayat,
hadis, qaulu as-shahabah dan tabi’in.
Selain Ibnu
Katsir, penulis mengenalkan tokoh asal India yang nyaris dilupakan oleh umat
Islam saat ini, yaitu Syah Waliyullah ad-Dihlawi. Pemikirannya sedikit banyak sudah
bergema di Nusantara ini. Faktanya, ide-ide beliau diadopsi secara apik oleh
ulama’ terkemuka seperti KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama’, dalam Qanun
Asasi Nahdlatul Ulama’. Karya yang mampu membesarkan namanya adalah Hujjah
Allah al-Balighah yang berisi tentang filsafat hukum Islam. Satu hal yang
menonjol darinya adalah kepiawaiannya dalam mengkompromikan Fiqh dan Tasawwuf
sebagaimana yang sebelumnya dilakukan oleh imam al-Ghazali.
Tidak hanya
seputar tafsir, pembaca juga dibawa pada ranah pemikiran politik al-Mawardi
dalam karyanya al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Penulis memaparkan bahwa
al-Mawardi menghukumi wajib bagi terbentuknya institusi imamah di sebuah
negara. Kewajiban ini didasarkan pada konsensus ulama’. Beliau menetapkan
beberapa syarat yang mesti dipenuhi untuk menjadi khalifah. Namun sayang,
ketentuan tersebut nampaknya hanya tertentu pada pemerintahan di Arab.
Di lembar
berikutnya, pembaca akan dihadapkan dengan pemikiran dua tokoh yang dikenal sebagai
ahlu ar-ra’yi, yaitu Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha. Keduanya
mengarang tafsir al-Manar yang muncul di abad keduapuluh. Kitab ini disinyalir
berada pada deretan pertama, baik dalam hal popularitas tokoh penulisnya maupun
dalam hal kualitas isi yang dikandungnya. Dalam tafsirnya, keduanya berupaya
mendialogkan al-Quran dengan keadaan sosio-kultural mayarakat, karena keduanya lebih
menekankan fungsi al-Quran sebagai hudan bagi manusia. Tak salah jika
kemudian tafsir ini dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak al-adabi wa
al-ijtima’i yang mekanisme penafsirannya menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan.
Di bagian
akhir, penulis merilis kitab tafsir jalalain karya “Duo Jalaluddin”,
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddi as-Suyuthi. Tentu kitab ini tidak asing
lagi didengar di kalangan pesantren, karena diakui atau tidak, sebagian besar
pesantren menggunakan kitab ini sebagai rujukan utama. Salah satu alasan kenapa
kitab ini begitu digandrungi oleh sebagian besar masyarakat Islam adalah karena
muallif menggunakan metode ijmali dalam mengungkap makna-makna
al-Quran. Hal ini tentu saja akan memudahkan bagi siapapun yang ingin
mendapatkan penafsiran ayat secara cepat dan menyeluruh.
“The
Magnificent Sevent” ini bisa dijadikan buku pengantar bagi mereka yang ingin
mengenal lebih dekat dengan kitab dan tokoh yang disebut tadi. Buku ini sangat
disayangkan tidak menghadirkan perwakilan tokoh dari tiap masa (periode klasik,
pertengahan dan kontemporer). Penulis juga terkesan tidak memiliki tolok ukur
yang jelas atas pemilihan tokoh tersebut. Seandainya penulis menghadirkan mufassir
Indonesia yang tafsirnya tidak kalah populer dengan tafsir karya ulama’ Timur
Tengah, katakanlah Quraish Shihab dan Buya Hamka, maka pengetahuan di dalam
buku ini akan tampak sempurna.. Namun terlepas dari itu, penyajian yang
sederhana, ringkas, namun kritis ini menjadikan pembaca cukup puas.
Keterangan: tulisan ini diikutkan
dalam lomba Resensi Mahasiswa Latee II yang diadakan oleh pengurus Departemen Pendidikan
dan Pengembangan Intelektual PPA Latee II.
Mahasiswa sebagai
agent of control memang tak wajar jika hanya berdiam diri. Mahasiswa
berkewajiban untuk mengontrol gerak langkah pejabat dalam mengatur negeri. Sejauh
ini, mahasiswa tampaknya sudah menjalankan perannya tersebut dengan berupaya
mengkritisi cara kerja elite politik yang belakangan ini tidak memberi kepuasan
pada rakyat.Cara menyampaikan aspirasi
yang mereka lakukanlebih cenderung pada
tindakan-tindakan anarkis yang membahayakan, aksi demonstrasi dan aksi bakar
diri misalnya. Aksi bakar diri yang dilakukan Sondang Hutagalung di depan
Istana Presiden kemarin cukup menjadi contoh tindakan mahasiswa yang kurang tepat.
Prilaku anarkis tentu mencerminkan
sosok mahasiswa yang terlalu terburu-buru dan gegabah dalam mengambil tindakan
yang mengandung riskan tersebut. Mahasiswa terkesan menonjolkan egosentrisme
sebelum terlebih dahulu mengambil tindakan yang lebih sopan dan terpuji. Dalam
Islam, aksi demonstrasi –apalagi bakar diri- adalah alternatif terakhir dalam menyampaikan aspirasi.
Islam melarang seseorang
atau sekelompok orang melakukan demonstrasi sebelum melakukan aksi yang lebih
santun, seperti mengirim surat terlebih dahulu atau mengajak berunding dalam
forum yang lebih tertutup, sebagaimana hadis Nabi Saw. man kaanat ‘indahu
nashihatun lidzi sulthanin fala yukallimhu biha ‘alaniyatan wal ya’khudz
biyadihi falyakhlu bihi. Nah, inilah yang seharusnya diutamakan oleh
mahasiswa. Baru jika opsi pertama ini tidak mempan, demonstrasi boleh dilakukan.
Tapi dengan catatan, dalam tataran praktiknya harus tetap mengindahkan
nilai-nilai agama dan sosial.
Kejadian anarkistis yang
belakangan ini kerap terjadi, seperti insiden pembakaran kantor Bupati di Bima,
sempat menyedot perhatian kita. Ini adalah indikasi akan lambannya para
birokrat dalam merespon dan mengantisipasi dinamika sosial masyarakat. Pembakaran
ini hanyalah satu diantara banyak kasus konflik di sejumlah tempat terkait kebijakan
pemerintah yang tidak pro-rakyat. Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah
adanya krisis komunikasi yang efektif antara birokrat dan rakyat. Padahal,
komunikasi yang bijak, efektif, cepat dan tepat adalah kebutuhan yang sangat mendesak
dalam membangun demokrasi yang partisipatoris.
Di era reformasi dengan representasi rentan marah dalam
menyampaikan aspirasi ini mengharuskan komunikasi antara rakyat dan para
birokrat cepat diselenggarakan, sebab –sekali lagi- ini adalah kebutuhan yang
sangat mendesak. Penentuan kebijakan
yang dilakukan sepihak an sich tanpa intervensi suara rakyat tentu akan menyulut api kemarahan yang belakangan
akan berujung pada sengketa dan tindakan anarkisme rakyat. Pengunjuk rasa di
Cikarang, pengunjuk rasa di depan gedung DPR/MPR, pengunjuk rasa di Bima dan di
sejumlah tempat adalah beberapa contohnya.
Persolaan negara semestinya diselesaikan bersama dengan
cara melakukan komunikasi secara kontinuitas antar komponen. Jangan biarkan
rakyat menyelesaikan sendiri persoalannya atau membiarkan persoalan selesai
dengan sendirinya. Hal yang terkait dengan kesejahteraan rakyat adalah tanggung
jawab bersama.
Pada awalnya, saya sangat tidak
menyukai pertandingan sepak bola. Kenapa? Karena permainan sepak bola bagi saya
benar-benar membosankan. Pemainnya hanya berputar-putar di sekitar lapangan
hijau. Saya justru pusing menontonnya. Ketika saya beserta keluarga menonton
TV, pasti paman akan mengubah channel TV jika ternyata ada yang menayangkan
turnamen Foot Ball. Tentu saja saya protes. Paman berbuat semaunya. Saya juga
punya hak untuk menonton acara TV yang lain. Waktu itu saya memang menyukai
film “Angling Darma” -seperti halnya remaja-remaja di kampung saya- yang
ditayangkan setiap malam Kamis di Indosiar. Tapi mau bagaimana lagi? saya tetap
kalah dan tak bisa memenuhi keinginan untuk mengikuti cerita legendaris
“Angling Darma”, karena paman banyak pendukungnya. Mulai dari kakak, sepupu,
dan anak-anak tetangga yang juga ikut nimbrung menonton pertandingan itu. Jika
sudah demikian, saya langsung ke kamar saja untuk tidur lebih awal.
Tetapi beberapa
bulan kemudian, entah bagaimana ceritanya, ketika duduk di bangku IX Madrasah
Tsanawiyah saya berubah haluan. Saya mulai “jatuh hati” pada bola. Saya tidak ingin
ketinggalan menonton setiap kompetisinya di channel-channel televisi, Timnas
Vs. Tim Gajah Putih atau Timnas Vs Malaysia, misalnya. Mungkin ini berawal dari
seringnya keluarga saya menonton sepak bola, hingga saya tidak diberi
kesempatan untuk sekedar menonton film kesukaan saya. Mau tak mau, secara
terpaksa saya kadang nimbrung juga untuk menonton bola. Tanpa saya sadari, hal
ini juga menjadikan saya senang menonton pertandingan sepak bola yang dilakukan
teman-teman lelaki saya di lapangan sekolah. Setiap mereka akan bertanding,
saya dan teman-teman yang lain pasti dipanggil untuk menjadi supporternya.
Dan
sampai saat ini kecintaan saya pada bola masih tetap subur. Sebagai anak
pesantren, tentu saya dilarang menonton TV (karena memang tidak ada TV J). Tapi saya tidak kehilangan akal, di pesantren masih ada koran.
Ya, saya masih bisa membaca perkembangan dunia persepakbolaan di koran lokal
atau nasional. Maka ketika saya berada di kantor, saya langsung mengambil Harian
Jawa Pos rubrik Sportainment, rubrik yang menyajikan olah raga sepak bola atau Harian
Kompas rubrik Olah Raga. Setelah membaca, Saya akan kegirangan setelah tahu bahwa
Timnas kebanggaan saya berhasil membantai lawannya atau saya malah kecewa dan
sedih ketika mengetahui Timnas bertekuk lutut dihadapan rivalnya, seperti
turnamen di SEA Games yang melibatkan Timnas U-23 kemarin. Lagi-lagi, mereka
harus kalah untuk yang kesekian kalinya menghadapi Malaysia, rival yang memang
menjadi momok bagi pemain Indonesia. Tapi saya yakin, kapten Egi Melgiansyah,
Trio Papua (Okto, Tibo, Wanggai), Kurnia Meiga si penjaga gawang, Ferdinand
Sinaga, Andik Vermansyah si kecil-kecil cabe rawit dan yang lainya adalah
pemain-pemain Timnas yang tangguh dan luar biasa. Hanya saja, keberuntungan
belum berada di pihak mereka.
Kecintaan
saya pada bola sering dicibir oleh teman-teman lelaki saya. Mereka menganggap
saya aneh dan perempuan langka, karena itu bukan dunia saya katanya. Tapi tak
masalah. Sepak bola masih tetap istimewa di mata saya, karena saya menilai ada
banyak hikmah yang bisa dipetik dari pertandingan
sepak bola. Persaudaraan dan kekompakan antar pemain, itu yang saya suka. Perbedaan
latar belakang, budaya, suku dan agama tak mampu menembus dinding-dinding
persatuan mereka. Semua berjuang demi satu kata, Indonesia. Dalam sepak bola juga
tidak ada unsur manipulasi untuk memilih siapa yang akan menjadi pemenang.
Semua orang dapat menentukan dan melihat sendiri tim yang berhak menang dan tim
yang pantas kalah –terlepas dari adanya unsur sogokan untuk mengalah.
Di
samping itu, untuk menjadi pemenang pemain harus mempertahankan bola yang ada
dalam ‘genggamannya’ agar tidak direbut pihak lawan untuk kemudian dijebolkan
ke gawang. Dengan perjuangan yang berdarah-darah, tentu antar pemain akan membentuk
kerjasama yang baik dan kukuh. Jika salah satu diantara mereka lengah dan lalai,
maka dipastikan bola tidak akan pernah menembus gawang. Demikian pula
sebaliknya. Lalu apa hubungannya dengan kehidupan kita? Terkait dengan negara, analogi
seperti ini yang seharusnya menjadi benih internalisasi founding fathers
Indonesia sehubungan dengan pembangunan negara. Negara kita perlu kerja sama
yang baik antar elite politik atau rakyat dengan elite politik. Hal ini dilakukan
demi keberhasilan ‘mencetak gol’, yaitu membawa Indonesia pada muara kejayaannya.
Mari kita
meluangkan waktu sejenak untuk menilai bersama fenomena politik di Indonesia.
Di penghujung tahun 2011, kabar media malah dimeriahkan dengan
tindakan-tindakan bejat elite politik, endemi korupsi yang semakin massif.
Ketidak tegasan KPK memberantas korupsi malah membuka peluang bagi calon-calon
koruptor untuk melakukan hal yang sama. Katakanlah Nazaruddin, Malinda, Anas
Urbaningrum, Nunun Nur Baeti, dan yang
baru-baru ini adalah Wa Ode Nurhayati. Mereka mengeruk uang kita secara
atomistik. Tanpa bersalah mereka merebut ‘makanan’ yang seharusnya menjadi hak
kita.
Ini
menunjukkan bahwa di negara kita tidak ada kerja sama yang baik antar elite
politik. Sebagian orang melakukan korupsi dan sebagian yang lain malah
melindungi dan mengadvokasi. Padahal seharusnya mereka tak perlu dibela. Mereka
tak perlu dilindungi. Tapi, mereka perlu diberi pendidikan agar tidak
mengulangi lagi. Kerja sama yang semestinya mereka bangun adalah kerja sama
untuk menjadikan negara Indonesia maju. Jika satu pihak berupaya dengan gigih
memperjuangkan kemajuan, maka tidak selayaknya yang lain justru merusak dengan
tindakan-tindakan destruktif. Bagaimana bisa maju jika antar pihak belum
bekerja sama secara simultan?
Itu
masalah yang hanya terdapat di tubuh elite politik. Beda lagi masalahnya ketika
berbicara hubungan rakyat dengan elite politik. Kita pasti sudah tahu bahwa
baru-baru ini terjadi kasus pelanggaran HAM dan kekerasan di Mesuji dan Bima
yang berujung sengketa antara warga dan aparat kepolisian. Di Mesuji konflik
lahan dan di Bima konflik tambang. Apa penyebabnya? tidak lain karena antara
rakyat dan pemerintah tidak ada keselarasan dalam menentukan kebijakan. Jika
rakyat memilih “A”, maka pemerintah memilih “B”. Persengketaan itu berakhir
secara tragis hingga ada korban yang terbunuh. Seandainya sejak semula mereka
duduk bersama dan bermusyawarah untuk mufakat, maka persengkatan paranoid itu
mungkin tidak akan pernah terjadi. Jika sudah seperti itu, lantas siapa yang
pantas disalahkan?
Sengketa
tersebut menimbulkan efek domino sampai detik ini. Kamis lalu (13/1), media
massa mengekspos kabar bahwa unjuk rasa besar terkait konflik agraria terjadi
di sejumlah kota di Indonesia yang melibatkan para petani, nelayan, buruh, mahasiswa,
aparat desa, dan lain sebagainya. Mereka menyusun kekuatan untuk menuntut
pembaruan agraria dan keberpihakan pemerintah pada rakyat. Pesan yang
disampaikan pengunjuk rasa tampak jelas. Mereka ingin menyadarkan bahwa konflik di sejumlah tempat, seperti di
Mesuji dan Bima, adalah bagian kecil dari konflik-konflik lahan yang selama ini
terjadi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan konflik agraria sudak mencapai
ratusan yang bisa saja luput dari
pantauan media massa. Mereka menilai ada ketidak adilan di sana. Ketidak adilan
itu sudah semestinya menjadi catatan pemerintah.
Berdasarkan
data Badan dan Pertahanan Nasional (BPN) tahun 2010, sekitar 0,2 persen
penduduk Indonesia kini menguasai 56 persen aset Nasional, yang 87 persen di
antara aset itu berupa tanah. Selain itu, 7,2 juta hektar tanah yang dikuasai
swasta sengaja ditelantarkan. Ketimpangan penguasaan lahan itu diduga menjadi
pemicu konflik pertahanan di Indonesia. Pembaruan agraria adalah amanat
bangsa sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR tahun 2011 (Kompas, 14 Januari
2012).
Untuk
menuntaskan ketidak adilan agraria, pemerintah harus segera merealisasikan
pembaruan agraria. Pemerintah harus bisa meyakinkan rakyat bahwa ketakutan dan
kekhawatiran yang selama ini membelenggu mereka tentang implementasi UU
Pembebasan Tanah yang diduga akan memarjinalkan rakyat tidak akan pernah
terjadi. Pemerintah harus membuktikan bahwa mereka sebagai wakil rakyat bukanlah
pengecut yang tidak bisa mempertanggung jawabkan kata-katanya.
Begitulah
potret buram negara kita. Negara yang belum seutuhnya sejahtera. Negara yang
masih merangkak menuju kulminasi kejayaannya. Mari kita ambil hikmah dari
permainan sepak bola. Timnas akan menang jika antar anggota Timnas berafiliasi
dengan baik. Timnas akan berhasil mencetak gol berkali-kali jika didukung
dengan rasa persaudaraan dan kemampuan yang memadai. Jangan jadikan perbedaan
agama, ras, suku dan budaya sebagai dalih untuk mengabaikan persatuan. Kita
hidup di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas. Jangan pernah ciptakan
dikotomi antara pemerintah dan rakyat. Semua sama. Sama-sama berhak mendapatkan
kehidupan yang layak.
Untuk
pecinta Timnas, yakinlah Timnas kita akan tetap jaya