Berbicara
soal ibu rumah tangga, sebenarnya saya tak tahu banyak. Maklum, saya masih
belum berkeluarga. Keinginan menulis tentang tema ini berawal dari saran orang
terdekat saya agar menulis tentang bayang-bayang menjadi ibu rumah tangga. Saya
respon positif ide tersebut. Tampaknya menarik. Ada perasaan berbeda ketika
saya membicarakan soal ibu rumah tangga. Mungkin karena saya perempuan dan
sebentar lagi akan menjadi ibu rumah tangga.
Perempuan
yang belum berkeluarga seperti saya biasanya bertanya-tanya begini, susah gak
sih menjadi ibu rumah tangga? Kalau melihat tugas-tugas domestik seorang istri,
tampaknya menjadi istri itu sibuknya bukan main. Selain ngurus anak, juga harus
ngurus suami. Mulai dari menyiapkan sarapan, mencuci, menanak, mengantarkan
anak ke sekolah, mendidik anak, dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebut
satu-satu. Ribet kan ya? Kalau urusan domestik saja sudah terlihat begitu
sibuk, lalu bagaimana wanita karier membagi waktunya antara kesibukan dan
keluarganya?
Kelak,
saya ingin menjadi wanita karier. Saya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi
masyarakat. Wanita karier yang saya maksud di sini adalah wanita yang dinamis,
bergerak, bekerja, tidak hanya diam di rumah, dan bisa membagi ilmunya dengan
orang lain. Melihat kesibukan urusan domestik, tampaknya saya harus berpikir
beberapa kali lagi untuk menjadi wanita karier. Selain harus pintar membagi
waktu, saya harus siap mendahulukan urusan domestik, karena urusan domestik
adalah tugas yang harus diutamakan. Setelah urusan domestik kelar, saya boleh
beraktifitas.
Saya
melihat jelas bagaimana sibuknya saudara saya mengurus urusan domestiknya. Bisa
dibilang ia juga termasuk wanita karier. Setiap jam 07.00 pagi ia harus
meninggalkan rumah untuk urusan pekerjaannya. Belum lagi ia harus menyiapkan
sarapan dan mengurus anaknya untuk pergi ke sekolah. Untunglah, jika ada
kesempatan, urusan domestik tersebut masih bisa dibantu saya dan ibu sehingga
bebannya sedikit lebih ringan. Melihat kesibukannya, saya jadi berpikir
kembali, bisakah saya menjadi wanita karier di saat menjadi ibu rumah tangga
yang tugasnya sederet itu?
Setelah
saya tanyakan pada beberapa teman yang sudah berkeluarga, bagaimana sih
perasaannya menjadi ibu rumah tangga? Benarkah menyibukkan atau justru
menyenangkan? Salah satu jawaban mereka begini, sebenarnya ribet tidaknya
menjadi ibu rumah tangga bergantung pada suasana hati. Jika keadaan hati tidak
enak dan tidak stabil, maka urusan domestik bisa terasa berat meski hanya persoalan
sepele. Begitu juga sebaliknya, jika dilewati dengan perasaan yang stabil,
santai, dan dengan emosi normal, maka semuanya menjadi mudah dan nyaman.
Ya,
saya sepakat dengan asumsi tersebut. Enak tidaknya menjadi ibu rumah tangga sangat
bergantung pada bagaimana kita menyikapinya. Suasana hati kita yang akan
menentukan hal tersebut. Menganggap semuanya mudah dan biasa-biasa saja, menjadikan
urusan rumah tangga terasa menyenangkan. Perasaan capek memang pasti ada. Namun, dari
perasaan capek itulah istri akan merasakan ketentraman dan kenyamanan yang luar
biasa ketika semuanya selesai dikerjakan. Rasa lelah yang berkelindan akan
terobati ketika melihat senyum anak dan suami.
Peran
perempuan sebagai istri tentu tidak sekedar melayani saja. Lebih dari itu, istri
adalah tempat berteduh bagi suami dari segala ragam kepenatan, seperti Aisyah
yang selalu ada untuk Nabi di saat kejenuhan itu datang. Ia akan menjadi
motivator bagi setiap langkah positif yang suami jalani, seperti Fatimah yang
selalu mendukung Ali untuk membela Islam. Menjadi penguat hati bila suami
mendapatkan musibah yang tak diharapkan, seperti Khadijah yang selalu
menguatkan hati Nabi ketika aral melintang dalam masa-masa perjuangan
menegakkan Islam.
Menjadi
istri itu tak cukup bermodalkan pintar dan berpengetahuan lho. Satu hal yang
sangat penting dimiliki istri adalah kesabaran. Ya, sabar. Kemampuan mengelola
hati dan perasaan itulah yang mampu membuat bangunan rumah tangga kokoh
bertahan. Bisa dibayangkan, bagaimana sibuknya istri mengurusi tugas-tugas
domestiknya. Belum lagi kalau ia memiliki anak. Satu anak mungkin tidak begitu
sibuk diurusi. Bagaimana kalau dua, tiga, atau bahkan lebih? Betapa repotnya
mengurusi mereka. Maka, memiliki kesabaran adalah harga mati bagi istri. Hehe…
Waktu
di pesantren, saya pernah “diramal” oleh sahabat saya yang bisa dibilang sudah mukasyafah.
Dia melihat telapak tangan saya. Setelah lama berpikir, ia berkata, “Ishbiri,
Mbak”. Saya bertanya, “Kenapa, Neng?” “Bersabarlah nanti ketika berkeluarga,”
jawabnya. Saya heran saja, kenapa tiba-tiba dia mengatakan seperti itu? Apa
yang akan terjadi dalam rumah tangga saya nanti? Begitu pikir saya kala itu.
Khawatir? Tentu saja ada. Namun, terlepas dari itu, tidak diramal pun saya percaya, bahwa jalan dalam berumah
tangga itu tak selamanya lurus. Ada tikungan, tanjakan, bebatuan, dan banyak
lagi rintangan-rintangan lain yang menghadang. Dan untuk menghadapi semua itu tentu
butuh kesabaran. Sabar dan terus bersabar.
Menjalani
bahtera rumah tangga itu memang tak mudah. Beberapa orang (kebanyakan?)
mengakui bahwa kehidupan keluarga kadang sulit dan susah. Menyatukan karakter
antara laki-laki dan perempuan itulah salah satu kesulitannya. Laki-laki yang
rasional dan perempuan yang temperamental biasanya akan sulit bertemu dalam satu
muara. Apabila keduanya saling membenarkan pendapat masing-masing atau saling
menonjolkan ego diri, bisa jadi akan berujung pada pertikaian. Maka tidak ada
salahnya jika salah satunya mengalah, mencoba menjadi embun di saat suasananya “gerah”.
Terlebih
lagi jika dihadapkan dengan persoalan ekonomi. Uang punya peran penting dalam
keluarga. Bisa dilihat sendiri berapa banyak anggota keluarga yang bercerai
gara-gara persoalan ekonomi. Keadaan ekonomi yang menghimpit biasanya memicu timbulnya
pertengkaran antara suami-istri. Dalam hal ini, istri-lah yang kerap kali
mempersoalkan keuangan keluarga. Saya tidak tahu pasti kenapa begitu, apakah
itu memang tabi’at seorang istri atau karena istri yang banyak tahu tentang
kebutuhan-kebutuhan keluarga sehingga ia harus memperhatikan keuangan? “Yang
pasti, urusan uang, istri itu paling cerewet,” kata seorang teman. Untuk urusan
seperti ini, saya pikir, suami-istri sebaiknya saling mengoreksi diri. Saling
menerima kekurangan masing-masing. Pegang prinsip seperti ini saja, “Taka ada
uang, tak masalah. Yang penting happy dan berkah.” Hidup kok dibikin
susah?
Saat
ini saya hanya bisa berbicara. Mereka-reka seperti apa gambaran menjadi istri
sekaligus ibu rumah tangga. Apa yang saya bicarakan di atas mungkin validitasnya
masih dipertanyakan karena saya belum berpengalaman di bidang itu. Namun, komentar
saya tersebut bukanlah tanpa referensi, saya berbicara berdasarkan pada fenomena
sekitar yang saya lihat atau pengalaman teman saya yang sudah berkeluarga. Paling
tidak, itu sudah cukup bagi saya untuk berani berbicara tentang tema ini.
Lenteng Barat, 02 November 2013/ 11: 44 WIB