Halaman

Jumat, 17 Februari 2012

Essai


Bangun Negara Seperti Sepak Bola
Oleh: Khatim Arief
Pada awalnya, saya sangat tidak menyukai pertandingan sepak bola. Kenapa? Karena permainan sepak bola bagi saya benar-benar membosankan. Pemainnya hanya berputar-putar di sekitar lapangan hijau. Saya justru pusing menontonnya. Ketika saya beserta keluarga menonton TV, pasti paman akan mengubah channel TV jika ternyata ada yang menayangkan turnamen Foot Ball. Tentu saja saya protes. Paman berbuat semaunya. Saya juga punya hak untuk menonton acara TV yang lain. Waktu itu saya memang menyukai film “Angling Darma” -seperti halnya remaja-remaja di kampung saya- yang ditayangkan setiap malam Kamis di Indosiar. Tapi mau bagaimana lagi? saya tetap kalah dan tak bisa memenuhi keinginan untuk mengikuti cerita legendaris “Angling Darma”, karena paman banyak pendukungnya. Mulai dari kakak, sepupu, dan anak-anak tetangga yang juga ikut nimbrung menonton pertandingan itu. Jika sudah demikian, saya langsung ke kamar saja untuk tidur lebih awal.
Tetapi beberapa bulan kemudian, entah bagaimana ceritanya, ketika duduk di bangku IX Madrasah Tsanawiyah saya berubah haluan. Saya mulai “jatuh hati” pada bola. Saya tidak ingin ketinggalan menonton setiap kompetisinya di channel-channel televisi, Timnas Vs. Tim Gajah Putih atau Timnas Vs Malaysia, misalnya. Mungkin ini berawal dari seringnya keluarga saya menonton sepak bola, hingga saya tidak diberi kesempatan untuk sekedar menonton film kesukaan saya. Mau tak mau, secara terpaksa saya kadang nimbrung juga untuk menonton bola. Tanpa saya sadari, hal ini juga menjadikan saya senang menonton pertandingan sepak bola yang dilakukan teman-teman lelaki saya di lapangan sekolah. Setiap mereka akan bertanding, saya dan teman-teman yang lain pasti dipanggil untuk menjadi supporternya.
Dan sampai saat ini kecintaan saya pada bola masih tetap subur. Sebagai anak pesantren, tentu saya dilarang menonton TV (karena memang tidak ada TV J). Tapi saya tidak kehilangan akal, di pesantren masih ada koran. Ya, saya masih bisa membaca perkembangan dunia persepakbolaan di koran lokal atau nasional. Maka ketika saya berada di kantor, saya langsung mengambil Harian Jawa Pos rubrik Sportainment, rubrik yang menyajikan olah raga sepak bola atau Harian Kompas rubrik Olah Raga. Setelah membaca, Saya akan kegirangan setelah tahu bahwa Timnas kebanggaan saya berhasil membantai lawannya atau saya malah kecewa dan sedih ketika mengetahui Timnas bertekuk lutut dihadapan rivalnya, seperti turnamen di SEA Games yang melibatkan Timnas U-23 kemarin. Lagi-lagi, mereka harus kalah untuk yang kesekian kalinya menghadapi Malaysia, rival yang memang menjadi momok bagi pemain Indonesia. Tapi saya yakin, kapten Egi Melgiansyah, Trio Papua (Okto, Tibo, Wanggai), Kurnia Meiga si penjaga gawang, Ferdinand Sinaga, Andik Vermansyah si kecil-kecil cabe rawit dan yang lainya adalah pemain-pemain Timnas yang tangguh dan luar biasa. Hanya saja, keberuntungan belum berada di pihak mereka.
Kecintaan saya pada bola sering dicibir oleh teman-teman lelaki saya. Mereka menganggap saya aneh dan perempuan langka, karena itu bukan dunia saya katanya. Tapi tak masalah. Sepak bola masih tetap istimewa di mata saya, karena saya menilai ada banyak hikmah yang bisa dipetik  dari pertandingan sepak bola. Persaudaraan dan kekompakan antar pemain, itu yang saya suka. Perbedaan latar belakang, budaya, suku dan agama tak mampu menembus dinding-dinding persatuan mereka. Semua berjuang demi satu kata, Indonesia. Dalam sepak bola juga tidak ada unsur manipulasi untuk memilih siapa yang akan menjadi pemenang. Semua orang dapat menentukan dan melihat sendiri tim yang berhak menang dan tim yang pantas kalah –terlepas dari adanya unsur sogokan untuk mengalah.
Di samping itu, untuk menjadi pemenang pemain harus mempertahankan bola yang ada dalam ‘genggamannya’ agar tidak direbut pihak lawan untuk kemudian dijebolkan ke gawang. Dengan perjuangan yang berdarah-darah, tentu antar pemain akan membentuk kerjasama yang baik dan kukuh. Jika salah satu diantara mereka lengah dan lalai, maka dipastikan bola tidak akan pernah menembus gawang. Demikian pula sebaliknya. Lalu apa hubungannya dengan kehidupan kita? Terkait dengan negara, analogi seperti ini yang seharusnya menjadi benih internalisasi founding fathers Indonesia sehubungan dengan pembangunan negara. Negara kita perlu kerja sama yang baik antar elite politik atau rakyat dengan elite politik. Hal ini dilakukan demi keberhasilan ‘mencetak gol’, yaitu membawa Indonesia pada muara kejayaannya.
Mari kita meluangkan waktu sejenak untuk menilai bersama fenomena politik di Indonesia. Di penghujung tahun 2011, kabar media malah dimeriahkan dengan tindakan-tindakan bejat elite politik, endemi korupsi yang semakin massif. Ketidak tegasan KPK memberantas korupsi malah membuka peluang bagi calon-calon koruptor untuk melakukan hal yang sama. Katakanlah Nazaruddin, Malinda, Anas Urbaningrum, Nunun Nur Baeti,  dan yang baru-baru ini adalah Wa Ode Nurhayati. Mereka mengeruk uang kita secara atomistik. Tanpa bersalah mereka merebut ‘makanan’ yang seharusnya menjadi hak kita.
Ini menunjukkan bahwa di negara kita tidak ada kerja sama yang baik antar elite politik. Sebagian orang melakukan korupsi dan sebagian yang lain malah melindungi dan mengadvokasi. Padahal seharusnya mereka tak perlu dibela. Mereka tak perlu dilindungi. Tapi, mereka perlu diberi pendidikan agar tidak mengulangi lagi. Kerja sama yang semestinya mereka bangun adalah kerja sama untuk menjadikan negara Indonesia maju. Jika satu pihak berupaya dengan gigih memperjuangkan kemajuan, maka tidak selayaknya yang lain justru merusak dengan tindakan-tindakan destruktif. Bagaimana bisa maju jika antar pihak belum bekerja sama secara simultan?
Itu masalah yang hanya terdapat di tubuh elite politik. Beda lagi masalahnya ketika berbicara hubungan rakyat dengan elite politik. Kita pasti sudah tahu bahwa baru-baru ini terjadi kasus pelanggaran HAM dan kekerasan di Mesuji dan Bima yang berujung sengketa antara warga dan aparat kepolisian. Di Mesuji konflik lahan dan di Bima konflik tambang. Apa penyebabnya? tidak lain karena antara rakyat dan pemerintah tidak ada keselarasan dalam menentukan kebijakan. Jika rakyat memilih “A”, maka pemerintah memilih “B”. Persengketaan itu berakhir secara tragis hingga ada korban yang terbunuh. Seandainya sejak semula mereka duduk bersama dan bermusyawarah untuk mufakat, maka persengkatan paranoid itu mungkin tidak akan pernah terjadi. Jika sudah seperti itu, lantas siapa yang pantas disalahkan?
Sengketa tersebut menimbulkan efek domino sampai detik ini. Kamis lalu (13/1), media massa mengekspos kabar bahwa unjuk rasa besar terkait konflik agraria terjadi di sejumlah kota di Indonesia yang melibatkan para petani, nelayan, buruh, mahasiswa, aparat desa, dan lain sebagainya. Mereka menyusun kekuatan untuk menuntut pembaruan agraria dan keberpihakan pemerintah pada rakyat. Pesan yang disampaikan pengunjuk rasa tampak jelas. Mereka ingin menyadarkan  bahwa konflik di sejumlah tempat, seperti di Mesuji dan Bima, adalah bagian kecil dari konflik-konflik lahan yang selama ini terjadi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan konflik agraria sudak mencapai ratusan yang  bisa saja luput dari pantauan media massa. Mereka menilai ada ketidak adilan di sana. Ketidak adilan itu sudah semestinya menjadi catatan pemerintah.
Berdasarkan data Badan dan Pertahanan Nasional (BPN) tahun 2010, sekitar 0,2 persen penduduk Indonesia kini menguasai 56 persen aset Nasional, yang 87 persen di antara aset itu berupa tanah. Selain itu, 7,2 juta hektar tanah yang dikuasai swasta sengaja ditelantarkan. Ketimpangan penguasaan lahan itu diduga menjadi pemicu konflik pertahanan di Indonesia. Pembaruan agraria adalah amanat bangsa sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR tahun 2011 (Kompas, 14 Januari 2012).
Untuk menuntaskan ketidak adilan agraria, pemerintah harus segera merealisasikan pembaruan agraria. Pemerintah harus bisa meyakinkan rakyat bahwa ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini membelenggu mereka tentang implementasi UU Pembebasan Tanah yang diduga akan memarjinalkan rakyat tidak akan pernah terjadi. Pemerintah harus membuktikan bahwa mereka sebagai wakil rakyat bukanlah pengecut yang tidak bisa mempertanggung jawabkan kata-katanya.
Begitulah potret buram negara kita. Negara yang belum seutuhnya sejahtera. Negara yang masih merangkak menuju kulminasi kejayaannya. Mari kita ambil hikmah dari permainan sepak bola. Timnas akan menang jika antar anggota Timnas berafiliasi dengan baik. Timnas akan berhasil mencetak gol berkali-kali jika didukung dengan rasa persaudaraan dan kemampuan yang memadai. Jangan jadikan perbedaan agama, ras, suku dan budaya sebagai dalih untuk mengabaikan persatuan. Kita hidup di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas. Jangan pernah ciptakan dikotomi antara pemerintah dan rakyat. Semua sama. Sama-sama berhak mendapatkan kehidupan yang layak.

Untuk pecinta Timnas, yakinlah Timnas kita akan tetap jaya
meski PSSI tak jelas arahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar