Halaman

Minggu, 09 Desember 2012


Lelaki dalam Kotak Impian
Judul di atas saya ambil dari tema salah satu majalah di Annuqayah. Saya tergerak menulis tentang hal ini setelah berangkat dari kebingungan saya terhadap laki-laki.  Barangkali, ada yang menilai tidak ada yang menarik dari tema ini, sebab lumrahnya, yang biasa dijadikan obyek perbincangan di beberapa media adalah perempuan. Terma tentang perempuan seolah tidak pernah habis dibicarakan, baik ditinjau dari sisi psikologisnya, fisiknya, keilmuannya, daya tariknya dan lain sebagainya. Jarang sekali ada orang yang menyinggung perihal laki-laki. Entah, apakah mereka pikir tidak ada hal menarik dari laki-laki yang mesti dibahas atau apakah mereka menilai memang tidak ada yang perlu dipermasalahkan dari sosok laki-laki. Terlepas dari itu, realitanya perempuan sendiri juga merasa perlu untuk mengetahui lebih jauh hal-ihwal pasangan hidupnya ini, karena dengan mengetahui segala hal terkait pasangan kita tentu lebih memudahkan kita kelak untuk memahami karakter masing-masing.
            Sebagian orang mungkin bersikap antipati dengan persoalan lelaki. Mereka berasumsi yang pantas diperbincangkan adalah perempuan, karena hanya perempuanlah yang banyak menuai masalah. Tapi bagi saya tidak demikian seharusnya. Memperbincangkan suatu hal bukan berarti harus membicarakan segala keburukan dan keterbatasannya, melainkan juga mengetahui kelebihan dan keunggulannya. Nah, di sinilah perlunya. Dengan membicarakan sosok lelaki, perempuan bisa menilai lelaki seperti apa yang ideal dan patut diimpikan serta tipe lelaki seperti apa pula yang tidak layak diharapkan. Kalau hanya perempuan yang diperbincangkan, tentu laki-laki tidak tahu seperti apa sosok lelaki yang diinginkan perempuan. Dengan membicarakan keduanya secara simultan, maka mudah tiap-tiap mereka menentukan tipologi pendamping hidupnya.
            Lelaki seperti apa yang diinginkan perempuan? Secara umum, perempuan pasti mengimpikan laki-laki yang baik hati, penyabar, perhatian, setia, romantis, bertanggung jawab, dan terlebih bisa memahami perasaan perempuan. Kriteria yang semacam itu bisa dibilang sudah cukup. Tetapi beberapa perempuan masih ada yang menambah dengan kriteria beragam. Setiap perempuan memiliki selera masing-masing dalam memilih pasangannya. Tidak jarang ditemukan perempuan yang matre alias masih melihat tebal-tipisnya dompet laki-laki dalam memilih pasangan. Ada juga perempuan yang melihat kemampuan  laki-laki dari segi kognitifnya. Mereka tidak mau pada lelaki yang bodoh dan tidak up to date. Yah, semuanya tergantung perempuan lah. Kalau perempuan memang senang bergelut dengan ilmu pengetahuan, tentu menginginkan laki-laki yang pintar dan berwawasan. Kalau perempuan suka menghambur-hamburkan uang, tentu menginginkan laki-laki yang ber-uang.  
            Memangnya lelaki yang layak diimpikan itu yang seperti apa, sih? Kalau ditarik dalam konteks agama, tipe laki-laki ideal tidak jauh beda dengan perempuan ideal sebagaimana yang disinyalir dalam hadis Nabi saw. tunkahul mar’ah liarbai’n; lidiniha wa limaliha wa lijamaliha, wa linasabiha fadzfar bidzati ad-din. Agama memberi kode pada laki-laki agar memilih perempuan karena empat hal, karena agamanya, hartanya, kecantikannya, dan nasabnya. Dan yang lebih diprioritaskan adalah sebab agamanya (baik agamanya). Lelaki ideal pada dasarnya juga begitu, baik agamanya, cukup hartanya, cakep parasnya, dan baik nasabnya. Empat hal itu bagaikan sebuah kotak impian yang ada di setiap sudutnya dan saling menguatkan satu sama lain. Memang ada laki-laki yang memiliki empat kriteria itu secara sekaligus? Ada, meski sangat langka. Yakini saja, salah satunya adalah milik kita. Entah siapa. Kalau memang tidak ada, cukup yang baik agamanya saja.
            Di sekeliling kita, seringkali ada laki-laki yang bilang begini, perempuan itu misterius, sulit rasanya mengerti keinginan dan perasaan mereka. Sebagai perempuan, izinkan saya juga mengatakan hal yang sama, laki-laki itu juga misterius. Perempuan juga tidak mudah memahami kemauan laki-laki. Sebenarnya, kebingungan laki-laki memahami perempuan sama seperti kebingungan perempuan memahami laki-laki. sama-sama bingung! Maka, cara untuk memecah kebingungan itu adalah butuh sikap keterbukaan di antara keduanya, butuh pengetahuan tentang karakter keduanya, butuh pemahaman dari masing-masing keduanya. Di sinilah letak pentingnya membicarakan laki-laki, agar laki-laki juga paham apa kemauan perempuan.
            Tidak perlu jauh-jauh mempersoalkan kebingungan itu, mari kita nilai bersama seperti apa laki-laki saat ini yang berhasil menarik sekian hati perempuan selain kriteria yang disebutkan agama di atas? Good behavior. Perempuan paling alergi pada laki-laki yang banal, tidak beretika, semaunya saja, dan kasar. Perempuan yang lembut akan mengimpikan laki-laki yang juga lembut dan baik hatinya. Perempuan hanya butuh ketenangan di pangkuan laki-laki yang tenang dan damai. Perempuan mana yang tidak terpesona melihat kelembutan Rasulullah ketika bergaul dengan istri-istrinya? Semua perempuan pasti menginginkan hal itu.
Tegas dan berprinsip. Sebagai pemimpin keluarga, laki-laki memang perlu memiliki sikap semacam ini. Bahkan, bagi saya ini harga mati. Lelaki yang tak tegas dan tak berprinsip mudah saja dibawa “aliran sungai” dan “terpaan angin”. Kalau sudah demikian, besar kemungkinan bangunan keluarga akan cepat roboh dan musnah. Pondasi utama yang menjadi pengokoh dalam bangunan rumah tangga adalah suami.  Bila pondasinya rapuh, bangunannya pun akan melepuh.
Berani dan bertanggung jawab. Perempuan kerap kali mengklaim laki-laki sebagai sosok pengecut dan pecundang. Hal ini mereka katakan ketika melihat tingkah laki-laki yang tampak ragu-ragu mengambil keputusan. Inilah yang sering kali dikeluhkan perempuan bahwa laki-laki sulit sekali bersikap berani dan bertanggung jawab. Kata perempuan, sebagian besar laki-laki memang begitu. Tapi ingat, tidak semuanya. Masih ada laki-laki yang berani bertindak dan bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Hanya laki-laki yang berani melangkah serta menatap masa depan dengan optimislah yang mampu membentuk keluarganya layaknya surga. Dan kelak, ia akan menjadi teladan (role model) bagi anak-anaknya.
            Berilmu dan berwawasan. Memang sudah selayaknya laki-laki memiliki ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk mendidik istrinya kelak. Apalagi suami merupakan nahkoda yang bertanggungjawab membawa perahu keluarganya berlayar ke pulau “surga”. Tanpa ilmu pengetahuan yang mumpuni, ia akan kebingungan di tengah lautan kemana arah yang tepat menuju pulau tersebut. Selain karena alasan itu, orang yang berilmu tentu beda cara menyikapi kehidupan keluarga dengan orang yang tidak berilmu. Perbedaan itu bisa dilihat ketika mereka memperlakukan istrinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Untuk kriteria ini, bagi saya tidak bisa ditawar.
            Setia dan romantis. Coba tebak siapa laki-laki di negeri kita yang bisa dijadikan contoh dalam hal ini? Yup, benar, presiden kita yang ke-3, B. J. Habibi. Dalam kisahnya, perjalanan hidup Habibi dan Ainun (istrinya) dipenuhi dengan bunga-bunga asmara, bahkan hingga ajal menjemput Ainun. Habibi secara tak sadar memanggil-manggil nama Ainun dan mencari istrinya itu di setiap ruangan rumahnya setelah bangun tidur seolah tak sadar bahwa istrinya itu sudah tiada. Kenangan bersama sang istri terus membayang dalam ingatannya sehingga memotivasi dirinya untuk mengabadikan kisah cintanya dalam bentuk tulisan yang kini menjadi buku.
Laki-laki yang setia akan sulit membagi cintanya dengan perempuan selain istrinya. Dan memang ini yang diharapkan semua perempuan. Dalam kasus poligami misalnya, sekalipun istri mengizinkan si suami menikah lagi, saya yakin dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak rela suaminya bercumbu mesra dengan perempuan lain. Dalam keadaan bagaimanapun, perasaan memang tidak bisa kompromi. Perasaan selalu menuntut pemiliknya untuk memiliki orang yang dicintainya secara utuh. Dan soal romantis, perempuan paling suka laki-laki yang romantis. Mereka yang romantis selalu bisa membuat hati yang galau menjadi riang. Meski ini bukan kriteria yang utama, paling tidak laki-laki bisa romantis untuk menyenangkan hati istrinya. Terlebih ketika situasi terasa menghimpit jiwa, laki-laki yang romantis bisa dijadikan penawar sebagai pelipur lara. []


Guluk-guluk, 9 Desember 2012

Calon Sarjana Tafsir Hadis
Apa menariknya menjadi sarjana Tafsir Hadis? Pertanyaan seorang teman ini menggelitik saya untuk mencari jawaban representatif tentang apa kelebihannya menjadi sarjana Tafsir Hadis. Zaman modern yang penuh digital ini telah menuntut pemuda yang bergelut di dunia akademik untuk mengambil jurusan yang pragmatis, yang berorientasi kerja. Sehingga ketika keluar dari jenjang pendidikan terakhir nanti tidak sulit-sulit amat mencari kerja. Cukup mengandalkan ijazah dan titel yang disandang, pekerjaan yang diincar akan mudah didapatkan.
            Lihatlah di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri, beberapa jurusan yang banyak diminati mahasiswa dipastikan merupakan jurusan yang menjanjikan kerja. Sementara jurusan teologis terkesan tidak “laku” karena mahasiswanya ternyata tidak seberapa. Tidak hanya di PT Negeri, di PT Swasta juga mengalami hal yang sama. Di Instika, misalnya, coba hitung berapa banyak mahasiswa yang masuk jurusan Tafsir Hadis dan Akhlak Tashawuf? Lalu bandingkan dengan mahasiswa yang memilih jurusan Pendidikan Agama Islam. Tentu jumlahnya jauh lebih besar. Alasannya bermacam-macam, dari alasan yang sederhana sampai alasan yang kompleks.
            Jurusan Tafsir Hadis yang merupakan kalangan minoritas tak jarang mendapat pertanyaan-pertanyaan bernada sumbing, apa yang bisa diandalkan dari sarjana Tafsir Hadis ketika pulang ke masyarakat nanti? Apakah hanya akan menjadi ustadz/ustadzah di mushalla dan di masjid saja? Pertanyaan ini, bagi saya, tidak perlu dijawab secara lisan. Cukup buktikan dengan tindakan nanti bahwa sarjana Tafsir Hadis juga bisa memberi sumbangsih dan kontribusi di lingkungan masyarakat. Dan ini adalah Pekerjaan Rumah yang tidak sederhana bagi para calon sarjana Tafsir Hadis.
            Sekedar berbagi cerita, dulu waktu saya memberi tahu keluarga tentang jurusan yang saya ambil di PT, mereka langsung komplain. Katanya, saya harus mengubah haluan dengan memilih jurusan Pendidikan Agama Islam setelah melalui pertimbangan-pertimbangan yang mereka pikirkan. Tapi saya menolak. Berbagai alasan saya utarakan. Saya mencoba meyakinkan mereka bahwa jurusan yang saya pilih tidak akan salah karena memang sesuai dengan minat saya semenjak di bangku MAK. Soal pekerjaan, itu urusan nanti. Jalan untuk itu pasti ada. Kalau saya menuruti saran keluarga tadi, pendidikan saya tentu akan sembrawutan, karena saya tidak akan menikmati aktifitas belajar. Berada dalam zona yang tidak sesuai dengan minat kita, tentu saja akan membuat tidak kerasan. Dan akhirnya, segalanya tidak akan berjalan maksimal.
            Di jurusan Tafsir Hadis, ada banyak hal yang akan didapat yang tidak mungkin ada di jurusan lain, seperti perihal teologi, wacana-wacana keislaman kontemporer, pemikiran modern dalam Islam, perkembangan tafsir, isu Islam dan Barat, dan lain sebagainya. Dan ini, bagi saya, sangat menarik. Pengetahuan semacam ini perlu digali oleh generasi muslim sebagai bekal menghadapi orang-orang yang akan berusaha merobohkan pilar-pilar Islam dengan pemikiran liberal. Terlebih, ketika nanti berhadapan dengan komplotan orientalis yang merasuki umat Islam dengan gagasan-gagasannya yang pincang. Jika mereka menyerang kita dengan ide dan teori, maka kita harus bisa melawannya dengan cara yang sama. Kita tidak akan bisa melakukan hal itu jika tidak memiliki pondasi pengetahuan yang kuat. Dan berada di jurusan Tafsir Hadis adalah pilihan tepat untuk mempelajari itu.
            Selain itu, kita tahu, kajian hadis di Indonesia selama ini jatahnya sangat sedikit ketimbang kajian tafsir. Kalau mau dijumlah, buku-buku yang bergenre tafsir jauh lebih banyak ditemukan ketimbang buku-buku hadis. Wacana tentang hadis tampaknya mengalami stagnasi dan kebekuan. Bahkan, mencari ahli hadis atau peminat hadis saat ini relatif sulit. Memang ada sejumlah tokoh hadis di Indonesia yang sempat bermunculan seperti Mahmud Yunus, Taufiq Shidqi, A. Hasan, Ali Musthafa Ya’qub, Syuhudi Isma’il, Hasyim Asy’ari, dan Munawar Khalil. Tetapi sebagian besar kajian mereka justru lebih concern pada tafsir. Minimnya literatur-literatur mengenai perkembangan dan pemikiran hadis di Nusantara ini bisa dijadikan peluang bagi sarjana Tafsir Hadis untuk mengkaji hal itu. Hingga kemudian hasil pemikiran dan penelitian hadis yang ditulisnya menjadi kontribusi berharga untuk umat Islam, khususnya di Indonesia, yang berminat di bidang hadis.
            Itu sekelumit persoalan hadis, lalu beda lagi dengan persoalan tafsir. Kajian tentang perkembangan tafsir yang sangat luas adalah tantangan tersendiri bagi umat Islam. Berbagai macam corak dan metode yang diperkenalkan mufassir kontemporer memang di satu sisi menjadi sumbangsih yang sangat bernilai untuk mendapatkan “kebenaran” penafsiran ayat. Tetapi di sisi lain, metode dan corak yang mereka tawarkan justru kontroversial dan menyulut persoalan. Sembarang menggunakan metode dan corak yang mereka pakai tentu akan menjadikan penafsiran kita semakin jauh dari weltanschauung al-Quran. Katakanlah misalnya penafsiran corak ilmy yang terkesan memaksakan al-Quran sejalan dengan penemuan-penemuan sains modern. Ini sama artinya dengan mereduksi al-Quran secara diam-diam.
            Sekali lagi, jika kita tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang hal itu, tentu mudah saja menafsirkan al-Quran menggunakan metode dan corak apapun. Hal ihwal terkait penafsiran al-Quran bisa diperoleh, paling tidak,  ketika berada di jurusan Tafsir Hadis. Mendalami ilmu tafsir akan membuat kita semakin waspada dalam menafsirkan al-Quran sehingga bisa terhindar dari apa yang disebut oleh­­­­­­­­ M. Khaled Abou Fadhl sebagai interpretatif despotism (penafsiran yang sewenang-wenang).  
            Dengan demikian, maka menjadi tugas pokok sarjana Tafsir Hadislah menafsirkan al-Quran dengan menggunakan pisau analisis yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan agamis. Mereka juga harus mampu menilai secara kritis produk penafsiran mufassir klasik dan kontemporer yang berkembang saat ini sehingga tidak lantas menerimanya dengan cara taken for granted saja.
Sarjana Tafsir Hadis akan sangat dibutuhkan eksistensinya di saat masyarakat modern saat ini menghadapi massifnya pemikiran-pemikiran Islam yang cenderung politis dan destruktif, termasuk kaitannya dalam bidang penafsiran. Kalau bukan sarjana Tafsir Hadis yang akan membendung hal ini, lalu siapa lagi? Masih adakah alasan mereka untuk tidak urun rembuk pada kemelut problem yang masyarakat hadapi saat ini?  

Annuqayah mendung, 4 Desember 2012
           

Air  Sumur dan Air Kemasan
Air adalah sumber kehidupan. Ia menjadi awal pembentuk semesta. Allah menjadikan dunia dengan air sebagai sumber dasarnya, wa ja’alnaaha min kulli syai’in hayy (al-ayat). Melalui air, kita bisa melihat panorama yang hijau, sungai yang mengalir, telaga yang jernih, dan lautan yang luas. Sungguh ini kenikmatan yang luar biasa. Kita mesti bisa memanfaatkannya dengan baik dan seksama.
Namun, apa yang akan saya bicarakan di sini bukan soal manfaat air tadi. Sederhana saja, saya hanya tertarik dengan pertanyaan seorang ustadz waktu saya ikut bimbingan kitabiyah di kelas mumtaz. Beliau bertanya begini, “apa bedanya air sumur dan air kemasan?” bagi kita, tentu pertanyaan ini mudah sekali dijawab.  Salah satu dari kami angkat suara, “air sumur itu belum steril, sedangkan air kemasan steril karena sudah melalui tahapan ujian dari para pakar,” katanya tegas.
“Benar juga. Tetapi yang paling benar, air kemasan dikemas dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan air sumur tidak dikemas dengan ilmu pengetahuan.” Jawaban ini menggugah saya untuk berpikir lebih jauh tentang apa sebenarnya makna tersirat yang ingin disampaikan beliau. Benar memang, air sumur dan air kemasan beda dalam hal kemasan. Lalu apa menariknya dari jawaban itu?
Ternyata, beliau ingin menyampaikan bahwa dengan kemasan ilmu pengetahuan nilai tawar kita lebih mahal. Diibaratkan dengan air sumur dan air kemasan tadi, tentu kita tidak mau membeli air sumur satu ember kendatipun seharga seribu. Beda lagi ketika ditawarkan air kemasan, kita pasti akan tertarik membelinya walaupun harganya dua ribu. Kenapa? Karena ilmu pengetahuan. Nah, ilmu pengetahuan inilah yang memberi dampak begitu signifikan bagi pemiliknya.  
Ustadz itu sebetulnya ingin memberi stimulasi pada kami agar terus belajar tanpa jeda. Dengan memberi analogi konkrit, beliau membedakan orang yang berpengetahuan dan yang tidak. Lebih jauh, al-Quran telah menyinggung tentang hal ini, hal yastawil ladzina ya’lamuuna wa alladzina la ya’lamuun. Redaksi ayat yang berupa pertanyaan ini sejatinya bukan dimaksudkan sebagai tanya yang butuh jawab. Pertanyaan ini merupakan pernyataan bahwasanya ada perbedaan mendasar antara orang pintar dan orang bodoh.
Pengetahuan membuat orang berpikir secara rasional dan kontekstual. Budaya dan tradisi tanpa pengetahuan tak hanya menciptakan kemandekan berpikir dan kemunduran, tetapi juga menenggelamkan jiwa dan meninabobokan kesadaran. (Kompas, 2 Desember 2012). Titah agama untuk para penganutnya agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya tentu dirasakan manfaatnya. Semakin berpengetahuan, seseorang akan semakin mudah menjalani hidup, sebab ia lebih siap menghadapi tantangan hidup ke depan dan lebih mudah menyelesaikan tiap persoalan.
Kita yang katakanlah dikemas dengan ilmu pengetahuan berbeda dengan mereka yang tidak berpengetahuan. Ilmu yang kita miliki akan menjadi cahaya dalam gulita dunia yang banal. Agama dan negara butuh orang-orang yang berpengetahuan sebagai pengendalinya. Orang berpengetahuan yang dimaksud bukanlah mereka yang cerdik mengelabuhi orang lain dengan menggunakan ilmu sebagai senjatanya, seperti yang biasa kita lihat pada jajaran birokrat di negeri ini. Melainkan, mereka yang mangakumulasi ilmu lalu mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.

Annuqayah, 2 Desember 2012