Sebagaimana orangtua pada umumnya,
ayah-ibu saya menginginkan anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas. Sejak kecil saya dididik menjadi
pribadi yang suka membaca, menghapal, dan menulis materi-materi pelajaran.
Bahkan, untuk meningkatkan prestasi saya, orangtua kerap kali mengiming-imingi
saya hadiah jika saya bisa mendapatkan juara. Mungkin, mereka berpikir bahwa
kesuksesan seseorang diukur dari setinggi apa kecerdasan dan kepintaran yang
dimilikinya. Asumsi tersebut juga didukung oleh pemahaman masyarakat pada
umumnya bahwa kesuksesan itu hanya bisa didapatkan orang yang pintar, cerdas,
dan berpengetahuan.
Selama ini masyarakat Indonesia masih
meyakini bahwa kecerdasan intelektual sangat menentukan terhadap kesuksesan
seseorang. Karena itulah sistem pendidikan kita saat ini masih menekankan pada
kurikulum yang memprioritaskan aspek kognitif. Wajar jika kemudian kebanyakan
guru di negeri ini lebih memberikan pengetahuan daripada pendidikan terhadap
anak didiknya. Bagi mereka, yang penting anak didik paham dan hapal, itu sudah
cukup.
Benarkah demikian? Tampaknya saya harus
berpikir seribu kali untuk membenarkan asumsi tersebut. Ada banyak alasan
kenapa saya menolak pendapat bahwa kecerdasan intelektual harus menjadi
prioritas. Memang, awalnya saya juga berpikir begitu, bahwa walau bagaimanapun
kecerdasan intelektual harus menjadi prioritas yang diutamakan, karena sulit
rasanya diterima akal, orang bodoh dapat mencapai kesuksesan. Begitulah
persepsi saya awalnya. Untuk mencapai keinginan tersebut, maka saya harus sering-sering
memberi asupan gizi pada otak untuk meningkatkan daya kecerdasannya.
Namun, tampaknya ada yang keliru dari
pemahaman saya tersebut. Kesalahan itu terlihat ketika saya berinteraksi dengan
lingkungan sekitar. Saya melupakan kecerdasan emosional yang justru menjadi hal
terpenting dalam membangun relasi dengan orang lain. Sebagai mahluk zoon
politicon, tak ditampik bahwa kita saling membutuhkan satu sama lain. Kita
butuh orang lain untuk bekerja sama, untuk berbagi cinta, untuk mendengarkan
keluh kesah kita, yang muaranya adalah untuk mencipta kehidupan.
Kita tidak bisa mengenyampingkan orang
lain dalam hal kesuksesan. Dalam artian, orang lain juga turut andil dalam
menyukseskan impian-impian kita. Lihat saja orang yang tengah berbisnis.
Pembisnis sangat memerlukan kecakapan berbicara ketika mempengaruhi
konsumen agar tertarik pada bisnis yang
digelutinya. Saya percaya bahwa kesuksesan itu sangat ditentukan oleh sejauh
mana kita bisa berinteraksi dengan orang lain. Bahkan ada pernyataan satir,
orang yang tidak mengenyam pendidikan sekalipun bisa lebih sukses daripada
orang yang menyandang banyak gelar. Alasannya, orang pintar kadang tidak
memiliki kecakapan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sementara orang
bodoh terkadang bisa melakukan hal sebaliknya.
Terlepas dari obrolan tentang
kesuksesan sebagaimana di atas, orang yang loyal dan punya kemampuan
berinteraksi yang baik ternyata lebih dicintai daripada orang yang sebaliknya.
Biasanya, orang yang memiliki kecerdasan emosional lebih memiliki kepedulian
terhadap sesamanya. Kepedulian tersebut akan menggerakkan hatinya untuk menolong
orang lain. Ia bisa membuat hati orang lain senang dan merasa nyaman sehingga nantinya
ia bisa dicintai.
Saya ingat waktu saya masih di
pesantren. Teman-teman saya bilang, saya
tipe orang yang kurang peduli lingkungan dan terkesan cuek. Kata mereka, saya
sibuk dengan dunia sendiri. Saya kerap kali ditegur ketika hanya sibuk membaca
buku tanpa peduli apa yang sedang terjadi di sekeliling. Saya menyadari, itu
adalah sebuah kekurangan, di mana saya malah sibuk mencerdaskan otak daripada
meningkatkan kepedulian (kecerdasan emosional) yang justru lebih penting. Akibatnya,
jika kepedulian kita kurang pada orang lain, orang lain pun juga akan bersikap
kurang peduli pada kita. Orang bilang, “sikapmu akan menentukan sikap orang
lain terhadapmu”.
Saya juga menyadari akan pentingnya
kecerdasan emosional waktu saya kembali ke masyarakat. Masyarakat desa tentu
akan memperhatikan tingkah laku dan tindakan kita sehari-hari. Dalam Ta’limul
Muta’allim memang disebutkan bahwa Ilmul Hal (Madura: elmo tengka)
sangat penting dipelajari. Hal itu dirasakan pentingnya ketika nanti
bermasyarakat. Kadang saya merasa teori-teori “elitis” yang saya pelajari di
bangku pendidikan tidak ada apa-apanya ketika sampai di masyarakat. Yang sangat
diperlukan ketika bermasyarakat adalah kecerdasan emosional, kemampuan
berinteraksi yang dapat mengantarkan kita pada kecintaan mereka.
Dalam bincang-bincang santai dengan
tetangga, saya merasa malu ketika mereka mengatakan kalau mahasiswa saat ini
hanya bisa berteori dan saling menunjukkan kemampuan berorasi. Tapi dalam hal tengka
dan berafiliasi dengan masyarakat, bisa dibilang mereka masih kurang.
Tak apalah saya tersinggung, toh, kenyataannya
memang seperti itu.
Coba saja perhatikan bagaimana gaya
bicara mahasiswa dalam sebuah forum atau dalam kelas kuliah. Sebagai mahasiswa,
saya tahu betul tentang itu. Akan tetapi ketika terjun ke dunia yang
“sebenarnya” di masyarakat, mereka malah merasakan ada sekat antara dirinya dan
masyarakat. Ada tabir penghalang yang sepertinya menghalangi interaksi di antara
mereka. Sekat ini boleh jadi disebabkan karena teori-teori yang selama ini dipelajari
tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebab demikian, penilaian
masyarakat terhadap mahasiswa menjadi “min” walaupun mereka memiliki kecerdasan
yang luar biasa.
Namun bukan berarti saya menampik kalau
kecerdasan intelektual itu juga penting. Hanya saja, jika kecerdasan intelektual
tidak berjalan seiring dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain, maka cerdas otak
itu tidak bernilai apa-apa. Hanya omong kosong belaka. Contoh konkritnya adalah
pejabat-pejabat kita. Mereka memang pintar-pintar, cerdas-cerdas, dan punya
banyak gelar. Tapi, kenapa mereka biasa bersinggungan dengan KPK? Kenapa mereka
selalu dipandang sinis oleh rakyatnya? Kenapa mereka sering terjerat mafia
hukum? Ya, kenapa? Kenapa? Nah, hal inilah yang mengindikasikan bahwa kecerdasan
intelektual saja tak cukup. Ada kecerdasan lain yang mereka lupakan, yakni
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Saya kemudian berkesimpulan bahwa kecerdasan
emosional itu lebih dibutuhkan daripada kecerdasan intelektual dalam kehidupan
kita sehari-hari. Kesimpulan ini saya dapatkan ketika sudah sama-sama merasakan
menjadi seorang pelajar dan bagian dari masyarakat.
Akhirnya saya katakan, catatan ini
hanyalah buah kegelisahan saya terhadap pelajar yang hanya bisa berlomba-lomba
menonjolkan kemampuan intelektual, namun di waktu yang bersamaan mereka malah
melupakan kecerdasan-kecerdasan lain yang juga dinilai penting. Bisa juga,
catatan ini dikatakan sebagai teguran dan peringatan untuk saya sendiri agar lebih
memperhatikan kecerdasan emosional ketimbang kecerdasan intelektual, agar lebih
peka dan peduli terhadap lingkungan masyarakat daripada menyibukkan diri untuk
mencerdaskan otak dan abai sekitar.
Lenteng Barat, 22
Oktober 2013