Judul Skripsi
Tidak ada yang istimewa dari tulisan ini. Saya hanya
ingin berbagi. Berbagi tentang cerita saya yang tidak disiplin dan sering kali
mengentengkan banyak hal. Ini kebiasaan buruk yang telah saya idap sejak dulu. Tidak
mudah mengobati “penyakit” yang telah bertahun-tahun menyerang itu. Di bangku kuliah,
“penyakit” itu belum kunjung sembuh, sehingga memberi kesan saya tidak serius kuliah.
Ketika jam kuliah misalnya, teman-teman kelas kerap tersenyum mendapati saya
yang sering datang telat. Sampai-sampai dosen pun mengenali saya gara-gara
sering terlambat. Kadang tanpa sengaja saya mendengar bisikan teman-teman yang
duduk di bangku depan, “oh… sudah biasa” atau “sudah pukul berapa sekarang?”
Duh, malunya daku. Saya hanya bisa menjawab dengan senyum sekadarnya.
Ketidakdisiplinan itu juga menimpa saya dalam proses
pembuatan skripsi tahun ini. Dulu, saya bertekad untuk tidak main-main dalam
membuat skripsi, tidak seperti pembuatan paper saya waktu MAK yang tampak
awut-awutan. Saya tidak ingin sekedar lulus, sementara penelitian akhir yang
merupakan salah satu persyaratan lulus S1 itu sekedar selesai tanpa
mempertimbangkan kualitas isinya. Sewaktu semester rendah, saya “takut” melihat
skripsi yang dibuat kakak-kakak kelas. Tampaknya “wah”. Sedangkan kemampuan
saya di bidang tulis menulis sangat minim. Saya lalu bertanya-tanya, “bisakah
saya membuat karya penelitian seperti itu?”
Dan tibalah saat untuk menghadapi itu: pembuatan
skripsi. Sebelum berangkat KKN, saudara saya pernah bercerita kalau dirinya
dulu menyelesaikan proposal skripsi waktu masih KKN. Saya kagum, ternyata dia
masih bisa menyelesaikan proposal itu di tengah-tengah kesibukannya melayani
masyarakat. Dia menghimbau agar saya meniru jejaknya: menyelesaikan proposal
secepatnya. Di tempat KKN, saya sempat mengingat pesan saudara saya itu. Tapi
ternyata saya tidak bisa membagi waktu. Kegiatan di posko saya terbilang padat
hingga melupakan hal lain selain kegiatan KKN. Mulai pagi hingga malam kegiatan
tidak pernah diliburkan. Jadilah saya kelimpungan untuk meluangkan waktu guna
menyelesaikan proposal skripsi itu. Akhirnya saya pasrah, sudahlah… urusan
proposal, nanti belakangan.
Sekarang saya menduduki semester VII. Teman-teman mulai
sibuk mengurusi judul skripsinya, mulai dari minta rekomendasi dekan hingga
mencari buku bacaan. Dari lima belas mahasiswa Tafsir Hadis VII, hanya tiga
orang yang belum menyetor judul, salah satunya adalah saya. Teman-teman yang perhatian
kadang bertanya pada saya apakah saya sudah menemukan judul atau belum,
“gimana, Shob? Udah selesai menyetor judul?.” Jawaban saya selalu saja
menggeleng. Padahal, semester VII sudah hampir saya lewati. Judul yang pas itu
belum juga saya temukan.
Jika saya menghubungi keluarga, pembicaraan mereka
tidak lepas dari pertanyaan seputar skripsi. Mereka tidak menginginkan saya
mengundur-undur waktu sampai tahun depan. Mereka memberi deadline waktu,
tahun ini saya harus lulus S1. Ketika ditanya, jawaban saya selalu sama, saya
belum menemukan judul. Tak jarang, saudara saya merasa kecewa dan sempat memarahi
saya. “Sudah mau semester delapan, kok masih belum menemukan judul?”, katanya
suatu ketika. Saya tidak tahu harus menjawab apa. Toh, saya benar-benar
kebingungan mencari judul. Jawaban saya hanya membisu.
Sekarang tinggal saya sendiri yang belum menyetor
judul, dua teman saya yang belum itu sudah selesai. Sebagian teman kadang
menyindir saya, “judul seperti apa yang kamu inginkan? Jangan terlalu idealis lah…”
atau “saya gak percaya kamu belum menemukan judul. Banyak kok masalah. Kamu
saja yang enggan mengangkat masalah itu” atau “kalau judulnya gak “wah” memang
gak mau kamu ambil?” Begitulah celotehan teman-teman mengenai saya yang
terkesan enteng. Yah, mereka kok malah berpikir begitu, sih? Berpikir
menemukan masalah saja saya kesulitan, apalagi memikirkan judul ideal seperti
yang mereka maksud. Nyatanya, mereka malah diam saja ketika saya meminta mereka
untuk menawarkan judul. Setelah beberapa lama, akhirnya muncullah judul Sinonimitas
Lafadz dalam al-Quran (Analisa Pemikiran Aisyah Abd. Rahman Bintu Syati’)
dari tangan saya.
Memang, saat ini saya tidak begitu antusias
menyelesaikan skripsi. Bagi kebanyakan mahasiswa, tugas skripsi hanya dijadikan
formalitas saja. Mereka hanya mengejar satu kata: lulus. Dengan cara bagaimanapun
mereka berusaha menyelesaikan skripsi meski harus menjadi plagiator. Saya banyak
menemukan fenomena itu. Dan tidak tanggung-tanggung, bahkan ada mahasiswa yang menjiplak
total: meminta skripsi mahasiswa lain di kampus berbeda lalu mengatasnamakan
dirinya. Tidak orisinil. Karena yang ada di benak mereka hanyalah lulus dan
lulus. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa yang mereka kejar hanya titel di belakang nama? Mana pertanggungjawaban
keilmuannya? Inilah yang membuat saya tidak ngeh menyelesaikan skripsi.
Mahasiswa kebanyakan tidak melihat lebih dalam esensi dari skripsi itu sendiri.
Akhirnya, yang ada di benak saya sekarang hanyalah
bagaimana saya bisa membaca sebanyak-banyaknya dan menulis sebanyak-banyaknya.
Membaca apa saja dan menulis apa saja tanpa mempertimbangkan kualitas tulisan
tersebut. Karena dengan membaca dan menulis, saya menemukan kepuasan
tersendiri. Untuk urusan skripsi, nanti lah belakangan. Hehehe… (maafkan
saya, Ibu. Putrimu lagi malas)
Rinai
Hujan, 10 Desember 2012