Perpisahan
Mendengar kata perpisahan, pasti
yang akan muncul di benak kita adalah rasa sakit. Perpisahan memang selalu
meninggalkan jejak nestapa dan air mata. Ia menuntut orang yang bertemu untuk
merenggangkan jarak. Rasa kehilangan menyeruak dan lalu menyesakkan dada ketika
mereka yang berpisah adalah orang-orang yang dicinta. Andai saja waktu bisa
ditahan, maka yang demikian akan dilakukan untuk memperpanjang intensitas
pertemuan. Tetapi nihil, ternyata waktu tidak bisa dinego. Ia akan terus
berjalan, berlari mengikuti rotasi bumi. Dan mereka yang dicintai harus
terpaksa direlakan pergi.
Cobalah bertanya pada diri sendiri
sembari merenungi, untuk apa menumpahkan air mata ketika akan berpisah? Apa
guna mencipta luka jika perpisahan itu pada dasarnya merupakan proses dari
pertemuan itu sendiri? Inilah yang sering kali dilupakan banyak orang, bahwa
perpisahan sebenarnya kepingan proses dari pertemuan. Perpisahan akan
melahirkan pertemuan, dan pertemuan akan meninggalkan jejak perpisahan.
Keduanya terus berjalan secara beriringan, hingga pada akhirnya akan berujung
pada pertemuan yang abadi kelak di rumah sorga. Perpisahan mestinya bisa
dinikmati dan membuat orang bahagia, karena sebentar lagi pertemuan akan datang
kembali.
Dan saat ini, perpisahan itulah yang
saya rasakan. Ada yang menyembul pekat di sini, di hati ini, ketika mereka
tiba-tiba pergi tanpa saya harapkan. Bagi saya, mereka adalah orang-orang yang
berpengaruh dan berarti. Bersama mereka, saya diajari untuk mengeja aksara, menyelami
lautan logika, membentuk pribadi yang dewasa, dan menerima hidup ini apa
adanya. Selama beberapa kesempatan, mereka membuka lebar pengetahuan saya
dengan luasnya ilmu yang mereka miliki. Saya menikmati sekali.
Pernah suatu ketika salah seorang dari mereka memberi petuah begini,
“anakku, jika kamu hanya duduk di pinggir pantai, maka yang kamu tahu, laut itu
hanyalah air. Jika kamu ingin tahu laut yang sebenarnya, menyelamlah.
Temukanlah keindahan dan keunikan yang ada di dalamnya dan mungkin saja belum
kamu ketahui sebelumnya. Itulah laut yang sebenarnya.” Saya tertegun mendengar
petuah itu. Melalui bahasa analogis, mereka mengajak saya untuk menyelam lebih
dalam ketika mengeksplorasi ilmu, hingga saya mengetahui lebih komprehensif
tentang ilmu yang saya cari itu. Tidak hanya tahu luarnya saja.
Lalu saya semakin berat ditinggal mereka dalam kondisi saya yang
belum jauh mengenal ilmu. Kehadiran mereka telah memberi banyak hal yang
berarti; menyulut semangat saya dengan nyala semangat yang mereka miliki,
menggugah kecerdasan untuk berpikir kritis, dan tak lupa membentengi diri
dengan keimanan yang mencukupi. Kalau tidak karena mereka, saya tidak mungkin
tahu betapa ilmu itu seperti madu. Manis sekali. Kalau bukan karena stimulasi
mereka, saya tak mungkin tahu betapa perjuangan melelahkan dalam mengais butir
ilmu itu sangat dibutuhkan. Ah, sebentar lagi saya harus merelakan mereka
pergi.
Fitrahnya hati adalah merasakan. Meski saya menyadari perpisahan
adalah bagian dari pertemuan, saya tetap tak bisa memaksa hati untuk tidak berduka.
Biarkan saya merasakannya agar saya tahu betul bahwa kehadiran mereka sangatlah
berharga. Benar apa yang dikatakan guru saya, kita akan tahu keberadaan
seseorang sangat berarti ketika kita telah berpisah dengannya. Entah, saya
belum sempat berpikir, apakah waktu masih akan bersedia mempertemukan kami
dalam kesempatan yang tidak jauh beda, berbagi ilmu, atau tidak. Saya berusaha
menggali hikmahnya saja, mungkin dengan ini Tuhan ingin mengajarkan saya
tentang arti kemandirian, termasuk kemandirian belajar tanpa ditemani mereka.
Ucapan terimakasih tampaknya belum cukup untuk membalas jasa-jasa
yang mereka berikan. Mari beri tahu, apa yang dapat saya berikan sebagai
balasan terhadap kebaikan-kebaikan mereka? Jika saya tidak bisa membalasnya,
semoga Dia Yang Maha Pembalas yang akan membalas dengan balasan yang lebih
baik, jazakumullah khairal jaza. Yang bisa saya lakukan saat ini adalah
mengabadikan nama-nama mereka dalam catatan
sederhana ini, agar semua orang tahu bahwa mereka sangatlah berarti dan
sebagian besar membantu saya dalam menggapai mimpi dan kesuksesan.
Bapak Fawaid Sjadzili. Kesan
pertama bertemu dengannya terasa menegangkan. Bapak terlihat serius dan jarang
sekali memunculkan humor-humor segar di tengah menjelaskan materi. Tetapi kesan
itu perlahan hilang setelah dua kali semester saya bertatap muka dengan beliau.
Ternyata, dugaan saya salah besar. Bapak juga bisa membuat suasana menjadi cair
dan aktif, sehingga tercipta komunikasi yang efektif di kelas. Lebih dari itu,
yang paling berkesan bagi saya adalah ketika Bapak menggugah kecerdasan,
mengajak saya untuk berpikir kritis, mengenalkan saya dengan beberapa pemikiran
yang “mengagumkan”, dan diam-diam membangkitkan semangat membaca saya.
Saya akui, ilmu Bapak sangat dalam, wawasan Bapak sangat luas
seperti samudera. Itu terlihat ketika materi yang Bapak sampaikan tidak hanya berpatokan
pada silabus. Tentu melebihi itu. Dan saya kagum karenanya. Studi tentang hadis
di Instika memang kurang diminati mahasiswa Tafsir Hadis. Sebagian besar mereka
lebih concern pada wacana-wacana tafsir. Tetapi materi Studi Hadis
Kontemporer dan Studi Hadis Orientalis mengubah semua itu. Kata
mereka, yang ini lebih menantang dan tidak membuat pikiran stagnan. Ditambah lagi
profesionalitas yang Bapak miliki ketika mengajari saya dan teman-teman.
Bapak Syukron Affani. Semangat Bapak begitu
menyala. Cara Bapak menyampaikan materi tidak biasa, lebih agresif. Saya dan
teman-teman tanpa sadar terkena cipratan semangat itu. Mereka terlihat berbinar
dan antusias mendengar pengetahuan yang Bapak sampaikan. Tak jarang Bapak selalu
menelurkan pertanyaan-pertanyaan menggelitik agar saya berpikir lebih “bebas”. Dan
pertanyaan itu kadang sengaja tidak dijawab agar saya dan teman-teman tak henti
mencari jawaban. Wajar saja banyak yang merasa berat hati ketika Bapak akan pergi
meninggalkan kami. Bersama Bapak, saya jadi mengerti bahwa memahami al-Quran
itu tak cukup hanya mengandalkan logika saja. Ada yang lebih penting dari itu,
yakni melibatkan hati sebagai tempat iman berdiam diri.
Selain itu, rasa pengabdian Bapak juga sangat saya kagumi. Saya
masih ingat siang itu waktu hujan deras mengguyur bumi. Saya mengira Bapak
tidak akan datang ke kampus. Tapi, ternyata saya salah. Dari arah selatan, saya
melihat Bapak datang mengenakan jas hujan dengan kondisi celana yang basah
kuyup. Lalu di kelas, Bapak bercerita kalau jalan yang dilewati dibanjiri
hujan. Dan ini terjadi tidak hanya sekali. Bapak sering kali kehujanan. Saya tertegun.
Bapak masih bersedia datang untuk berbagi ilmu pada mahasiswanya dalam kondisi cuaca
yang tidak baik sekalipun. Terimakasih atas semangat yang kerap kali Bapak nyalakan
untuk saya. Saya akan tetap mengingat pesan yang Bapak sampaikan di depan
kampus siang itu, 11 Desember 2012 “Sekali melangkah, jangan mundur lagi.
Lanjutkan… Sukses!”
Bapak Fathurrasyid. Bapak
berhasil menarik hati saya kali pertama memasuki kelas Tafsir Hadis. Mengapa?
Bapak sangat friendly, sehingga bisa dekat dengan mahasiswa dalam waktu
yang relatif singkat. Saya semakin percaya diri dan optimis melangkah ke depan
karena apresiasi yang Bapak berikan untuk saya. Kedekatan Bapak dengan saya dan
teman-teman membuat kami lebih terbuka menyampaikan keinginan dan harapan
selama dalam proses belajar mengajar.
Yang masih melekat dalam ingatan, Bapak selalu menyelipkan
humor-humor segar ketika menyampaikan materi. Rasanya sangat berkesan. Suasana
kelas jadi rileks dan nyaman. Ilmu yang sudah Bapak bagikan tidak sedikit.
Bapak mengajak saya untuk berkenalan dengan mufassir sekaliber ar-Razi,
at-Thabari, al-Baidhawi, al-Alusi, az-Zamahsyari, Moh. Abduh-Rasyid Ridha, beserta
kitab-kitabnya. Saya sangat menikmati hal itu. Apalagi, saya memang meminati
kajian kitab-kitab tafsir.
Bapak Maimun Syamsuddin. Dingin,
santai tapi pasti. Begitulah penilian saya untuk sementara waktu. Semua orang
mengakui dalamnya ilmu yang Bapak miliki. Layaknya air, ilmu itu mengalir
melewati celah-celah kosong menuju satu titik sumber: muara. Derasnya
pengetahuan yang bermuara pada Bapak dialirkan perlahan pada saya untuk
ditampung. Tidak terlalu rumit, Bapak menuangkan ilmu itu hanya dalam
bentuk-bentuk skema. Sederhana! Meski nyatanya materi itu sangat kompleks. Diamnya
memang mengandung misteri. Tetapi sebab diamnya saya bisa mengerti bahwa ada
perhatian yang Bapak miliki.
Pengetahuan Bapak sangat komprehensif. Isu tentang Islam dan Barat,
modernitas, pemikiran kontemporer, isu tafsir dan hadis, tampak dikuasai. Bapak
telah memberi arahan berbeda pada saya tentang prototype modern
(kemajuan) yang sebenarnya. Akhirnya saya berkesimpulan kemajuan itu seperti
yang dikatakan Habib Ahmad bin Hasan al-Attas dalam kitab Tadzkiratunnas,
“man arada an yataqaddama fa’alaihi bil mutaqaddimin wa man arada an
yata’akhkhara fa’alaihi bil muta’akhkhirin.”
Ibu Ulya Fikriyati. Lembut,
damai, dan anggun. Masihkah Ibu mengingat saya? Pertemuan kita yang hanya satu
semester tidak membuat saya lupa jasa Ibu yang tentu berpengaruh besar terhadap
pencapaian cita-cita saya. Kesabaran Ibu mendidik saya menjadi pelajaran
berharga ketika kelak saya menjadi ibu dari anak-anak. Mestinya saya bisa
meniru jejak Ibu. Perempuan memang harus berdaya. Perempuan juga harus berilmu
pengetahuan agar turut memberi kontribusi bagi agama dan bangsa, lebih-lebih
untuk wilayah domestiknya. Saya melihat semangat belajar yang tak redup itu
dari setiap helai kata yang ibu ucapkan. Saya kagum. Saya mendapatkan aliran
semangat itu walaupun tak seberapa.
Jujur saja, saya agak “kecewa” ketika tahu bahwa jumlah mufassir
perempuan dari dulu hingga sekarang bisa dihitung dengan jari. Perempuan yang
mampu menguasai wacana-wacana tafsir, apalagi menjadi mufassir, sangat jarang
saya temui. Tetapi, kehadiran Ibu membuat mindset saya itu sedikit
berubah. Pengetahuan Ibu tentang dinamika tafsir di Indonesia memberi wawasan
baru. Saya jadi tahu siapa saja mufassir-mufassir di Negara kita yang sangat
diperhitungkan sampai sekarang. Hm, masih ingatkah Ibu pada surat yang terselip
di buku yang saya pinjam? Hehee.. bukan apa-apa, bukan dari siapa-siapa. Hanya
kebetulan saja.
Begitulah gambaran sekilas orang-orang yang sempat menjadi
inspirator sekaligus motivator hidup saya. Tidak ada apa yang dapat saya
balaskan kecuali ucapan terimakasih yang tak berhingga pada segenap jasa yang
mereka ikhlaskan. Semoga Allah masih memberi kesempatan lagi pada saya untuk mencicipi
manisnya ilmu bersama mereka kembali. Amin…
Annuqayah
Latee II, 16 Desember 2012