Halaman

Rabu, 24 April 2013



Juara 3 lomba menulis Esai FCB V tingkat Nasional. Semoga menyusul prestasi-prestasi selanjutnya yang lebih prestisius.  

Harapan Negeri yang Sekarat

Belakangan, ada persepsi bahwa negeri kita tengah sekarat. Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan untuk membuktikan hal itu.  Fenomena-fenomena buruk yang muncul sejak awal tahun ini adalah salah satu jawabannya. Awal tahun 2013 yang mestinya dapat melahirkan terobosan-terobosan baru sebagai solusi atas problema bangsa malah disuguhi peristiwa buruk yang tak disangka-sangka. Tak salah bila kemudian  muncul rumor bahwa angka 13 adalah angka sial dan berpotensi mendatangkan petaka. Lantas sebagian orang berujar, “Mestinya tahun 2013 diubah menjadi 2012 b untuk menenggelamkan sisi petaka dari angka 13 tersebut, sehingga negeri kita pun selamat dari bahaya.” Ah, tak baik rasanya kita menyalahkan angka. Tentu ada solusi yang lebih realistis dari itu. Dan Indonesia harus menemukannya. Memang, ada apa dengan negeri kita?  
Kekerasan dalam Masyarakat
Sekitar 14 tahun kita menghirup udara demokrasi setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Negara yang demokratis memberi peluang besar bagi rakyat untuk turut andil dalam memajukan negeri ini. Rakyat bebas bersuara, mengontrol, mengkritik, atau bahkan menjatuhkan birokrasi yang tidak sejalan dengan cita-cita bangsa. Pada domain ini, rakyat diibaratkan seorang raja dan pemerintah sebagai pelayannya. Dengan demikian, yang lebih memiliki otoritas penuh dalam mengatur negeri ini adalah rakyat. Maka, sebagai pelayan, pemerintah harus bersedia melayani bukan justru merajai.
            Selama ini, sistem demokrasi masih diyakini sebagai modus yang tepat untuk mencapai kesejahteraan yang diimpikan rakyat. Dikatakan demikian, sebab keadilan yang dicita-citakan rakyat dapat terwujudkan melalui sistem yang demokratis. Beda dengan sistem politik tirani dan oligarki yang—menurut  Socrates—merupakan sistem yang amat merugikan dan menyengsarakan rakyat karena hilangnya rasa keadilan dalam sistem politik ini.
Keadilan merupakan hal yang esensial bagi pemenuhan kecenderungan alamiah manusia. Bagi Socrates, keadilan (justice) merupakan tujuan politik yang layak. Suatu rezim atau masyarakat dikatakan adil manakala setiap kelas melaksanakan fungsi dan pekerjaannya secara maksimal dan bekerja sama secara harmonis di bawah pengarahan pemimpin  yang bijaksana.  
            Dan Indonesia sudah menganut sistem demokrasi itu sejak beberapa tahun yang lalu. Berharap, dengan hadirnya demokrasi yang telah menumbangkan sistem tirani pada masa Presiden Soeharto, kesejahteraan  yang selalu diidam-idamkan rakyat dapat segera terwujud. Rakyat menginginkan kehidupan yang layak, pendidikan yang baik, kesehatan yang terjamin, dan keamanan yang maksimal dari pemerintah.
            Sudahkah rakyat meneguk harapan tersebut setelah hidup di bawah payung demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan “pelik” ini, ada baiknya jika kita menyorot kembali fenomena yang mendera negeri kita belakangan ini. Tentu masih segar dalam ingatan kita mengenai insiden eksekusi yang dilakukan oleh sekelompok orang anonim terhadap empat tahanan di LP Cebongan, DI Yogyakarta beberapa hari yang lalu. Mungkin juga kita masih ingat tentang tewasnya Ajun Komisaris Andar Siahaan setelah dikeroyok massa saat bertugas untuk membubarkan perjudian pada 29 Maret 2013 kemarin.
             Dua aksi brutal tersebut hanyalah segelintir problema yang sempat mengoyak rasa aman di negeri ini. Aksi kekerasan dengan berbagai macam bentuknya dari tahun ke tahun kian meningkat. Aksi tersebut tidak hanya sebatas merampok dengan senjata, tetapi malah berkembang menjadi kekerasan seksual, mutilasi, hingga membakar korban. Harian Kompas edisi 11/03/2013 memperlihatkan angka kekerasan yang mungkin akan membuat kita tercengang. Dalam headline-nya diwartakan, secara nasional, jumlah kasus kekerasan yang tercatat di kepolisian naik turun sejak tahun 2009 hingga 2012. Dua tahun terakhir jumlah kasus meningkat, dari 296.146 kasus yang dilaporkan tahun 2011 meningkat menjadi 316.500 kasus sampai November 2012. Dalam kurun waktu yang sama, penyelesaian kasus hanya meningkat 1 persen, dari 52 persen menjadi 53 persen.
            Membaca kabar itu, tentu hati kita teriris dan lantas bertanya-tanya, sudah berapa banyak korban yang telah kehilangan perlindungan HAM? Sudah berapa banyak orang yang meraung ketakutan karena diintai kematian? Sungguh, miris sekali rasanya mendengar kasus yang datang bertubi dan tak henti-henti itu. Perlindungan HAM dan keamanan yang diharapkan rakyat seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, utamanya oleh oknum yang bergerak di bidang keamanan negara. Mengingat, hal itu sudah menyangkut keselamatan nyawa seseorang. Dan di balik peristiwa itu, kita pun akan berani mengambil kesimpulan bahwa keadilan di negera kita masih terpasung.
            Itu hanya soal keamanan. Belum lagi kalau kita mau melirik situasi di bidang politik, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya. Tentu kita akan menemukan sederet daftar buruk negeri ini yang makin tak menentu. Memang, problem hidup ini tidak akan pernah usai. Dari waktu ke waktu kompleksitas masalah yang dihadapi manusia akan terus berkembang. Namun naif rasanya jika problem tersebut tetap dibiarkan dan diabaikan hingga menimbulkan masalah-masalah lain sebagai efek domino. Solusi yang strategis untuk mengentaskan problem akut tersebut mestinya segera digelar agar tidak semakin menjalar.
Endemi Korupsi Meruyak     
            Selain fenomena kekerasan yang disebut di atas, kita juga harus melihat Indonesia dari sisi lain. Artikel Sayidiman Suryohadiprojo berjudul Paradoks Indonesia di harian Kompas, edisi 24/11/2012 barangkali bisa menyadarkan kita tentang kontradiksi di negeri ini. Kita tentu tahu perihal penghargaan tinggi yang didedikasikan Ratu Elizabeth II berupa bintang The Knight Grand Cross in The Order of The Beth kepada presiden kita akhir tahun lalu. Ia menilai, SBY telah berhasil menjadikan Indonesia demokratis dan meningkatkan perekonomian bangsa di tengah krisis Eropa. Sebelumnya, pujian itu juga datang dari pemimpin negara lain seperti AS dan Jepang. Wajar saja bila kita turut bangga melihat sang pemimpin dipuji negara lain yang tergolong maju.
Namun, cobalah sekali-kali kita intip fenomena yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Di bidang politik, misalnya, kita akan dihadapkan dengan pemberitaan media massa tentang endemi korupsi yang semakin menjadi. Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Andi Mallarangeng yang merupakan kader Demokrat berhasil diseret KPK ke dalam jeruji besi. Bahkan, berkat integritas pimpinan KPK, Anas Urbaningrum yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua Umum Demokrat, juga berhasil ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi. Slogan “Katakan Tidak Pada Korupsi” yang sejak kampanye digembor-gemborkan oleh Partai Demokrat hanyalah hembusan angin yang tak berarti apa-apa. Ideologi yang mereka usung tersebut sangat kontraproduktif dengan fakta yang diperlihatkannya saat ini. Jelas, ini merupakan tamparan keras bagi rakyat yang sebagian besar mendukung Demokrat.
Saya pernah dibuat terperangah oleh pemberitaan Kompas edisi 5/12/2012 tentang jumlah nominal yang “dirampok” pejabat dari 2004 hingga 2011. Di sana disebutkan bahwa uang sejumlah 39,3 triliun dengan 1.408 kasus korupsi telah masuk dalam kantong koruptor yang bermental kemaruk. Lantas siapa yang tidak kaget mengetahui itu? Uang yang tidak sedikit itu tentu mampu menyejahterakan masyarakat, utamanya masyarakat akar rumput yang berekonomi lemah, bila dibagi-bagikan kepada mereka. Tetapi, mental korup yang bersarang dalam jiwa pejabat mengalahkan rasa empatinya terhadap rakyat.  
Problem meruyaknya korupsi telah menjadikan negera kita sekarat. Banyak masyarakat yang bertanya-tanya, mengapa budaya korupsi sedemikian kuat dan seolah tidak pernah mau lewat? Melihat kasus-kasus korupsi di atas, perlu kiranya kita melihat korupsi secara lebih jernih.
Akhir-akhir ini, muncul asumsi ke permukaan bahwa di antara penyebab korupsi adalah kepribadian buruk koruptor itu sendiri dan sistem hukum yang kurang tegas (faktor internal dan faktor eksternal). Saya sendiri menilai, kedua faktor tersebut sama-sama benar.  
Secara psikologis, situasi hati seseorang akan sangat mempengaruhi perilaku dan tindakannya sehari-hari. Hati yang busuk akan melahirkan tindakan yang buruk. Benar apa yang dikatakan kaidah Arab, adh-dhahiru yadullu ‘ala al-bathin (apa yang tampak menggambarkan apa yang tidak tampak). Artinya, perilaku seseorang akan sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi hatinya.
Di sisi yang berbeda, saya juga melihat terdapat faktor eksternal yang juga mempengaruhi kegemaran pejabat melakukan korupsi, yakni sanksi hukum yang terkesan ringan sehingga tidak melahirkan efek jera terhadap pelakunya. Bayangkan saja, uang yang digerus bermiliar-miliar itu kadang hanya diganjar dengan hukuman enam tahun penjara atau tiga tahun penjara. Tentu saja, hukuman yang dijatuhkan itu tidak sebanding dengan uang yang dikorup. Mereka yang korup sebelum melakukan tindakan bejat itu akan mempertimbangkan terlebih dahulu sanksi yang akan diterimanya--jika terbukti melakukan korupsi. Dibanding dengan banyaknya uang, sanksi tersebut sama sekali tidak ada artinya. Toh, setelah keluar dari penjara  mereka akan tetap kaya.
Saya sangat mengamini solusi yang ditawarkan sebagian masyarakat yang menginginkan agar sanksi yang dijatukan terhadap koruptor adalah memidana kekayaan yang mereka miliki. Artinya, mereka dibuat miskin. Seluruh kekayaan yang mereka punya diambil-alih dan dikembalikan kepada negara. Hal ini pernah dilakukan KPK terhadap Ir. Djoko Susilo yang menjadi tersangka kasus pengadaan Simulator di Korps Lalu Lintas (Korlantas). Sanksi yang semacam ini bisa jadi akan menggetarkan hati calon koruptor untuk melakukan korupsi, sebab tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan hidup miskin, apalagi koruptor yang memang selalu merasa kurang.

Demokrasi Prosedural
Banyaknya kasus korupsi ini sebetulnya mengajak kita melakukan refleksi dan renungan tentang keadaan sistem perpolitikan kita. Apa yang salah dari sistem politik Indonesia? Benar, Indonesia sudah menganut sistem demokrasi. Dan sistem itu, sekali lagi, lebih baik ketimbang masa Orde Baru yang tiran. Lalu, apakah demokrasi yang berjalan selama ini sudah menunjukkan demokrasi yang esensial ataukah hanya sebatas prosedural?  
Menjelang kontestasi pemilu 2014 akan terbayang dalam benak kita pesta demokrasi yang akan berlangsung kala itu. Rakyat bebas memilih pemimpin yang diinginkannya. Lumrahnya, demokrasi akan tampak terlihat ketika berlangsungnya pilpres, pilgub, pimilukada, dan pilkades. Di sanalah demokrasi akan bergema bahwa pemimpin telah dipilih oleh rakyatnya.  
Namun di balik itu, kita akan dikejutkan betapa demokrasi hanya berjalan secara prosedural semata. Buktinya, sebelum pemilu berlangsung, kandidat pemimpin akan mengiming-imingi uang terlebih dahulu agar rakyat berpihak kepadanya. Secara tak langsung, itu menunjukkan bahwa rakyat sebenarnya tak punya kebebasan, sebab kebebasan mereka telah dibeli dengan uang selembar. Oleh karena mereka memang membutuhkan uang, mau tak mau uang itu akan diambilnya sebagai reward setelah memilih kandidat yang menyogoknya. Inilah money politic yang terus bertahan.
Dari mana kandidat itu mendapatkan uang? Nah, inilah masalah kedua. Dari sederet faktor penyebab terjadinya korupsi, salah satunya memang terdapat dalam parpol. Soal pendanaan partai adalah hal penting yang selalu disorot publik. Masyarakat menilai, selama ini partai belum transparan terkait pendanaan sehingga kerap mengundang kecurigaan publik. Apalagi jika terkait pemilu, tentu partai membutuhkan pendanaan besar yang di atas kertas rasanya mustahil jika hanya mengandalkan sumbangan dan iuran anggota sebagaimana peraturan yang ditetapkan KPU.
Biaya iklan kampanye di pemilu 2009 dapat menjadi gambaran jumlah dana yang dibutuhkan partai. Hasil jajak pendapat The Nielsen mencatat Partai Demokrat menjadi salah satu partai terbesar dalam membelanjakan iklan partai. Pada kuartal I-2009, belanja iklan pemilu Dermokrat mencapai Rp. 123, 056 miliar, berada di posisi kedua setelah Golkar (Rp. 185, 153 miliar). Meskipun demikian, Demokrat menempati posisi tertinggi dalam frekuensi iklan di televisi dengan tampilan mencapai 6.531 kali tayangan (Jajak Pendapat “Kompas”, edisi 4/3/2013). Maka, tak heran rasanya ketika fakta mengungkap bahwa sebagian besar elite parpol yang terlibat kasus korupsi belakangan ini lahir dari Partai Demokrat.
Kebutuhan dana yang sangat banyak untuk menyukseskan partai dalam pemilu “memaksa” pejabat untuk melakukan perbuatan terkutuk itu. Dana yang sedikit tidak menjanjikan partai untuk menang dalam kontestasi pemilu. Oleh karena itulah, setelah sukses menang, mereka kadang tak jera melakukan korupsi. Demikian itu dilakukan untuk menebus uang yang telah hanyut ketika pemilu.
Perilaku elite politik tersebut perlahan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.  Pemimpin yang mestinya berpihak pada masyarakat kelas bawah justru lebih mementingkan kepentingannya sendiri. Akhirnya, di banyak perbincangan, muncul persepsi bahwa negara kita mengalami krisis kepemimpinan. Ketika ditanya tentang siapakah pemimpin Indonesia yang patut diteladani, pasti jawaban yang sering dimunculkan adalah pemimpin-pemimpin tempo dulu: ya Soekarno, ya Hatta, atau Tan Malaka. Kendatipun ada pula yang menyebutkan salah satu pemimpin saat ini, itu pun tak seberapa.

Harapan Masa Depan
            Kendatipun masalah datang bertubi-tubi, harapan tetap tak boleh pupus. Walau bagaimanapun, berjubel-jubel masalah yang mendera negeri kita ini tak sepatutnya dibiarkan dan dihilangkan begitu saja tanpa dicarikan jalan keluar. Solusi dari pemerintah dan rakyat amat dibutuhkan dalam keadaan negara yang sekarat macam ini.
            Dalam soal pendanaan parpol, misalnya, KPU yang menjadi penentu lolos tidaknya partai dalam kontestasi pemilu seharusnya bisa menekan biaya seminim mungkin bagi parpol yang akan berkompetisi. Pendanaan yang terbilang sedikit memungkinkan untuk meminimalisir lahirnya elite porpol yang korup.
            Di samping itu, siapapun mengakui saat ini Indonesia tengah merindukan sosok pemimpin yang pro-rakyat. Pemimpin yang kehadirannya menjadi sumber mata air di tengah keringnya kepercayaan masyarakat. Andai saja pemimpin kita bisa meneladani sosok “Sukrasana”, tentu negeri ini akan damai sentosa. Sukrasana adalah tokoh utama dalam pewayangan yang buruk secara fisik tapi berwatak mulia dan kesatria. Ia adalah konfigurasi dari substansi dan esensi manusia. Cita-citanya bukanlah untuk meraup keuntungan materi di balik kedudukan yang ditempati. Satu-satunya pamrih yang ada dalam dirinya adalah cita-cita untuk membawa kemaslahatan bagi banyak orang, bukan untuk mengejar pencitraan. 
Sukrasana adalah monumen kesetiaan dan integritas yang menjadi rujukan kolektif. Ia berpikir bahwa dirinya tak lebih sebagai “utusan” Tuhan yang dititahkan untuk membawa kemaslahatan dan mewujudkan nilai ideal kehidupan.
Bukan seperti pemimpin umumnya, Sukrasana tidak butuh rumbai-rumbai artifisialitas dan tidak pula bermental kemaruk. Niatnya sebagai pemimpin benar-benar murni untuk menolong kehidupan masyarakat dunia.  
            Di Indonesia, meski sulit mencari pemimpin bermental Sukrasana, namun bukan berarti menafikannya sama sekali. Tugas seluruh elemen bangsa ini adalah menguatkan sinergisitas dengan bekerja sama mewujudkan pemimpin “Sukrasana”. Salah satu langkahnya adalah memilih pemimpin yang tepat dalam kontestasi Pemilu 2014, karena di tangan pemimpinlah masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Tentu saja kita tidak ingin pemimpin kita bermental kapital dan berjiwa makelar kekuasaan. []


Alhamdulillah, pada akhirnya, tulisan ini ditetapkan sebagai juara 1 lomba menulis resensi di kompetisi FCB Nasional 2013 BEM-I Instika tingkat regional.

Menyemai Kearifan Lokal Madura
Data Buku
Judul Buku          : Rahasia Perempuan Madura: Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan Madura
Penulis                 : A. Dardiri Zubairi
Penerbit                : Andhap Asor kerja sama dengan Al-Afkar Press
Tahun Terbit       : 2013
Tebal Buku          : XXVI + 127 halaman
ISBN                      : 978-979-25-3177-0

Dalam Kungkungan Stereotip
Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengar kata “Madura”? Di banyak perbincangan, yang kerap muncul tentangnya tak jauh dari soal carok dan kekerasan lainnya. Stereotip itu sedemikian melekat, sehingga menenggelamkan sisi kearifan dari pulau garam ini.
Sejak dulu, orang Madura sering diasosiasikan dengan celurit dan benda-benda tajam lainnya. Kita tidak bisa menampik atau menafikan kenyataan itu, karena stigma tersebut bukan tanpa alasan. Kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari perilaku orang Madura sendiri yang “menggandrungi” carok ketika ada pantangan (moral) yang telah dilanggar. Meski hanya persoalan sepele, jika itu terkait “tengka”, orang Madura selalu berani “pote tolang”. Sekali bangkit darah Maduranya, maka sulit bagi orang Madura untuk mundur.
Anggapan negatif itu telah merasuk, menyusup, bahkan mendarah-daging, utamanya bagi kalangan non-Madura. Selain karena bukti nyata di lapangan, hal ini juga disumbangkan oleh, salah satunya, publikasi film “Carok” (1985) yang disutradarai Imam Tantowi. Bagaimanapun, film tersebut juga turut andil mengukuhkan pandangan keras terhadap orang Madura.
Melihat watak keras orang Madura melulu identik dengan adu otot rasanya tak fair juga. Dari sudut pandang yang berbeda, watak keras itu bisa bermakna positif. Dari sisi ekologis, misalnya, Kuntowijoyo dalam bukunya Madura (2002) pernah menyatakan bahwa tanah tegal yang sebagian besar mendominasi pulau Madura secara tak langsung telah membentuk masyarakatnya menjadi pribadi yang self centered (mandiri), tidak gampang menyerah (mungkin juga keras kepala), dan teguh memegang moral etis. Sebab untuk bertahan hidup, mau tak mau mereka harus bekerja keras mengolah tanahnya yang tandus agar bisa ditanami. Ini sangat jauh berbeda dengan tanah sawah yang telah membentuk kepribadian orang Jawa yang community centered, lebih lembut, dan serba mistis.
Tak jauh beda dari Kuntowijoyo, Mien A. Rifa’ie dalam buku Manusia Madura (2007) menyatakan, merepresentasikan orang Madura dengan kekerasan tidak sepenuhnya benar. Ia beralasan, apabila dikaji dari filosofi parebasan yang umumnya menjadi pedoman normatif, justru masyarakat Madura itu berkarakter ideal. Misalnya, jauh sebelum orang Madura mengenal life long education yang disosialisasikan UNESCO, mereka sudah punya semboyan abeddung pellang yang memiliki makna serupa. Sebelum mahasiswa Madura menghafal istilah hifdhul ‘ardh dalam ushul fiqh, masyarakat Madura sudah punya pote mata pote tolang.
Pandangan Kuntowijoyo dan Mien A. Rifa’ie di atas tampaknya ingin memberikan cara pandang berbeda agar orang lain melihat Madura tidak hanya soal carok belaka. Karena pada kenyataannya masih banyak dijumpai kearifan lokal yang sampai saat ini masih terus dilestarikan.
Kearifan-kearifan tersebut sangat penting diangkat ke permukaan agar bisa mengimbangi atau bahkan menghilangkan pandangan negatif terhadap Madura. Sayang sekali, tidak banyak orang Madura yang mau berbuat untuk itu.
Dari yang sedikit itu, A. Dardiri Zubairi, mencoba mengambil peran dengan menghadirkan buku berjudul Rahasia Perempuan Madura: Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan Madura”. Buku ini memuat sejumlah esai tentang kebudayaan Madura yang terkesan remeh-temeh. Namun, dari yang remeh-temeh tersebut, secara tak langsung penulis telah menyuarakan penolakan atas stigma negatif yang terlanjur berkembang.
Kebudayaan yang Variatif
Sebagai orang Madura, penulis detail sekali ketika menguraikan kebudayaan-kebudayaan Madura yang kadang luput dari perhatian orang Madura sendiri. Pembaca barangkali akan terperangah saat membaca tulisan tentang rokok, kopi, sarung, songkok, dan hal remeh lainnya, setelah menyadari bahwa hal demikian telah menjadi kearifan lokal yang mengenalkan identitas orang Madura.
Buku ini dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama menguraikan tentang agama dan kebudayaan Madura. Pada aras ini, penulis memasukkan nilai-nilai religiusitas yang telah lama dibangun oleh orang Madura. Persoalan seputar agama orang Madura, pesantren, cara orang Madura menghormati guru, orang Madura yang berhasrat kuat untuk berhaji, simbol songkok, sarung, dan sebagainya penulis kupas di bagian ini.
            Dalam kesehariannya, orang Madura sering memakai sarung, bukan jubah atau celana. Entah, tidak tahu pasti alasannya apa. Namun yang jelas, sarung sudah diperkenalkan sejak dini oleh orangtua kepada anaknya. Ketika akan mengaji di surau, misalnya, orangtua pasti akan memakaikan sarung pada anaknya. Sarung telah menjadi kearifan lokal yang mengenalkan pemakainya terhadap agama. Ia juga menjadi ekspresi keagamaan yang ramah budaya. Melalui sarung, orang Madura mampu mengenal tradisi “kaum sarungan”: tahlilan, ziarah kubur, cium tangan kiai, maulid Nabi Saw., dan tradisi-tradisi lain yang dianggap bid’ah oleh kaum Wahabi.
Di bagian kedua, pembaca akan disuguhi ihwal kearifan lokal Madura yang sangat bervariasi. Mulai dari pembahasan tellasan topa’, rampak naong, ser maleng, kopi, rokok, ayam, hingga persoalan gentong. Memang terkesan sederhana, namun di sinilah sebetulnya keberhasilan penulis karena telah mampu mengangkat persoalan yang “terlupakan” dan “dilupakan” kebanyakan orang Madura.
Dalam ser maleng, misalnya, akan tampak kearifan lokal orang Madura dari sisi religiusitas dan sosial. Ser maleng adalah tindakan berbagi sedekah yang tidak diketahui orang ketika memberikannya. Dalam praktiknya, orang yang melakukan ser maleng biasanya memberi beras, kopi, gula, dan rempah-rempah. Barang yang akan diberikan itu biasanya ditaruh di depan pintu orang yang akan diberi pada malam hari, tentu tanpa memberi tahu penghuni rumah. Pagi hari si penerima bantuan akan kaget karena di depan pintu ada bungkusan tanpa tahu siapa pemberinya. Yang mungkin bisa dilakukan penerima hanya memberi tahu tetangga bahwa ia baru saja menerima ser maleng (halaman 64).
Ser maleng mengajarkan si pemberi untuk ikhlas berbagi, tidak gagah-gagahan, tidak sombong dan membangga-banggakan diri karena bisa membagi, dan tidak menganggap pemberiannya besar. Inilah hikmah yang bisa ditemukan dalam tradisi ser maleng (halaman 65-66).
Selanjutnya, uraian terkait reproduksi orang Madura akan ditemukan di bagian ketiga. Tulisan berjudul Rahasia Perempuan Madura yang dijadikan judul buku ini, penulis letakkan di bagian ini. Bicara soal perempuan memang selalu menggoda, baik ditinjau dari segi fisik, kepribadian, ataupun perannya. Madura dengan segenap cita rasa dan kulturalnya punya referensi sendiri mengenai prototipe perempuan cantik. Kecantikan  perempuan Madura bagi masyarakat Madura tidak hanya soal fisik belaka. Cantik dalam pandangan budaya Madura sangat memperhatikan substansi, sehingga muncullah pitutur raddin atena, bagus tengka gulina. Maksudnya, perempuan cantik itu adalah perempuan yang cantik hatinya dan indah prilakunya. Itulah kecantikan sesungguhnya.  
Di bagian akhir, dengan nada “menggerutu” penulis mengupas tentang stereotip yang sering dialamatkan kepada orang Madura. Tulisan berjudul Duh, Susahnya Jadi Orang Madura, Sumenep “Solonya” Madura?, Jangan Biarkan Stereotip Itu Beranak-Pinak, menunjukkan bahwa Madura yang diidentikkan dengan kekerasan patut diuji kembali. Orang yang mengatakan demikian kerap kali tidak menyertai data, melainkan hanya asumsi belaka. Artinya, penempatan Madura sebagai daerah yang rawan konflik lebih didasarkan pada prasangka, ketimbang kajian serius.
Dikatakan demikian bukan berarti penulis menampik fakta bahwa ada orang Madura yang “menyukai” kekerasan. Di Madura memang terdapat kekerasan, tetapi kekerasan tidak berarti hanya terjadi di Madura. Di daerah-daerah lain juga pasti ditemui kekerasan dengan berbagai macam bentuknya. Namun, naif rasanya jika kekerasan tersebut dianggap sebagai representasi suatu daerah. Anasir-anasir yang membentuk kekerasan tidaklah tunggal (faktor internal), melainkan juga terdapat faktor eksternalnya. Konteks sosial-ekonomi juga penting untuk dibaca. Maka analisisnya tidak benar jika hanya berpusat pada lokus di mana kekerasan itu terjadi.
Dalam perjalanan karier pendidikannya yang ditempuh di luar Madura, yakni IAIN Jakarta (sekarang UIN Jakarta), penulis mengaku sering kali dihadapkan dengan fenomena yang tampak “mendiskreditkan” orang Madura. Pernah suatu ketika ia melihat teman kos-nya yang berasal dari Jawa Mataram dipaksa seorang pedagang agar membeli jualannya. Karena tidak tahan dengan gangguannya, akhirnya orang tersebut menakut-nakuti penjual dengan mengaku dirinya sebagai orang Madura. Kisah ini menandaskan bahwa ternyata ada orang luar yang menyandera Madura. Madura yang terlanjur dicap keras sengaja disandera orang luar untuk menakut-nakuti orang lain. Jika disandera untuk membela diri sebagaimana kisah tadi, masih mending. Tapi masalahnya tidak sederhana jika nama Madura beserta segenap simbolnya digunakan untuk aksi kejahatan.
Demikianlah pengalaman penulis ketika berada di kota seberang dalam kaitannya dengan Madura. Karena kegelisahan itulah, buku setebal 127 halaman ini ditulis dengan maksud mengintrodusir kepada pembaca sejumlah kearifan lokal yang justru kontraproduktif dengan stereotip yang masih melekat sampai saat ini. Namun sayang sekali, dalam tulisannya, penulis kurang melakukan kajian serius dan mendalam. Padahal, kajian mendalam mengenai stereotip orang Madura dirasa penting sebagai bantahan yang kredibel terhadap mereka yang gampang menyebut orang Madura keras.
            Terlepas dari itu, bagi yang mengaku orang Madura, sangat disayangkan bila belum membaca buku ini. Sebab, di dalamnya penulis telah mengakumulasi beberapa kebudayaan Madura yang terserak namun sangat berarti. Maka naif kiranya jika masyarakat suatu daerah tidak mengenal kebudayaannya sendiri. Dan bagi mereka yang mudah mengecap Madura keras, tunggu dulu! Buku ini akan menjawab sekaligus mengklarifikasinya. Selamat membaca!