Halaman

Minggu, 16 Desember 2012


Perpisahan
            Mendengar kata perpisahan, pasti yang akan muncul di benak kita adalah rasa sakit. Perpisahan memang selalu meninggalkan jejak nestapa dan air mata. Ia menuntut orang yang bertemu untuk merenggangkan jarak. Rasa kehilangan menyeruak dan lalu menyesakkan dada ketika mereka yang berpisah adalah orang-orang yang dicinta. Andai saja waktu bisa ditahan, maka yang demikian akan dilakukan untuk memperpanjang intensitas pertemuan. Tetapi nihil, ternyata waktu tidak bisa dinego. Ia akan terus berjalan, berlari mengikuti rotasi bumi. Dan mereka yang dicintai harus terpaksa direlakan pergi.
            Cobalah bertanya pada diri sendiri sembari merenungi, untuk apa menumpahkan air mata ketika akan berpisah? Apa guna mencipta luka jika perpisahan itu pada dasarnya merupakan proses dari pertemuan itu sendiri? Inilah yang sering kali dilupakan banyak orang, bahwa perpisahan sebenarnya kepingan proses dari pertemuan. Perpisahan akan melahirkan pertemuan, dan pertemuan akan meninggalkan jejak perpisahan. Keduanya terus berjalan secara beriringan, hingga pada akhirnya akan berujung pada pertemuan yang abadi kelak di rumah sorga. Perpisahan mestinya bisa dinikmati dan membuat orang bahagia, karena sebentar lagi pertemuan akan datang kembali.  
            Dan saat ini, perpisahan itulah yang saya rasakan. Ada yang menyembul pekat di sini, di hati ini, ketika mereka tiba-tiba pergi tanpa saya harapkan. Bagi saya, mereka adalah orang-orang yang berpengaruh dan berarti. Bersama mereka, saya diajari untuk mengeja aksara, menyelami lautan logika, membentuk pribadi yang dewasa, dan menerima hidup ini apa adanya. Selama beberapa kesempatan, mereka membuka lebar pengetahuan saya dengan luasnya ilmu yang mereka miliki. Saya menikmati sekali.
Pernah suatu ketika salah seorang dari mereka memberi petuah begini, “anakku, jika kamu hanya duduk di pinggir pantai, maka yang kamu tahu, laut itu hanyalah air. Jika kamu ingin tahu laut yang sebenarnya, menyelamlah. Temukanlah keindahan dan keunikan yang ada di dalamnya dan mungkin saja belum kamu ketahui sebelumnya. Itulah laut yang sebenarnya.” Saya tertegun mendengar petuah itu. Melalui bahasa analogis, mereka mengajak saya untuk menyelam lebih dalam ketika mengeksplorasi ilmu, hingga saya mengetahui lebih komprehensif tentang ilmu yang saya cari itu. Tidak hanya tahu luarnya saja.
Lalu saya semakin berat ditinggal mereka dalam kondisi saya yang belum jauh mengenal ilmu. Kehadiran mereka telah memberi banyak hal yang berarti; menyulut semangat saya dengan nyala semangat yang mereka miliki, menggugah kecerdasan untuk berpikir kritis, dan tak lupa membentengi diri dengan keimanan yang mencukupi. Kalau tidak karena mereka, saya tidak mungkin tahu betapa ilmu itu seperti madu. Manis sekali. Kalau bukan karena stimulasi mereka, saya tak mungkin tahu betapa perjuangan melelahkan dalam mengais butir ilmu itu sangat dibutuhkan. Ah, sebentar lagi saya harus merelakan mereka pergi.
Fitrahnya hati adalah merasakan. Meski saya menyadari perpisahan adalah bagian dari pertemuan, saya tetap tak bisa memaksa hati untuk tidak berduka. Biarkan saya merasakannya agar saya tahu betul bahwa kehadiran mereka sangatlah berharga. Benar apa yang dikatakan guru saya, kita akan tahu keberadaan seseorang sangat berarti ketika kita telah berpisah dengannya. Entah, saya belum sempat berpikir, apakah waktu masih akan bersedia mempertemukan kami dalam kesempatan yang tidak jauh beda, berbagi ilmu, atau tidak. Saya berusaha menggali hikmahnya saja, mungkin dengan ini Tuhan ingin mengajarkan saya tentang arti kemandirian, termasuk kemandirian belajar tanpa ditemani mereka.
Ucapan terimakasih tampaknya belum cukup untuk membalas jasa-jasa yang mereka berikan. Mari beri tahu, apa yang dapat saya berikan sebagai balasan terhadap kebaikan-kebaikan mereka? Jika saya tidak bisa membalasnya, semoga Dia Yang Maha Pembalas yang akan membalas dengan balasan yang lebih baik, jazakumullah khairal jaza. Yang bisa saya lakukan saat ini adalah mengabadikan nama-nama mereka dalam  catatan sederhana ini, agar semua orang tahu bahwa mereka sangatlah berarti dan sebagian besar membantu saya dalam menggapai mimpi dan kesuksesan.
Bapak Fawaid Sjadzili. Kesan pertama bertemu dengannya terasa menegangkan. Bapak terlihat serius dan jarang sekali memunculkan humor-humor segar di tengah menjelaskan materi. Tetapi kesan itu perlahan hilang setelah dua kali semester saya bertatap muka dengan beliau. Ternyata, dugaan saya salah besar. Bapak juga bisa membuat suasana menjadi cair dan aktif, sehingga tercipta komunikasi yang efektif di kelas. Lebih dari itu, yang paling berkesan bagi saya adalah ketika Bapak menggugah kecerdasan, mengajak saya untuk berpikir kritis, mengenalkan saya dengan beberapa pemikiran yang “mengagumkan”, dan diam-diam membangkitkan semangat membaca saya.
Saya akui, ilmu Bapak sangat dalam, wawasan Bapak sangat luas seperti samudera. Itu terlihat ketika materi yang Bapak sampaikan tidak hanya berpatokan pada silabus. Tentu melebihi itu. Dan saya kagum karenanya. Studi tentang hadis di Instika memang kurang diminati mahasiswa Tafsir Hadis. Sebagian besar mereka lebih concern pada wacana-wacana tafsir. Tetapi materi Studi Hadis Kontemporer dan Studi Hadis Orientalis mengubah semua itu. Kata mereka, yang ini lebih menantang dan tidak membuat pikiran stagnan. Ditambah lagi profesionalitas yang Bapak miliki ketika mengajari saya dan teman-teman.
Bapak Syukron Affani. Semangat Bapak begitu menyala. Cara Bapak menyampaikan materi tidak biasa, lebih agresif. Saya dan teman-teman tanpa sadar terkena cipratan semangat itu. Mereka terlihat berbinar dan antusias mendengar pengetahuan yang Bapak sampaikan. Tak jarang Bapak selalu menelurkan pertanyaan-pertanyaan menggelitik agar saya berpikir lebih “bebas”. Dan pertanyaan itu kadang sengaja tidak dijawab agar saya dan teman-teman tak henti mencari jawaban. Wajar saja banyak yang merasa berat hati ketika Bapak akan pergi meninggalkan kami. Bersama Bapak, saya jadi mengerti bahwa memahami al-Quran itu tak cukup hanya mengandalkan logika saja. Ada yang lebih penting dari itu, yakni melibatkan hati sebagai tempat iman berdiam diri.
Selain itu, rasa pengabdian Bapak juga sangat saya kagumi. Saya masih ingat siang itu waktu hujan deras mengguyur bumi. Saya mengira Bapak tidak akan datang ke kampus. Tapi, ternyata saya salah. Dari arah selatan, saya melihat Bapak datang mengenakan jas hujan dengan kondisi celana yang basah kuyup. Lalu di kelas, Bapak bercerita kalau jalan yang dilewati dibanjiri hujan. Dan ini terjadi tidak hanya sekali. Bapak sering kali kehujanan. Saya tertegun. Bapak masih bersedia datang untuk berbagi ilmu pada mahasiswanya dalam kondisi cuaca yang tidak baik sekalipun. Terimakasih atas semangat yang kerap kali Bapak nyalakan untuk saya. Saya akan tetap mengingat pesan yang Bapak sampaikan di depan kampus siang itu, 11 Desember 2012 “Sekali melangkah, jangan mundur lagi. Lanjutkan… Sukses!”  
Bapak Fathurrasyid. Bapak berhasil menarik hati saya kali pertama memasuki kelas Tafsir Hadis. Mengapa? Bapak sangat friendly, sehingga bisa dekat dengan mahasiswa dalam waktu yang relatif singkat. Saya semakin percaya diri dan optimis melangkah ke depan karena apresiasi yang Bapak berikan untuk saya. Kedekatan Bapak dengan saya dan teman-teman membuat kami lebih terbuka menyampaikan keinginan dan harapan selama dalam proses belajar mengajar.
Yang masih melekat dalam ingatan, Bapak selalu menyelipkan humor-humor segar ketika menyampaikan materi. Rasanya sangat berkesan. Suasana kelas jadi rileks dan nyaman. Ilmu yang sudah Bapak bagikan tidak sedikit. Bapak mengajak saya untuk berkenalan dengan mufassir sekaliber ar-Razi, at-Thabari, al-Baidhawi, al-Alusi, az-Zamahsyari, Moh. Abduh-Rasyid Ridha, beserta kitab-kitabnya. Saya sangat menikmati hal itu. Apalagi, saya memang meminati kajian kitab-kitab tafsir.
Bapak Maimun Syamsuddin. Dingin, santai tapi pasti. Begitulah penilian saya untuk sementara waktu. Semua orang mengakui dalamnya ilmu yang Bapak miliki. Layaknya air, ilmu itu mengalir melewati celah-celah kosong menuju satu titik sumber: muara. Derasnya pengetahuan yang bermuara pada Bapak dialirkan perlahan pada saya untuk ditampung. Tidak terlalu rumit, Bapak menuangkan ilmu itu hanya dalam bentuk-bentuk skema. Sederhana! Meski nyatanya materi itu sangat kompleks. Diamnya memang mengandung misteri. Tetapi sebab diamnya saya bisa mengerti bahwa ada perhatian yang Bapak miliki.
Pengetahuan Bapak sangat komprehensif. Isu tentang Islam dan Barat, modernitas, pemikiran kontemporer, isu tafsir dan hadis, tampak dikuasai. Bapak telah memberi arahan berbeda pada saya tentang prototype modern (kemajuan) yang sebenarnya. Akhirnya saya berkesimpulan kemajuan itu seperti yang dikatakan Habib Ahmad bin Hasan al-Attas dalam kitab Tadzkiratunnas, “man arada an yataqaddama fa’alaihi bil mutaqaddimin wa man arada an yata’akhkhara fa’alaihi bil muta’akhkhirin.”
Ibu Ulya Fikriyati. Lembut, damai, dan anggun. Masihkah Ibu mengingat saya? Pertemuan kita yang hanya satu semester tidak membuat saya lupa jasa Ibu yang tentu berpengaruh besar terhadap pencapaian cita-cita saya. Kesabaran Ibu mendidik saya menjadi pelajaran berharga ketika kelak saya menjadi ibu dari anak-anak. Mestinya saya bisa meniru jejak Ibu. Perempuan memang harus berdaya. Perempuan juga harus berilmu pengetahuan agar turut memberi kontribusi bagi agama dan bangsa, lebih-lebih untuk wilayah domestiknya. Saya melihat semangat belajar yang tak redup itu dari setiap helai kata yang ibu ucapkan. Saya kagum. Saya mendapatkan aliran semangat itu walaupun tak seberapa.
Jujur saja, saya agak “kecewa” ketika tahu bahwa jumlah mufassir perempuan dari dulu hingga sekarang bisa dihitung dengan jari. Perempuan yang mampu menguasai wacana-wacana tafsir, apalagi menjadi mufassir, sangat jarang saya temui. Tetapi, kehadiran Ibu membuat mindset saya itu sedikit berubah. Pengetahuan Ibu tentang dinamika tafsir di Indonesia memberi wawasan baru. Saya jadi tahu siapa saja mufassir-mufassir di Negara kita yang sangat diperhitungkan sampai sekarang. Hm, masih ingatkah Ibu pada surat yang terselip di buku yang saya pinjam? Hehee.. bukan apa-apa, bukan dari siapa-siapa. Hanya kebetulan saja.
Begitulah gambaran sekilas orang-orang yang sempat menjadi inspirator sekaligus motivator hidup saya. Tidak ada apa yang dapat saya balaskan kecuali ucapan terimakasih yang tak berhingga pada segenap jasa yang mereka ikhlaskan. Semoga Allah masih memberi kesempatan lagi pada saya untuk mencicipi manisnya ilmu bersama mereka kembali. Amin…


Annuqayah Latee II, 16 Desember 2012