Halaman

Jumat, 30 November 2012


Tidak Berhenti Kaget
Sore itu, saya bergegas ke kantor pesantren memenuhi panggilan. Tidak seperti biasanya saya dipanggil hari itu. Karena penasaran, saya langsung menuju kantor untuk mengetahui orang yang membutuhkan saya. Sesampai di pintu, tiba-tiba saya kaget. Perempuan itu, sahabat sekaligus adik saya, tengah duduk manis dengan lelaki yang tidak asing saya lihat. Kemudian saya bertanya padanya, “lho, kok bisa berdua?” tanya saya penasaran. “Kami baru saja akad, Bi’,” jawabnya dengan santai dan riang. “Subhanallah… berarti kalian sudah menjadi sepasang suami-istri,”tutur saya sembari menepuk bahunya. “Hehe… iya,” jawabnya polos. “Huh… dasar!” lalu di kantor itu berderai tawa.
Semenjak dekat dengan saya, perempuan itu selalu bersikap transparan pada saya. Seluruh kisah hidupnya nyaris saya tahu, tak terkecuali tentang kisah cintanya. Sebelum bertunangan pun dia biasa cerita banyak hal terkait calon tunangannya. Namun tak disangka, untuk pernikahannya kali ini dia tidak cerita apa-apa. Tahu-tahunya, saya dikagetkan dengan kedatangan mereka berdua. Saya berpikir positif saja, mungkin mereka ingin membuat surprise untuk saya dengan kabar bahagia ini. Walau bagaimanapun, saya tetap bahagia melihat senyum mereka berdua.
Tidak salah kata banyak orang, dunia ini selalu mengandung misteri yang tidak bisa kita prediksi. Ada banyak hal yang datang tak terduga sebelumnya. Kadang apa yang tak disangka, tiba-tiba menjelma nyata. Termasuk tentang jodoh manusia. Rahasia Tuhan yang satu ini kerapkali mendatangkan tanya, siapa dan dimana. Manusia hanya bisa berikhtiar dan berdo’a. Berharap, jodoh kita kelak dapat membawa kita pada sorgaNya. Seperti sahabat saya itu, siapa sangka dia akan menjadi istri lelaki yang juga kenal baik dengan saya. Padahal, dulu saya tahu mereka tidak pernah akur dan kerap saling “mengejek”. Tapi sekarang, mereka tidur seranjang.
Ada pula teman sekelas saya yang dulunya sekedar dijodoh-jodohkan teman-teman di kelas malah jadi beneran. Mereka hanya tersenyum saja ketika mengingat itu. Memang, adakalanya jodoh kita adalah orang yang tidak disangka sebelumnya. Dari teman dekat misalnya, tiba-tiba dialah orang yang didaulat Tuhan sebagai partner yang akan menemani kita mengarungi hidup. Atau musuh sekalipun bisa jadi kelak akan menjadi jodoh kita. Yang tahu rahasia itu hanya Tuhan, karena hanya Dialah yang bisa menentukan mana yang terbaik untuk hamba-hambanya.
Tuhan tidak akan berhenti memberi kejutan-kejutan pada hambanya yang meminta. Dia berjanji akan mendengar lengkingan do’a hamba-hambanya yang bergantung hanya padaNya. Dia tidak akan menyalahi janji itu. Ud’uni fastajib lakum, firmanNya dalam al-Quran. Tapi kenapa masih ada do’a yang tak kunjung dikabulkan padahal tiap waktu sudah meminta? Itu hak otoritatif Tuhan. Siapa sih yang bisa mendikte Tuhan? Tidak ada. Di sekeliling kita, banyak memang orang yang berdo’a tapi bernada paksa, misalnya “ya Allah… saya ingin dia menjadi jodoh hamba. Pokoknya dia.. harus dia.. kalau tidak dia, saya tidak mau.” Lho, itu namanya do’a atau paksa ya? Dipaksa bagaimanapun, kalau Tuhan tidak berkehendak ya tidak akan terjadi. Mari renungkan kembali ayat ini, wa ‘asa an takrahu sya’ian fahuwa khairun lakum wa ‘asa an tuhibbu syai’an fahuwa syarrun lakum wa allahu ya’lamu wa antum laa ta’lamun.
Untuk soal jodoh, saya angkat tangan. Sebagai manusia yang terbatas, sebaiknya memang kita serahkan urusan itu pada Dia yang lebih tahu. Tapi ingat, setelah kita berusaha dulu.  Pernah suatu ketika ustadz Fauzil ‘Adhim, penulis buku Kupinang Engkau dengan Hamdalah, berkelakar begini, “jodoh itu memang ada di tangan Tuhan, kalau tidak diambil-ambil, ya akan tetap di tangan Tuhan,”katanya. Saya tersenyum mendengar itu. Perkataan provokatif itu sebenarnya ingin mengajak kita untuk berusaha dan terlibat aktif dalam memilih jodoh. Hukum kausalitas yang terdapat di alam ini menuntut manusia untuk “bekerja sama” dengan Tuhan. Sunnatullah akan tetap berlaku sepanjang dunia ini belum tutup usia. Saya ingin melanjutkan perkataan ustadz itu kemudian, “cepat ambil jodoh itu di tangan Tuhan sebelum Dia simpan”.
Bicara tentang jodoh memang selalu menarik hati, karena tak ada seorang pun yang ingin hidup sendiri. Tak ada yang betah dengan sepi. Makanya kita butuh orang untuk berbagi. The last, sebelum sahabat saya itu berpamitan pulang, saya berbisik padanya, ”selamat menikmati malam zafaf nanti malam”. Lantas dia tersipu-sipu malu. Aah…  
Untuk dua sahabatku, selamat menempuh hidup baru! Kalian sukses “merayu” Tuhan.

Guluk-guluk, 1 Desember 2012


Bersahabat dengan Aksara
Dunia literasi memang selalu menarik bagi mereka yang senang bergelut dengan kata.  Membaca dan menulis adalah kebutuhan vital bagi manusia. Seperti orang yang tidak makan, orang yang tidak membaca pasti akan terasa lapar, tampaknya ada yang kurang, karena membaca menjadi makanan bagi otak dan pikiran. Tanpa membaca, pikiran akan terus stagnan. Jika dibiarkan, maka tidak akan ada lagi yang bisa diandalkan. Perhatikan apa yang dikatakan Glenn Doman ini, membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca.
Sebuah peradaban akan maju jika ditunjang dengan membaca dan menulis. Ini bukan wacana belaka. Melihat kemajuan peradaban di Barat pasti tidak akan lepas dari peran membaca dan menulis. Atau pada masa keemasan Islam ketika tampuk kepemimpinan dalam genggaman dinasti Abbasiyah,  kemajuan kala itu juga karena rakyat yang suka membaca dan menulis. Lalu, tokoh-tokoh intelektual bermunculan melahirkan terobosan baru di bidang ilmu pengetahuan. Itu tak lepas, sekali lagi, dari aktifitas membaca dan menulis. Ribuan buku disediakan oleh khalifah untuk rakyatnya agar mereka gemar membaca. Apresiasi yang luar biasa dari khalifah inilah yang memulai peradaban baru dalam Islam.
Sebagai umat Islam, kita bisa bangga memiliki satu kemajuan yang sebelumnya tidak dimiliki pihak manapun. Tetapi sekarang, realitasnya berbanding terbalik. Orang Eropa diam-diam mencuri cara Islam membentuk peradaban maju. Dan sekarang, peradaban yang maju itu telah dimiliki Barat. Sementara Islam sendiri hanya bisa melihat dan memuji kemajuan itu tanpa mewujudkan inovasi-inovasi saingan untuk mensejajarkan diri dengan mereka.
Melihat kenyataan ini, muncul beberapa tokoh muslim yang berupaya membangunkan atau bahkan menggertak umat Islam dari lamunan panjang agar berlari mengejar ketertinggalan. Sebutlah misalnya Moh. Arkoun dengan teori kritik nalar Islam atau Abid al-Jabiri dengan teori kritik nalar Arab, Moh. Iqbal, Moh. Abduh, Ali Syari’ati, dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka memberi warning  bagi umat Islam bahwa sekarang zaman telah berubah, zaman telah maju, zaman telah modern, maka tak layak bagi kita hanya berleha-leha dan bangga melihat kemajuan kelompok lain, sementara kita hanya berdiam diri. Sudah saatnya kita meraup kembali kemajuan yang sudah hilang itu.
Itu tentang sejarah. Kita tinggalkan sejenak. Mari kembali ke pembicaraan semula. Sering kita dengar, menulis erat kaitannya dengan membaca. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Bila ingin membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain yang lebih maju,  kita jelas kalah dalam bidang literasi. Siswa-siswa di negara lain membaca puluhan buku tiap tahun. Tetapi dalam penelitian Taufik Isma’il pada tahun 2008, siswa Indonesia malah 0 buku. Wajar saja jika buku yang diterbitkan hanya 5.000 dalam setahun. Bandingkan dengan Malaysia yang bisa menghasilkan 18.000 judul buku tiap tahun. Sederhananya, kalau minat baca saja rendah, apalagi menulis. Apa yang mau ditulis kalau tidak membaca?
Mengikuti acara Diskusi Literasi oleh Eko Prasetyo, editor bahasa harian Jawa Pos, 29 November di SMA 3 Annuqayah kemarin, membuat hati saya tergugah kembali untuk menulis, kendatipun tulisan ringan yang serampangan macam ini. Saya hanya terhenyak ketika melihat foto Nick Vujicic yang diperlihatkan pak Eko waktu itu. Bayangkan saja, sosok Vujicic yang tidak memiliki fisik sempurna seperti kita (tidak punya tangan dan kaki) masih bisa menulis dan menginspirasi banyak orang. Kekurangan yang ada padanya tidak dijadikan alasan untuk bergantung pada orang lain. Bahkan, ia masih bisa berenang dan melakukan olah raga lain. Sungguh mengagumkan!
Bandingkan dengan kita yang mempunyai fisik sempurna. Membaca dan menulis saja sudah tidak ngeh. Apalagi melakukan aktifitas lain yang lebih manfaat?  Kesempurnaan fisik yang kita punya sejatinya tak cukup disyukuri melalui lisan saja, melainkan harus diiringi dengan tindakan. Mensyukuri fisik yang sempurna berarti menggunakan fisik tersebut untuk hal-hal baik dan bermanfaat.
Kebutuhan manusia yang paling esensi adalah inspirasi, kata pak Eko. Dengan inspirasi, manusia akan tergerak untuk berusaha, tergerak untuk menulis, dan tergerak untuk maju. Inspirasi sebenarnya bertebaran di sekeliling kita, ada banyak hal yang bisa dijadikan inspirasi. Inspirasi itu lalu kita jadikan pemantik semangat untuk bergerak menggapai kulminasi mimpi yang kita inginkan.
Dunia saya adalah dunia aksara. “Berpisah ranjang” dengan kata tampak sulit rasanya. Jelas saja, karena saat ini saya memang berada di dunia akademik yang menuntut saya untuk terus belajar, membaca, dan menulis. Sejalan dengan jargon Steve Jobs, stay hungry, stay foolish. Tetap merasa lapar akan membuat kita selalu ingin makan, tetap merasa bodoh akan menjadikan kita haus untuk selalu belajar. Akhirnya, semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita kantongi, spontan kita akan bertanya diri “saya kok semakin bodoh ya?”  
Guluk-guluk, 30 November 2012  

Melupakan Masa Lalu
Tidak semua orang suka bicara soal masa lalu. Istilah “masa lalu” kadang menjadi sesuatu yang “mengerikan” bagi sebagian orang. Mereka tak ingin masa lalu terus diungkit dan diingat kembali setelah sekian lama mencoba menguburnya. Ada apa di masa lalu? Pertanyaan inilah yang akan mengantarkan pada jawaban mengapa masa lalu terkesan “mengerikan”. Tiap orang tentu memiliki jawaban yang beragam. Tetapi dipastikan salah satu alasannya adalah karena masa lalu meninggalkan kenangan getir yang menumpahkan derita. Lantas siapa yang ingin kembali terluka? Siapa yang mau bermuram durja karena mengingat momen di kala berduka? Tidak ada. Lalu hati kita diam-diam akan berkata, sudahlah.. yang lalu biarlah berlalu, tinggalkan kenangan itu.    
Setiap orang memiliki masa lalu, entah senang, entah muram. Dunia yang terikat ruang dan waktu memberi tahapan-tahapan waktu pada perjalanan hidup manusia. Yang telah lalu menjadi kenangan, saat ini adalah kenyataan, dan yang akan datang adalah harapan. Setiap tahapan waktu itu, mestinya dimanfaatkan sebaik mungkin oleh manusia. Masa lalu dijadikan pelajaran, kenyataan saat ini dilalui dengan maksimal, dan masa depan ditatap dengan rasa optimis. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quranil Karim, menyatakan La khaufun ‘alaihim fiima yastaqbiluunahum ketika menggambarkan keadaaan orang-orang mukmin yang selalu optimis menatap masa depan.
Tetapi, adakalanya seseorang tidak ingin membuang masa lalunya yang pahit dengan dalih ingin menjadikannya cerminan untuk menjalani hari-hari berikutnya. Ia menginginkan masa lalu yang menjatuhkan dirinya menjadi pelajaran berharga sehingga kelak tidak terjatuh kembali di lubang yang sama. Orang yang demikian melihat masa lalu bukan sebagai momok yang menakutkan, melainkan sebagai senjata yang akan menolongnya melalui hari-hari ke depan.
Ketika masa lalu yang saya miliki menikam hati, saya lalu berpikir tamanni, “andai saja waktu itu (masa lalu) bisa saya perbaiki, saya bisa berpikir jernih dan mempertimbangkan segalanya secara matang, maka saya tidak akan menyesal begini”. Penyesalan memang kerap muncul setelah apa yang kita harap tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Setelah itu saya mencoba berpikir positif, untuk apa disesali, toh konfigurasi masa lalu tidak akan kembali lagi? Yang bisa dilakukan saat ini adalah mencoba menyikapinya dengan mata terbuka bahwa manusia ada untuk sekarang dan masa depan. Masa lalu boleh diingat asal bukan untuk disesali, tetapi untuk digali ibrahnya sebagai bekal masa depan.
Kemarin, saya sempat berdiskusi kecil dengan seorang teman terkait masa lalu. Bukan soal esensi dan fungsi dari masa lalu yang saya bicarakan tadi, tetapi kami hanya mempersoalkan kata “melupakan” ketika dilihat secara leksikal. Memang terkesan sederhana, tapi perbincangan itu tidak membuat saya berhenti untuk mencari jawaban argumentatif dari apa yang saya katakan, karena waktu itu jawaban yang saya utarakan –dalam persepsi saya- benar walaupun alasannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau boleh saya analogikan, saya akan menyebut dia seperti Moh. Syahrur yang biasa menggunakan pendekatan literal-tekstual dalam menafsirkan kalimat. Sementara saya sendiri menggunakan pisau analisis sebagaimana yang dipakai Nashr Hamid Abu Zaid atau Fazlur Rahman dalam menafsirkan suatu teks. Memang, tidak akan ada kebenaran yang absolut ketika si pembicara adalah manusia. Tetapi, paling tidak kita harus tetap berusaha mencari jawaban yang paling mendekati kebenaran.
Beberapa menit, perdebatan kami tak kunjung usai dan menemukan ujung penyelesaian. Dia berkata, tidak tepat bila ada orang yang mengatakan, “saya bisa melupakan masa lalu” sebagai representasi kalimat “saya bisa melupakan atau membuang perasaan cinta pada masa lalu saya”. Karena baginya, tidak mungkin  orang bisa lupa secara utuh terhadap masa lalu. Pasti ada momen-momen tertentu yang masih bisa diingat-ingat kembali. Lain lagi masalahnya jika orang tersebut memang sudah amnesia dan tidak bisa mengingat apa-apa.
Ya, benar apa yang dia katakan. Kalau dilihat secara  bahasa, kata “melupakan” berarti tidak ingat apapun. Dan tentu tidak akan ada orang yang bisa lupa keseluruhan terhadap apa yang sudah terjadi. Betul jika penggunaan kalimat “saya bisa melupakan masa lalu” itu salah. Tetapi saya memiliki pandangan berbeda dalam hal ini. Penggunaan kalimat itu bagi saya tepat ketika masuk dalam konteks Stilistika atau Balaghah.  
Saya buka-buka lagi buku tentang itu setelah sekian lama merana dalam lemari. Saya lihat dan kemudian mempelajarinya dalam beberapa menit. Akhirnya, saya mendapat jawaban setelah sampai pada bab Majaz. Lantas saya mengambil kesimpulan bahwa kalimat “saya bisa melupakan masa lalu” termasuk kategori Majaz Mursal, yakni majaz yang tidak menggunakan ‘alaqah musyabahah (hubungan keserupaan).
Salah satu cirinya adalah menyebut keseluruhan tetapi yang dimaksud adalah sebagian. Kata “melupakan” yang berarti keseluruhan tidak ingat apa-apa bisa benar dalam Stilistika ketika digunakan dalam kalimat yang tadi, sebab pembicara memang sengaja menyebut keseluruhan tetapi yang dimaksud hanyalah sebagian, yakni rasa, rasa yang sudah ia lupakan. Penggunaan yang serupa ini memang banyak digunakan dalam al-Quran sebagai bentuk majaz yang indah. Salah satunya dalam surat al-Baqarah ayat 19: yaj’aluuna ashabi’ahum fii adzanihim min as-shawa’iqi hadzaral maut. Kata ashabi’ahum dalam ayat ini bukan berarti semua jari, tetapi yang dimaksud hanyalah telunjuk.
Setelah ini, saya tak ingin mempersoalkannya lagi. Jawaban yang ia berikan dan jawaban yang saya tawarkan bagi saya sama-sama benar, tergantung dari sudut pandang apa kita melihatnya. Tidak mengherankan memang bila satu objek bisa ditafsirkan secara beragam. Penafsiran-penafsiran itu kesemuanya berupaya menuju satu titik sumber, yakni objek itu sendiri walaupun melalui jalur yang berbeda.  


Guluk-guluk, 29 November 2012




Melankolis-Phlegmatis
Masing-masing orang memiliki kepribadian unik yang berbeda-beda. Perbedaan itu diyakini sebagai anugerah yang Tuhan beri agar manusia bisa saling melengkapi. Kalau sama, tentu saja tidak ada yang istimewa. Kesannya, biasa-biasa saja. Berjalan secara stagnan dan monoton. Dan pada akhirnya, tumbuhlah kebosanan. Perbedaan karakter dan kepribadian setiap orang menjadikan perjalanan hidup ini lebih berwarna dan bermakna. Kekurangan yang dimiliki seseorang, bisa ditutupi dengan kelebihan yang orang lain miliki. Demikian seterusnya hingga manusia bisa “melepas” keterbatasan dan kekurangannya dengan bergantung pada orang lain.
Berbicara kepribadian, saya teringat  waktu dimana saya masih duduk di bangku kelas XII Madrasah Aliyah Keagamaan (SLTA). Ketika itu, guru bahasa Indonesia, Zubaidi Mukhtar, memperkenalkan jenis-jenis kepribadian yang orang miliki. Buku Personality Plus karya Florence Littauer yang baru saja beliau baca mengajak hatinya untuk berbagi pengetahuan itu dengan kami, katanya. Lalu beliau menyebut macam-macam kepribadian yang begitu asing di telinga saya. Phlegmatis, Melankolis, Koleris, dan Sanguinis adalah istilah-istilah yang beliau sebutkan waktu itu.
Saya jadi bertanya-tanya, kenapa Pak Zubed –panggilan khas Zubaidi Mukhtar- tiba-tiba berbicara penjang lebar mengenai kepribadian dan lebih memilih meninggalkan materi pelajaran? Saya penasaran. Namun akhirnya, tanya itu terjawab setelah beberapa menit beliau menyampaikan definisi istilah-istilah yang saya sebut tadi. “Mengenali kepribadian kita itu sangat penting. Selain untuk mengetahui kekurangan-kekurangan yang kita miliki, kita juga bisa tahu apa kelebihan yang mungkin belum kita sadari. Dengan begitu, kita tidak selalu menyesali dan mengutuk diri karena kekurangan-kekuranga itu, tapi juga bisa mengapresiasi diri sehingga lebih optimis menjalani hidup ini,” ungkapnya dengan bijaksana.
Ya, apa yang beliau sampaikan benar, mengenali kepribadian diri itu sangat penting. Seringkali kita hanya melihat kekurangan-kekurangan yang melekat pada diri kita dan melupakan kelebihan yang kita miliki. Wajar kemudian jika kebanyakan orang seringkali lupa bersyukur dan malah menyalahkan Tuhan. Puncaknya, kita selalu menyesali dan mengutuk diri dan sama sekali tidak mengapresiasi diri. Padahal, tindakan yang demikian semakin menjadikan kita kerdil dan menjadikan potensi semakin tenggelam. Apresiasi diri itu butuh, lho…  
Setelah itu, pak Zubed memberi kami dua lembar kertas berisi sejumlah soal ganda tentang beberapa hal terkait minat, kesukaan, kemampuan, dan lain-lain. Untuk mengenali kepribadian yang sesungguhnya, beliau menghimbau kami agar  menjawab pertanyaan itu dengan jujur. Setiap jawaban memiliki skor masing-masing untuk kemudian dijumlah guna mengetahui kepribadian apa yang kita miliki. Saya lupa, tiap-tiap jenis kepribadian skornya berapa. Mulailah saat itu teman-teman menfokuskan diri untuk menjawab pertanyaan yang tidak begitu sulit itu. Beberapa menit, suasana kelas terasa hening.
Menit berlalu,  instruksi selanjutnya, kami mesti menjumlah skor yang terdapat dalam jawaban yang kami contreng. Setelah dijumlah keseluruhan, barulah kemudian diketahui apa jenis kepribadian yang kita miliki. Dan…. Ajaib! Jenis kepribadian yang teman-teman miliki setelah menjumlah skor itu hampir keseluruhan sesuai dengan kenyataan yang ada. Pak Zubed kemudian menanyakan salah seorang dari kami untuk menyebut jenis kepribadiannya. Setelah itu, spontan beliau menyebutkan kebiasaan yang sering dia lakukan, bagaimana karakternya, apa yang tidak disukainya, apa kelebihannya, apa kelemahannya, apa minatnya, dan lain sebagainya. Dan itu benar. Haah, untung saja saya tidak diramal waktu itu. Lega, aman. He he he…
Kenapa saya katakan sesuai? Sebut saja misalnya Raudhatul Jannah, teman sebangku saya, yang menurut skor berkepribadian Phlegmatis. Ternyata, itu betul. Dia memang pendiam, damai, tenang, rileks, terkendali, dan tidak terlalu reaktif menghadapi masalah. Beda lagi dengan Sab’atul Qamariyah yang katanya berkepribadian Koleris. Sosok ini memang begitu ambisius, sekali berkeinginan, harus tercapai. Bahkan ia ingin meraih bintang yang berada di luar jangkauannya. Benar kan, Mar?
Lalu, Qurratul Aini dan Nur Hasanatul Hafshaniyah, dua “rival” saya ini berkepribadian Melankolis setelah menjumlah skor jawabannya. Kalau dipikir-pikir, tampaknya iya. Mereka memang memiliki kemampuan analisa yang tajam, berbakat, serius, tekun, jenius, penuh pertimbangan sebelum bertindak, perfeksionis-standar tinggi, ideal, dan terorganisasi. Jelas berbeda dengan Muthmainnah Zaini yang Sanguinis. Teman yang paling kocak di kelas ini benar-benar pelipur lara. Suka bercerita, mudah berteman, menyenangkan, penuh rasa ingin tahu, antusias, ekspresif, memukau pendengar, lugu, dan polos adalah beberapa ciri orang Sanguinis. Coba saja tanyakan pada teman sekelas saya, siapa siswa di kelas yang ceriwis dan suka menghibur? Iin, kali ya. Hehe… tentunya tidak bosan berteman dengan orang macam ini. Berada di sampingnya, membuat orang tidak bisa menghentikan tawa. Peace, In. J
Selain kelebihan, empat jenis kepribadian itu juga memiliki kelemahan masing-masing. Phlegmatis yang damai biasanya tidak memiliki rasa antusiasme yang tinggi, pemalas, suka menunda-nunda waktu, sulit mengungkapkan perasaan, tidak berpendirian, perlu didorong untuk bertindak, dan melawan perubahan (konservatif). Lalu, Melankolis yang sempurna kerapkali tertekan ketika mendapatkan masalah, sentimen, merendahkan diri, suka menunda-nunda karena terlalu banyak pertimbangan, mengajukan tuntutan yang tidak realistis kepada orang lain (over perfeksionis), dan mudah sakit hati.
Beda dengan dua jenis kepribadian itu, kekurangan Koleris yang kuat adalah pekerja keras yang tidak santai, tidak terkendali, manipulatif, tidak tahu bagaimana cara menangani orang lain, merasa paling benar, kurang lunak, sulit mengakui kesalahan, senang berdebat kusir, dan sulit minta maaf. Sedangkan Sanguinis yang populer adalah sosok yang suka berbicara banyak padahal kadang tidak penting, mementingkan diri sendiri, ingatannya tidak tajam, membesar-besarkan kabar, tidak tertib, tidak dewasa, suka menyela pembicaraan dan menjawab untuk orang lain.
Kekurangan yang terdapat pada satu jenis kepribadian sebenarnya bisa ditutupi dan dilengkapi oleh jenis kepribadian yang lain. Sosok Melankolis, misalnya. Sosok yang seringkali merasa tertekan dan terlalu reaktif ini, bisa dikendalikan oleh Phlegmatis yang damai. Sebaliknya, sosok Phlegmatis yang nyaris tidak memiliki semangat dan pemalas bisa dimotivasi oleh Melankolis yang tekun dan memiliki suplai semangat yang berjibun.
Atau Koleris yang kuat, ia bisa bersanding dengan Sanguinis yang populer. Koleris yang pekerja keras dan serius bisa rileks ketika berada di samping Sanguinis. Orang Koleris nyaris tidak punya waktu untuk menghibur diri, ia lebih senang pada hal-hal yang serius. Biar imbang, maka ia butuh Sanguinis. Demikian pula sebaliknya, sanguinis yang terlalu suka pada hiburan, paling tidak bisa memikirkan hal-hal penting dan serius bersama Koleris. Ah, betapa indahnya dunia bila semua orang bisa saling melengkapi.
Setelah melalui tes menjawab soal-soal ganda, ternyata saya berkepribadian Melankolis. Terlepas dari benar-salahnya, saya berharap teman hidup saya kelak adalah Phlegmatis, agar saya merasa tenang dan damai berada di sisinya. Semoga saja!

FLP PP Annuqayah Latee II, 27 November 2012