Halaman

Jumat, 20 Januari 2012

Opini


 Petani Garam yang Sedang Galau


Sebutan yang masih melekat pada Madura adalah “Pulau Garam”. Sekitar 90 persen dari sekitar 1,3 juta ton produksi garam nasional berasal dari Madura (Kompas, 22 Oktober 2011). Masyarakatnya terus membudidayakan garam sehingga pernah mencapai kejayaan yang hebat. Namun, saat ini kondisi pulau garam terkait produksi garam terlihat getir. Nasib petani garam masih di ambang kegalauan.
            Lihat saja di desa Pandan, kecamatan Galis, Pamekasan. Pendapatan yang didapat petani garam belum begitu memuaskan jika dibandingkan dengan peliknya mekanisme kerja petani. Petani masih harus membiayai produksi antara lain mesin pompa air, premium untuk pompa, ongkos keruk garam, ongkos angkut dari lahan ke pinggir jalan, rokok pekerja, dan hasilnya masih dibagi dua dengan pemilik tanah (jika berstatus petani penggarap). Setiap hari, bisa ditaksir petani mendapat untung Rp. 44.000.  
            Selain disebabkan oleh anomali iklim yang tidak menentu, kesulitan yang juga dihadapi petani adalah minimnya air. Air yang sedikit tidak bisa diambil dengan kincir angin. Padahal, di Madura kincir angin adalah alat utama untuk menaikkan air laut ke lahan pegaraman. Alat ini sangat sederhana dan tidak perlu mengeluarkan biaya karena hanya digerakkan oleh angin.
            Sebagian petani menyewa mesin pompa. Namun, karena biaya sewa dianggap tidak sepadan dengan hasil maka kebanyakan petani tidak mengambil jalan ini. Sebagai alternatif, mereka menggunakan timba pengangkut. Tentu cara yang seperti ini akan menguras banyak tenaga.
            Infrastruktur saluran air yang buruk adalah fenomena umum yang dihadapi petani. Di saat demikian, petani sebenarnya sangat mengharap turunnya kucuran dana dari pemerintah, Pemberdayaan Usaha Garam rakyat (Pugar) Kementrian Kelautan dan Perikanan, untuk biaya sewa pompa. Namun kenyataannya, dana selalu datang terlambat dan di saat yang tidak tepat. Sehingga, dana yang ada kadangkala dijadikan biaya konsumtif.
            Selain mengharap dana, petani juga mengharap kemurahan PT Garam untuk meminjamkan saluran bagi pasokan air. Tetapi, lagi-lagi harapan harus tinggal harapan. PT Garam yang relasinya memang tidak baik dengan petani garam lantas menolaknya. Sampai saat ini memang tidak ada perbaikan atau pembuatan saluran air untuk pegaraman rakyat. Pembuatan saluran hanya dimiliki PT Garam.
            Melihat fenomena ini, selayaknya pemerintah turut mengintervensi dengan  membangun saluran air untuk petani, atau setidaknya bernegosiasi dengan PT Garam agar bisa bekerja sama dengan petani. Jika kebuntuan ini terus dibiarkan, maka usaha garam rakyat akan digerus gelombang ketidakpastian. Sehingga tidak menutup kemungkinan suatu saat pemerintah akan terus mengimpor garam dari luar negeri. Tentu ini adalah ironi yang menyedihkan bagi Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang dan rakyat yang membudidayakan garam dengan kuat.