Bangun Negara Seperti Sepak
Bola
Oleh: Khatim Arief
Pada awalnya, saya sangat tidak
menyukai pertandingan sepak bola. Kenapa? Karena permainan sepak bola bagi saya
benar-benar membosankan. Pemainnya hanya berputar-putar di sekitar lapangan
hijau. Saya justru pusing menontonnya. Ketika saya beserta keluarga menonton
TV, pasti paman akan mengubah channel TV jika ternyata ada yang menayangkan
turnamen Foot Ball. Tentu saja saya protes. Paman berbuat semaunya. Saya juga
punya hak untuk menonton acara TV yang lain. Waktu itu saya memang menyukai
film “Angling Darma” -seperti halnya remaja-remaja di kampung saya- yang
ditayangkan setiap malam Kamis di Indosiar. Tapi mau bagaimana lagi? saya tetap
kalah dan tak bisa memenuhi keinginan untuk mengikuti cerita legendaris
“Angling Darma”, karena paman banyak pendukungnya. Mulai dari kakak, sepupu,
dan anak-anak tetangga yang juga ikut nimbrung menonton pertandingan itu. Jika
sudah demikian, saya langsung ke kamar saja untuk tidur lebih awal.
Tetapi beberapa
bulan kemudian, entah bagaimana ceritanya, ketika duduk di bangku IX Madrasah
Tsanawiyah saya berubah haluan. Saya mulai “jatuh hati” pada bola. Saya tidak ingin
ketinggalan menonton setiap kompetisinya di channel-channel televisi, Timnas
Vs. Tim Gajah Putih atau Timnas Vs Malaysia, misalnya. Mungkin ini berawal dari
seringnya keluarga saya menonton sepak bola, hingga saya tidak diberi
kesempatan untuk sekedar menonton film kesukaan saya. Mau tak mau, secara
terpaksa saya kadang nimbrung juga untuk menonton bola. Tanpa saya sadari, hal
ini juga menjadikan saya senang menonton pertandingan sepak bola yang dilakukan
teman-teman lelaki saya di lapangan sekolah. Setiap mereka akan bertanding,
saya dan teman-teman yang lain pasti dipanggil untuk menjadi supporternya.
Dan
sampai saat ini kecintaan saya pada bola masih tetap subur. Sebagai anak
pesantren, tentu saya dilarang menonton TV (karena memang tidak ada TV J). Tapi saya tidak kehilangan akal, di pesantren masih ada koran.
Ya, saya masih bisa membaca perkembangan dunia persepakbolaan di koran lokal
atau nasional. Maka ketika saya berada di kantor, saya langsung mengambil Harian
Jawa Pos rubrik Sportainment, rubrik yang menyajikan olah raga sepak bola atau Harian
Kompas rubrik Olah Raga. Setelah membaca, Saya akan kegirangan setelah tahu bahwa
Timnas kebanggaan saya berhasil membantai lawannya atau saya malah kecewa dan
sedih ketika mengetahui Timnas bertekuk lutut dihadapan rivalnya, seperti
turnamen di SEA Games yang melibatkan Timnas U-23 kemarin. Lagi-lagi, mereka
harus kalah untuk yang kesekian kalinya menghadapi Malaysia, rival yang memang
menjadi momok bagi pemain Indonesia. Tapi saya yakin, kapten Egi Melgiansyah,
Trio Papua (Okto, Tibo, Wanggai), Kurnia Meiga si penjaga gawang, Ferdinand
Sinaga, Andik Vermansyah si kecil-kecil cabe rawit dan yang lainya adalah
pemain-pemain Timnas yang tangguh dan luar biasa. Hanya saja, keberuntungan
belum berada di pihak mereka.
Kecintaan
saya pada bola sering dicibir oleh teman-teman lelaki saya. Mereka menganggap
saya aneh dan perempuan langka, karena itu bukan dunia saya katanya. Tapi tak
masalah. Sepak bola masih tetap istimewa di mata saya, karena saya menilai ada
banyak hikmah yang bisa dipetik dari pertandingan
sepak bola. Persaudaraan dan kekompakan antar pemain, itu yang saya suka. Perbedaan
latar belakang, budaya, suku dan agama tak mampu menembus dinding-dinding
persatuan mereka. Semua berjuang demi satu kata, Indonesia. Dalam sepak bola juga
tidak ada unsur manipulasi untuk memilih siapa yang akan menjadi pemenang.
Semua orang dapat menentukan dan melihat sendiri tim yang berhak menang dan tim
yang pantas kalah –terlepas dari adanya unsur sogokan untuk mengalah.
Di
samping itu, untuk menjadi pemenang pemain harus mempertahankan bola yang ada
dalam ‘genggamannya’ agar tidak direbut pihak lawan untuk kemudian dijebolkan
ke gawang. Dengan perjuangan yang berdarah-darah, tentu antar pemain akan membentuk
kerjasama yang baik dan kukuh. Jika salah satu diantara mereka lengah dan lalai,
maka dipastikan bola tidak akan pernah menembus gawang. Demikian pula
sebaliknya. Lalu apa hubungannya dengan kehidupan kita? Terkait dengan negara, analogi
seperti ini yang seharusnya menjadi benih internalisasi founding fathers
Indonesia sehubungan dengan pembangunan negara. Negara kita perlu kerja sama
yang baik antar elite politik atau rakyat dengan elite politik. Hal ini dilakukan
demi keberhasilan ‘mencetak gol’, yaitu membawa Indonesia pada muara kejayaannya.
Mari kita
meluangkan waktu sejenak untuk menilai bersama fenomena politik di Indonesia.
Di penghujung tahun 2011, kabar media malah dimeriahkan dengan
tindakan-tindakan bejat elite politik, endemi korupsi yang semakin massif.
Ketidak tegasan KPK memberantas korupsi malah membuka peluang bagi calon-calon
koruptor untuk melakukan hal yang sama. Katakanlah Nazaruddin, Malinda, Anas
Urbaningrum, Nunun Nur Baeti, dan yang
baru-baru ini adalah Wa Ode Nurhayati. Mereka mengeruk uang kita secara
atomistik. Tanpa bersalah mereka merebut ‘makanan’ yang seharusnya menjadi hak
kita.
Ini
menunjukkan bahwa di negara kita tidak ada kerja sama yang baik antar elite
politik. Sebagian orang melakukan korupsi dan sebagian yang lain malah
melindungi dan mengadvokasi. Padahal seharusnya mereka tak perlu dibela. Mereka
tak perlu dilindungi. Tapi, mereka perlu diberi pendidikan agar tidak
mengulangi lagi. Kerja sama yang semestinya mereka bangun adalah kerja sama
untuk menjadikan negara Indonesia maju. Jika satu pihak berupaya dengan gigih
memperjuangkan kemajuan, maka tidak selayaknya yang lain justru merusak dengan
tindakan-tindakan destruktif. Bagaimana bisa maju jika antar pihak belum
bekerja sama secara simultan?
Itu
masalah yang hanya terdapat di tubuh elite politik. Beda lagi masalahnya ketika
berbicara hubungan rakyat dengan elite politik. Kita pasti sudah tahu bahwa
baru-baru ini terjadi kasus pelanggaran HAM dan kekerasan di Mesuji dan Bima
yang berujung sengketa antara warga dan aparat kepolisian. Di Mesuji konflik
lahan dan di Bima konflik tambang. Apa penyebabnya? tidak lain karena antara
rakyat dan pemerintah tidak ada keselarasan dalam menentukan kebijakan. Jika
rakyat memilih “A”, maka pemerintah memilih “B”. Persengketaan itu berakhir
secara tragis hingga ada korban yang terbunuh. Seandainya sejak semula mereka
duduk bersama dan bermusyawarah untuk mufakat, maka persengkatan paranoid itu
mungkin tidak akan pernah terjadi. Jika sudah seperti itu, lantas siapa yang
pantas disalahkan?
Sengketa
tersebut menimbulkan efek domino sampai detik ini. Kamis lalu (13/1), media
massa mengekspos kabar bahwa unjuk rasa besar terkait konflik agraria terjadi
di sejumlah kota di Indonesia yang melibatkan para petani, nelayan, buruh, mahasiswa,
aparat desa, dan lain sebagainya. Mereka menyusun kekuatan untuk menuntut
pembaruan agraria dan keberpihakan pemerintah pada rakyat. Pesan yang
disampaikan pengunjuk rasa tampak jelas. Mereka ingin menyadarkan bahwa konflik di sejumlah tempat, seperti di
Mesuji dan Bima, adalah bagian kecil dari konflik-konflik lahan yang selama ini
terjadi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan konflik agraria sudak mencapai
ratusan yang bisa saja luput dari
pantauan media massa. Mereka menilai ada ketidak adilan di sana. Ketidak adilan
itu sudah semestinya menjadi catatan pemerintah.
Berdasarkan
data Badan dan Pertahanan Nasional (BPN) tahun 2010, sekitar 0,2 persen
penduduk Indonesia kini menguasai 56 persen aset Nasional, yang 87 persen di
antara aset itu berupa tanah. Selain itu, 7,2 juta hektar tanah yang dikuasai
swasta sengaja ditelantarkan. Ketimpangan penguasaan lahan itu diduga menjadi
pemicu konflik pertahanan di Indonesia. Pembaruan agraria adalah amanat
bangsa sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR tahun 2011 (Kompas, 14 Januari
2012).
Untuk
menuntaskan ketidak adilan agraria, pemerintah harus segera merealisasikan
pembaruan agraria. Pemerintah harus bisa meyakinkan rakyat bahwa ketakutan dan
kekhawatiran yang selama ini membelenggu mereka tentang implementasi UU
Pembebasan Tanah yang diduga akan memarjinalkan rakyat tidak akan pernah
terjadi. Pemerintah harus membuktikan bahwa mereka sebagai wakil rakyat bukanlah
pengecut yang tidak bisa mempertanggung jawabkan kata-katanya.
Begitulah
potret buram negara kita. Negara yang belum seutuhnya sejahtera. Negara yang
masih merangkak menuju kulminasi kejayaannya. Mari kita ambil hikmah dari
permainan sepak bola. Timnas akan menang jika antar anggota Timnas berafiliasi
dengan baik. Timnas akan berhasil mencetak gol berkali-kali jika didukung
dengan rasa persaudaraan dan kemampuan yang memadai. Jangan jadikan perbedaan
agama, ras, suku dan budaya sebagai dalih untuk mengabaikan persatuan. Kita
hidup di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas. Jangan pernah ciptakan
dikotomi antara pemerintah dan rakyat. Semua sama. Sama-sama berhak mendapatkan
kehidupan yang layak.
Untuk
pecinta Timnas, yakinlah Timnas kita akan tetap jaya
meski PSSI
tak jelas arahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar