Juara 3 lomba menulis Esai FCB V tingkat Nasional. Semoga menyusul prestasi-prestasi selanjutnya yang lebih prestisius.
Harapan Negeri yang Sekarat
Belakangan, ada persepsi bahwa negeri kita
tengah sekarat. Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan untuk membuktikan hal
itu. Fenomena-fenomena buruk yang muncul
sejak awal tahun ini adalah salah satu jawabannya. Awal tahun 2013 yang
mestinya dapat melahirkan terobosan-terobosan baru sebagai solusi atas problema
bangsa malah disuguhi peristiwa buruk yang tak disangka-sangka. Tak salah bila
kemudian muncul rumor bahwa angka 13
adalah angka sial dan berpotensi mendatangkan petaka. Lantas sebagian orang berujar,
“Mestinya tahun 2013 diubah menjadi 2012 b untuk menenggelamkan sisi petaka dari
angka 13 tersebut, sehingga negeri kita pun selamat dari bahaya.” Ah, tak baik
rasanya kita menyalahkan angka. Tentu ada solusi yang lebih realistis dari itu.
Dan Indonesia harus menemukannya. Memang, ada apa dengan negeri kita?
Kekerasan
dalam Masyarakat
Sekitar 14 tahun kita menghirup udara demokrasi
setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Negara yang demokratis memberi peluang besar
bagi rakyat untuk turut andil dalam memajukan negeri ini. Rakyat bebas
bersuara, mengontrol, mengkritik, atau bahkan menjatuhkan birokrasi yang tidak
sejalan dengan cita-cita bangsa. Pada domain ini, rakyat diibaratkan seorang
raja dan pemerintah sebagai pelayannya. Dengan demikian, yang lebih memiliki
otoritas penuh dalam mengatur negeri ini adalah rakyat. Maka, sebagai pelayan,
pemerintah harus bersedia melayani bukan justru merajai.
Selama ini, sistem demokrasi masih
diyakini sebagai modus yang tepat untuk mencapai kesejahteraan yang diimpikan rakyat.
Dikatakan demikian, sebab keadilan yang dicita-citakan rakyat dapat terwujudkan
melalui sistem yang demokratis. Beda dengan sistem politik tirani dan oligarki
yang—menurut Socrates—merupakan sistem yang
amat merugikan dan menyengsarakan rakyat karena hilangnya rasa keadilan dalam
sistem politik ini.
Keadilan merupakan hal yang esensial bagi
pemenuhan kecenderungan alamiah manusia. Bagi Socrates, keadilan (justice)
merupakan tujuan politik yang layak. Suatu rezim atau masyarakat dikatakan adil
manakala setiap kelas melaksanakan fungsi dan pekerjaannya secara maksimal dan bekerja
sama secara harmonis di bawah pengarahan pemimpin yang bijaksana.
Dan Indonesia sudah menganut sistem demokrasi
itu sejak beberapa tahun yang lalu. Berharap, dengan hadirnya demokrasi yang telah
menumbangkan sistem tirani pada masa Presiden Soeharto, kesejahteraan yang selalu diidam-idamkan rakyat dapat segera
terwujud. Rakyat menginginkan kehidupan yang layak, pendidikan yang baik,
kesehatan yang terjamin, dan keamanan yang maksimal dari pemerintah.
Sudahkah rakyat meneguk harapan
tersebut setelah hidup di bawah payung demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan
“pelik” ini, ada baiknya jika kita menyorot kembali fenomena yang mendera
negeri kita belakangan ini. Tentu masih segar dalam ingatan kita mengenai
insiden eksekusi yang dilakukan oleh sekelompok orang anonim terhadap empat
tahanan di LP Cebongan, DI Yogyakarta beberapa hari yang lalu. Mungkin juga
kita masih ingat tentang tewasnya Ajun Komisaris Andar Siahaan setelah
dikeroyok massa saat bertugas untuk membubarkan perjudian pada 29 Maret 2013
kemarin.
Dua aksi brutal tersebut hanyalah segelintir
problema yang sempat mengoyak rasa aman di negeri ini. Aksi kekerasan dengan
berbagai macam bentuknya dari tahun ke tahun kian meningkat. Aksi tersebut
tidak hanya sebatas merampok dengan senjata, tetapi malah berkembang menjadi
kekerasan seksual, mutilasi, hingga membakar korban. Harian Kompas edisi
11/03/2013 memperlihatkan angka kekerasan yang mungkin akan membuat kita
tercengang. Dalam headline-nya diwartakan, secara nasional, jumlah kasus
kekerasan yang tercatat di kepolisian naik turun sejak tahun 2009 hingga 2012.
Dua tahun terakhir jumlah kasus meningkat, dari 296.146 kasus yang dilaporkan
tahun 2011 meningkat menjadi 316.500 kasus sampai November 2012. Dalam kurun
waktu yang sama, penyelesaian kasus hanya meningkat 1 persen, dari 52 persen
menjadi 53 persen.
Membaca kabar itu, tentu hati kita
teriris dan lantas bertanya-tanya, sudah berapa banyak korban yang telah kehilangan
perlindungan HAM? Sudah berapa banyak orang yang meraung ketakutan karena
diintai kematian? Sungguh, miris sekali rasanya mendengar kasus yang datang
bertubi dan tak henti-henti itu. Perlindungan HAM dan keamanan yang diharapkan
rakyat seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, utamanya oleh oknum
yang bergerak di bidang keamanan negara. Mengingat, hal itu sudah menyangkut
keselamatan nyawa seseorang. Dan di balik peristiwa itu, kita pun akan berani
mengambil kesimpulan bahwa keadilan di negera kita masih terpasung.
Itu hanya soal keamanan. Belum lagi
kalau kita mau melirik situasi di bidang politik, pendidikan, kesehatan,
ekonomi, dan bidang-bidang lainnya. Tentu kita akan menemukan sederet daftar
buruk negeri ini yang makin tak menentu. Memang, problem hidup ini tidak akan
pernah usai. Dari waktu ke waktu kompleksitas masalah yang dihadapi manusia
akan terus berkembang. Namun naif rasanya jika problem tersebut tetap dibiarkan
dan diabaikan hingga menimbulkan masalah-masalah lain sebagai efek domino. Solusi
yang strategis untuk mengentaskan problem akut tersebut mestinya segera digelar
agar tidak semakin menjalar.
Endemi Korupsi Meruyak
Selain fenomena kekerasan yang disebut di atas,
kita juga harus melihat Indonesia dari sisi lain. Artikel Sayidiman
Suryohadiprojo berjudul Paradoks Indonesia di harian Kompas,
edisi 24/11/2012 barangkali bisa menyadarkan kita tentang kontradiksi di negeri
ini. Kita tentu tahu perihal penghargaan tinggi yang didedikasikan Ratu
Elizabeth II berupa bintang The Knight Grand Cross in The Order of The Beth
kepada presiden kita akhir tahun lalu. Ia menilai, SBY telah berhasil
menjadikan Indonesia demokratis dan meningkatkan perekonomian bangsa di tengah
krisis Eropa. Sebelumnya, pujian itu juga datang dari pemimpin negara lain
seperti AS dan Jepang. Wajar saja bila kita turut bangga melihat sang pemimpin
dipuji negara lain yang tergolong maju.
Namun, cobalah sekali-kali kita
intip fenomena yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Di bidang politik,
misalnya, kita akan dihadapkan dengan pemberitaan media massa tentang endemi
korupsi yang semakin menjadi. Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Andi
Mallarangeng yang merupakan kader Demokrat berhasil diseret KPK ke dalam jeruji
besi. Bahkan, berkat integritas pimpinan KPK, Anas Urbaningrum yang saat itu masih
menjabat sebagai Ketua Umum Demokrat, juga berhasil ditetapkan sebagai
tersangka kasus tindak pidana korupsi. Slogan “Katakan Tidak Pada Korupsi” yang
sejak kampanye digembor-gemborkan oleh Partai Demokrat hanyalah hembusan angin yang
tak berarti apa-apa. Ideologi yang mereka usung tersebut sangat kontraproduktif
dengan fakta yang diperlihatkannya saat ini. Jelas, ini merupakan tamparan
keras bagi rakyat yang sebagian besar mendukung Demokrat.
Saya pernah
dibuat terperangah oleh pemberitaan Kompas edisi 5/12/2012 tentang
jumlah nominal yang “dirampok” pejabat dari 2004 hingga 2011. Di sana disebutkan
bahwa uang sejumlah 39,3 triliun dengan 1.408 kasus korupsi telah masuk dalam
kantong koruptor yang bermental kemaruk. Lantas siapa yang tidak kaget mengetahui
itu? Uang yang tidak sedikit itu tentu mampu menyejahterakan masyarakat,
utamanya masyarakat akar rumput yang berekonomi lemah, bila dibagi-bagikan kepada
mereka. Tetapi, mental korup yang bersarang dalam jiwa pejabat mengalahkan rasa
empatinya terhadap rakyat.
Problem
meruyaknya korupsi telah menjadikan negera kita sekarat. Banyak masyarakat yang
bertanya-tanya, mengapa budaya korupsi sedemikian kuat dan seolah tidak pernah mau
lewat? Melihat kasus-kasus korupsi di atas, perlu kiranya kita melihat korupsi
secara lebih jernih.
Akhir-akhir
ini, muncul asumsi ke permukaan bahwa di antara penyebab korupsi adalah kepribadian
buruk koruptor itu sendiri dan sistem hukum yang kurang tegas (faktor internal
dan faktor eksternal). Saya sendiri menilai, kedua faktor tersebut sama-sama benar.
Secara
psikologis, situasi hati seseorang akan sangat mempengaruhi perilaku dan
tindakannya sehari-hari. Hati yang busuk akan melahirkan tindakan yang buruk. Benar
apa yang dikatakan kaidah Arab, adh-dhahiru yadullu ‘ala al-bathin (apa
yang tampak menggambarkan apa yang tidak tampak). Artinya, perilaku
seseorang akan sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi hatinya.
Di sisi yang
berbeda, saya juga melihat terdapat faktor eksternal yang juga mempengaruhi
kegemaran pejabat melakukan korupsi, yakni sanksi hukum yang terkesan ringan sehingga
tidak melahirkan efek jera terhadap pelakunya. Bayangkan saja, uang yang
digerus bermiliar-miliar itu kadang hanya diganjar dengan hukuman enam tahun
penjara atau tiga tahun penjara. Tentu saja, hukuman yang dijatuhkan itu tidak
sebanding dengan uang yang dikorup. Mereka yang korup sebelum melakukan
tindakan bejat itu akan mempertimbangkan terlebih dahulu sanksi yang akan
diterimanya--jika terbukti melakukan korupsi. Dibanding dengan banyaknya uang,
sanksi tersebut sama sekali tidak ada artinya. Toh, setelah keluar dari penjara mereka akan tetap kaya.
Saya
sangat mengamini solusi yang ditawarkan sebagian masyarakat yang menginginkan
agar sanksi yang dijatukan terhadap koruptor adalah memidana kekayaan yang mereka
miliki. Artinya, mereka dibuat miskin. Seluruh kekayaan yang mereka punya diambil-alih
dan dikembalikan kepada negara. Hal ini pernah dilakukan KPK terhadap Ir. Djoko
Susilo yang menjadi tersangka kasus pengadaan Simulator di Korps Lalu Lintas
(Korlantas). Sanksi yang semacam ini bisa jadi akan menggetarkan hati calon
koruptor untuk melakukan korupsi, sebab tidak ada seorang pun di dunia ini yang
menginginkan hidup miskin, apalagi koruptor yang memang selalu merasa kurang.
Demokrasi Prosedural
Banyaknya
kasus korupsi ini sebetulnya mengajak kita melakukan refleksi dan renungan
tentang keadaan sistem perpolitikan kita. Apa yang salah dari sistem politik
Indonesia? Benar, Indonesia sudah menganut sistem demokrasi. Dan sistem itu,
sekali lagi, lebih baik ketimbang masa Orde Baru yang tiran. Lalu, apakah
demokrasi yang berjalan selama ini sudah menunjukkan demokrasi yang esensial
ataukah hanya sebatas prosedural?
Menjelang
kontestasi pemilu 2014 akan terbayang dalam benak kita pesta demokrasi yang
akan berlangsung kala itu. Rakyat bebas memilih pemimpin yang diinginkannya. Lumrahnya,
demokrasi akan tampak terlihat ketika berlangsungnya pilpres, pilgub, pimilukada,
dan pilkades. Di sanalah demokrasi akan bergema bahwa pemimpin telah dipilih
oleh rakyatnya.
Namun di
balik itu, kita akan dikejutkan betapa demokrasi hanya berjalan secara prosedural
semata. Buktinya, sebelum pemilu berlangsung, kandidat pemimpin akan
mengiming-imingi uang terlebih dahulu agar rakyat berpihak kepadanya. Secara tak
langsung, itu menunjukkan bahwa rakyat sebenarnya tak punya kebebasan, sebab
kebebasan mereka telah dibeli dengan uang selembar. Oleh karena mereka memang
membutuhkan uang, mau tak mau uang itu akan diambilnya sebagai reward setelah
memilih kandidat yang menyogoknya. Inilah money politic yang terus
bertahan.
Dari
mana kandidat itu mendapatkan uang? Nah, inilah masalah kedua. Dari
sederet faktor penyebab terjadinya korupsi, salah satunya memang terdapat dalam
parpol. Soal pendanaan partai adalah hal penting yang selalu disorot publik.
Masyarakat menilai, selama ini partai belum transparan terkait pendanaan sehingga
kerap mengundang kecurigaan publik. Apalagi jika terkait pemilu, tentu partai
membutuhkan pendanaan besar yang di atas kertas rasanya mustahil jika hanya
mengandalkan sumbangan dan iuran anggota sebagaimana peraturan yang ditetapkan KPU.
Biaya
iklan kampanye di pemilu 2009 dapat menjadi gambaran jumlah dana yang
dibutuhkan partai. Hasil jajak pendapat The Nielsen mencatat Partai Demokrat menjadi
salah satu partai terbesar dalam membelanjakan iklan partai. Pada kuartal
I-2009, belanja iklan pemilu Dermokrat mencapai Rp. 123, 056 miliar, berada di
posisi kedua setelah Golkar (Rp. 185, 153 miliar). Meskipun demikian, Demokrat
menempati posisi tertinggi dalam frekuensi iklan di televisi dengan tampilan
mencapai 6.531 kali tayangan (Jajak Pendapat “Kompas”, edisi 4/3/2013). Maka,
tak heran rasanya ketika fakta mengungkap bahwa sebagian besar elite parpol yang
terlibat kasus korupsi belakangan ini lahir dari Partai Demokrat.
Kebutuhan
dana yang sangat banyak untuk menyukseskan partai dalam pemilu “memaksa”
pejabat untuk melakukan perbuatan terkutuk itu. Dana yang sedikit tidak
menjanjikan partai untuk menang dalam kontestasi pemilu. Oleh karena itulah, setelah
sukses menang, mereka kadang tak jera melakukan korupsi. Demikian itu dilakukan
untuk menebus uang yang telah hanyut ketika pemilu.
Perilaku
elite politik tersebut perlahan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Pemimpin yang mestinya
berpihak pada masyarakat kelas bawah justru lebih mementingkan kepentingannya
sendiri. Akhirnya, di banyak perbincangan, muncul persepsi bahwa negara kita mengalami
krisis kepemimpinan. Ketika ditanya tentang siapakah pemimpin Indonesia yang
patut diteladani, pasti jawaban yang sering dimunculkan adalah
pemimpin-pemimpin tempo dulu: ya Soekarno, ya Hatta, atau Tan Malaka. Kendatipun
ada pula yang menyebutkan salah satu pemimpin saat ini, itu pun tak seberapa.
Harapan Masa Depan
Kendatipun masalah datang bertubi-tubi, harapan tetap tak boleh
pupus. Walau bagaimanapun, berjubel-jubel masalah yang mendera negeri kita ini tak
sepatutnya dibiarkan dan dihilangkan begitu saja tanpa dicarikan jalan keluar. Solusi
dari pemerintah dan rakyat amat dibutuhkan dalam keadaan negara yang sekarat
macam ini.
Dalam soal pendanaan parpol, misalnya, KPU yang menjadi
penentu lolos tidaknya partai dalam kontestasi pemilu seharusnya bisa menekan biaya
seminim mungkin bagi parpol yang akan berkompetisi. Pendanaan yang terbilang
sedikit memungkinkan untuk meminimalisir lahirnya elite porpol yang korup.
Di samping itu, siapapun mengakui saat ini Indonesia
tengah merindukan sosok pemimpin yang pro-rakyat. Pemimpin yang kehadirannya
menjadi sumber mata air di tengah keringnya kepercayaan masyarakat. Andai saja
pemimpin kita bisa meneladani sosok “Sukrasana”, tentu negeri ini akan damai
sentosa. Sukrasana adalah tokoh utama dalam pewayangan yang buruk secara fisik
tapi berwatak mulia dan kesatria. Ia adalah konfigurasi dari substansi dan
esensi manusia. Cita-citanya bukanlah untuk meraup keuntungan materi di balik
kedudukan yang ditempati. Satu-satunya pamrih yang ada dalam dirinya adalah
cita-cita untuk membawa kemaslahatan bagi banyak orang, bukan untuk mengejar
pencitraan.
Sukrasana adalah monumen
kesetiaan dan integritas yang menjadi rujukan kolektif. Ia berpikir bahwa
dirinya tak lebih sebagai “utusan” Tuhan yang dititahkan untuk membawa
kemaslahatan dan mewujudkan nilai ideal kehidupan.
Bukan seperti pemimpin
umumnya, Sukrasana tidak butuh rumbai-rumbai artifisialitas dan tidak pula
bermental kemaruk. Niatnya sebagai pemimpin benar-benar murni untuk menolong
kehidupan masyarakat dunia.
Di Indonesia, meski sulit mencari pemimpin bermental
Sukrasana, namun bukan berarti menafikannya sama sekali. Tugas seluruh elemen
bangsa ini adalah menguatkan sinergisitas dengan bekerja sama mewujudkan
pemimpin “Sukrasana”. Salah satu langkahnya adalah memilih pemimpin yang tepat
dalam kontestasi Pemilu 2014, karena di tangan pemimpinlah masa depan bangsa
ini dipertaruhkan. Tentu saja kita tidak ingin pemimpin kita bermental kapital
dan berjiwa makelar kekuasaan. []