Halaman

Minggu, 03 November 2013

Menjadi Ibu Rumah Tangga itu Susah (?)



Berbicara soal ibu rumah tangga, sebenarnya saya tak tahu banyak. Maklum, saya masih belum berkeluarga. Keinginan menulis tentang tema ini berawal dari saran orang terdekat saya agar menulis tentang bayang-bayang menjadi ibu rumah tangga. Saya respon positif ide tersebut. Tampaknya menarik. Ada perasaan berbeda ketika saya membicarakan soal ibu rumah tangga. Mungkin karena saya perempuan dan sebentar lagi akan menjadi ibu rumah tangga. 

Perempuan yang belum berkeluarga seperti saya biasanya bertanya-tanya begini, susah gak sih menjadi ibu rumah tangga? Kalau melihat tugas-tugas domestik seorang istri, tampaknya menjadi istri itu sibuknya bukan main. Selain ngurus anak, juga harus ngurus suami. Mulai dari menyiapkan sarapan, mencuci, menanak, mengantarkan anak ke sekolah, mendidik anak, dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebut satu-satu. Ribet kan ya? Kalau urusan domestik saja sudah terlihat begitu sibuk, lalu bagaimana wanita karier membagi waktunya antara kesibukan dan keluarganya? 

Kelak, saya ingin menjadi wanita karier. Saya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat. Wanita karier yang saya maksud di sini adalah wanita yang dinamis, bergerak, bekerja, tidak hanya diam di rumah, dan bisa membagi ilmunya dengan orang lain. Melihat kesibukan urusan domestik, tampaknya saya harus berpikir beberapa kali lagi untuk menjadi wanita karier. Selain harus pintar membagi waktu, saya harus siap mendahulukan urusan domestik, karena urusan domestik adalah tugas yang harus diutamakan. Setelah urusan domestik kelar, saya boleh beraktifitas. 

Saya melihat jelas bagaimana sibuknya saudara saya mengurus urusan domestiknya. Bisa dibilang ia juga termasuk wanita karier. Setiap jam 07.00 pagi ia harus meninggalkan rumah untuk urusan pekerjaannya. Belum lagi ia harus menyiapkan sarapan dan mengurus anaknya untuk pergi ke sekolah. Untunglah, jika ada kesempatan, urusan domestik tersebut masih bisa dibantu saya dan ibu sehingga bebannya sedikit lebih ringan. Melihat kesibukannya, saya jadi berpikir kembali, bisakah saya menjadi wanita karier di saat menjadi ibu rumah tangga yang tugasnya sederet itu?

Setelah saya tanyakan pada beberapa teman yang sudah berkeluarga, bagaimana sih perasaannya menjadi ibu rumah tangga? Benarkah menyibukkan atau justru menyenangkan? Salah satu jawaban mereka begini, sebenarnya ribet tidaknya menjadi ibu rumah tangga bergantung pada suasana hati. Jika keadaan hati tidak enak dan tidak stabil, maka urusan domestik bisa terasa berat meski hanya persoalan sepele. Begitu juga sebaliknya, jika dilewati dengan perasaan yang stabil, santai, dan dengan emosi normal, maka semuanya menjadi mudah dan nyaman. 

Ya, saya sepakat dengan asumsi tersebut. Enak tidaknya menjadi ibu rumah tangga sangat bergantung pada bagaimana kita menyikapinya. Suasana hati kita yang akan menentukan hal tersebut. Menganggap semuanya mudah dan biasa-biasa saja, menjadikan urusan rumah tangga terasa menyenangkan.  Perasaan capek memang pasti ada. Namun, dari perasaan capek itulah istri akan merasakan ketentraman dan kenyamanan yang luar biasa ketika semuanya selesai dikerjakan. Rasa lelah yang berkelindan akan terobati ketika melihat senyum anak dan suami. 

Peran perempuan sebagai istri tentu tidak sekedar melayani saja. Lebih dari itu, istri adalah tempat berteduh bagi suami dari segala ragam kepenatan, seperti Aisyah yang selalu ada untuk Nabi di saat kejenuhan itu datang. Ia akan menjadi motivator bagi setiap langkah positif yang suami jalani, seperti Fatimah yang selalu mendukung Ali untuk membela Islam. Menjadi penguat hati bila suami mendapatkan musibah yang tak diharapkan, seperti Khadijah yang selalu menguatkan hati Nabi ketika aral melintang dalam masa-masa perjuangan menegakkan Islam. 

Menjadi istri itu tak cukup bermodalkan pintar dan berpengetahuan lho. Satu hal yang sangat penting dimiliki istri adalah kesabaran. Ya, sabar. Kemampuan mengelola hati dan perasaan itulah yang mampu membuat bangunan rumah tangga kokoh bertahan. Bisa dibayangkan, bagaimana sibuknya istri mengurusi tugas-tugas domestiknya. Belum lagi kalau ia memiliki anak. Satu anak mungkin tidak begitu sibuk diurusi. Bagaimana kalau dua, tiga, atau bahkan lebih? Betapa repotnya mengurusi mereka. Maka, memiliki kesabaran adalah harga mati bagi istri. Hehe…

Waktu di pesantren, saya pernah “diramal” oleh sahabat saya yang bisa dibilang sudah mukasyafah. Dia melihat telapak tangan saya. Setelah lama berpikir, ia berkata, “Ishbiri, Mbak”. Saya bertanya, “Kenapa, Neng?” “Bersabarlah nanti ketika berkeluarga,” jawabnya. Saya heran saja, kenapa tiba-tiba dia mengatakan seperti itu? Apa yang akan terjadi dalam rumah tangga saya nanti? Begitu pikir saya kala itu. Khawatir? Tentu saja ada. Namun, terlepas dari itu, tidak  diramal pun saya percaya, bahwa jalan dalam berumah tangga itu tak selamanya lurus. Ada tikungan, tanjakan, bebatuan, dan banyak lagi rintangan-rintangan lain yang menghadang. Dan untuk menghadapi semua itu tentu butuh kesabaran. Sabar dan terus bersabar.

Menjalani bahtera rumah tangga itu memang tak mudah. Beberapa orang (kebanyakan?) mengakui bahwa kehidupan keluarga kadang sulit dan susah. Menyatukan karakter antara laki-laki dan perempuan itulah salah satu kesulitannya. Laki-laki yang rasional dan perempuan yang temperamental biasanya akan sulit bertemu dalam satu muara. Apabila keduanya saling membenarkan pendapat masing-masing atau saling menonjolkan ego diri, bisa jadi akan berujung pada pertikaian. Maka tidak ada salahnya jika salah satunya mengalah, mencoba menjadi embun di saat suasananya “gerah”.

Terlebih lagi jika dihadapkan dengan persoalan ekonomi. Uang punya peran penting dalam keluarga. Bisa dilihat sendiri berapa banyak anggota keluarga yang bercerai gara-gara persoalan ekonomi. Keadaan ekonomi yang menghimpit biasanya memicu timbulnya pertengkaran antara suami-istri. Dalam hal ini, istri-lah yang kerap kali mempersoalkan keuangan keluarga. Saya tidak tahu pasti kenapa begitu, apakah itu memang tabi’at seorang istri atau karena istri yang banyak tahu tentang kebutuhan-kebutuhan keluarga sehingga ia harus memperhatikan keuangan? “Yang pasti, urusan uang, istri itu paling cerewet,” kata seorang teman. Untuk urusan seperti ini, saya pikir, suami-istri sebaiknya saling mengoreksi diri. Saling menerima kekurangan masing-masing. Pegang prinsip seperti ini saja, “Taka ada uang, tak masalah. Yang penting happy dan berkah.” Hidup kok dibikin susah? 

Saat ini saya hanya bisa berbicara. Mereka-reka seperti apa gambaran menjadi istri sekaligus ibu rumah tangga. Apa yang saya bicarakan di atas mungkin validitasnya masih dipertanyakan karena saya belum berpengalaman di bidang itu. Namun, komentar saya tersebut bukanlah tanpa referensi, saya berbicara berdasarkan pada fenomena sekitar yang saya lihat atau pengalaman teman saya yang sudah berkeluarga. Paling tidak, itu sudah cukup bagi saya untuk berani berbicara tentang tema ini. 


Lenteng Barat, 02 November 2013/ 11: 44 WIB