Halaman

Sabtu, 17 Agustus 2013



Menyusun Mimpi
Berawal dari Mimpi
Meski tidak punya bakat dalam tulis-menulis, saya berani bermimpi menjadi penulis. Mimpi itu saya rangkai ketika masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Saya tak tahu pasti kenapa kala itu keinginan untuk menjadi penulis menjulang tinggi di hati saya, padahal di lingkungan tempat saya tinggal tidak mendukung sama sekali untuk menggapai keinginan tersebut. Tapi saya apatis tentang itu. Yang terpenting, saat itu saya tengah memeluk mimpi. Dan mimpi itu harus saya kejar dengan kesungguhan.
Yang bisa saya lakukan sebagai manifestasi mimpi menjadi penulis adalah menulis buku harian. Saya rajin menulis buku harian meski isinya sangat amatiran. Mungkin, saya akan tersenyum simpul bila membacanya kembali saat ini. Orang-orang bilang, terlalu lucu.
Berangkat ke Annuqayah sekitar tahun 2006, saya hempaskan mimpi itu jauh-jauh. Kenapa? Saya punya mimpi lain yang—saat itu—terlihat lebih heroik dan menantang (tak perlu saya sebutkan di sini). Akhirnya, menulis bukan aktifitas yang menarik lagi sehingga tidak menjadi hobi kembali. Selama kurang lebih 2 tahun, saya memilih untuk meninggalkan dunia kepenulisan. Oleh karena pindah haluan, saya jadi jarang menulis walau sekedar buku harian. Buku harian pun saya tak punya.  
Akan tetapi, ceritanya berbeda ketika menduduki kelas akhir XII MAK. Saat itu saya menjadi utusan sekolah untuk mengikuti lomba mading 3 dimensi tingkat Regional di PP. Al-Amin Prenduan. Beruntung, saya bergabung dengan kelompok orang-orang hebat yang tidak diragukan kredibelitas tulisannya. Bergabung dengan mereka, menjadikan tim kami jebol sebagai salah satu juaranya. Tentu saya dan teman-teman sangat girang dengan prestasi tersebut. Sebab prestasi itulah, saya memeluk kembali mimpi yang saya hempaskan tadi, saya kembali gemar menulis.
Menduduki bangku kuliah, semangat menulis saya semakin terpacu. Obor spirit saya disulut oleh seseorang yang belakangan menjadi motivator sekaligus inspirator menulis saya (Ssst… of the record yah J).  Saya makin rajin mengirim-ngirim tulisan ke media. Awalnya saya coba-coba dulu ke media lokal Annuqayah. Setelah itu saya tingkatkan ke media yang nilai gengsinya lebih prestisius. Eits, jangan kira tulisan saya banyak dimuat, yang terjadi justru sebaliknya. Meski tulisan yang ditolak oleh media tak terhitung jumlahnya, saya sendiri tidak begitu peduli. Yah, paling tidak redaksi sudah membaca tulisan-tulisan saya yang serampangan itu.
Pramoedya Ananta Toer pernah menulis begini, “Apapun memang harus dituliskan. Bagaimana pun bentuknya. Dengan demikian Anda telah mengambil satu peran merekam kenyataan di selingkungan. Mestinya anak muda seperti itu, berani menulis! Jangan takut tidak dibaca atau dibuang orang…  yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti akan ada yang membacanya dan menerbitkannya.”
Bergabung Dengan LPM
Setahun saya kuliah, saya mencari network yang lebih luas untuk menunjang kreatifitas menulis saya. Untung saja, di kampus ada salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang dapat mewadahi mahasiswa yang berminat di dunia kepenulisan. Lembaga tersebut adalah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Beberapa kegiatan LPM saya coba ikuti setiap kali libur kuliah (meski kadang agak malas. Hehe..). Tak lama setelah itu, entah bagaimana ceritanya, saya diangkat menjadi Kru Dinamika, satu-satunya majalah kampus yang ada di bawah koordinasi LPM Putri. Dan  pada akhirnya, saya juga dipercaya menjadi salah satu penggerak lembaga ini.
Ada keberuntungan tersendiri yang saya dapatkan ketika berada di lembaga LPM. Selain menemukan senior-senior yang getol menulis, di sana saya juga dapat melebarkan sayap pengalaman di bidang kepenulisan. Apalagi LPM Instika  bergabung dengan ILP2MI (Ikatan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa Indonesia) yang menawarkan kegiatan-kegiatan bermutu. Di lembaga Nasional itu, saya dipertemukan dengan penulis-penulis andal dari berbagai kampus di Indonesia. Belajar bersama mereka, semakin membuka kesadaran saya bahwa menulis adalah harga mati bagi mahasiswa.
Berkat sejumlah kegiatan yang digelar LPM, saya bisa mengenal penulis-penulis kesohor yang biasa dijadikan fasilitator dalam kegiatan tersebut. Sebut saja misalnya Akhmadi Yasid, Tin Mayya, Ibnu Hajar, Zainul Ubbadi, Ghozi, K. M. Mushthafa, dan penulis-penulis lain yang kerap menjadi wartawan media massa. Lalu siapa yang tak merasa beruntung menjadi bagian organ dari tubuh LPM ini?
Hingga detik terakhir kuliah di kampus putih Instika, saya masih mengabdikan diri di LPM sembari berproses dengan koki-koki cantik di dalamnya. Sebagaimana umumnya penulis, semangat menulis saya pasang-surut bak laut. Benar, di tahun-tahun awal semangat menulis saya meluap sekali, melimpah ruah. Maklum, saya pernah berkomitmen untuk mengabdikan hidup hanya dengan menulis. Tapi jangan tanya untuk tahun terakhir ini. Stok semangat saya kian terkikis perlahan. Tidak tahu  pasti alasannya apa. Tiba-tiba malas begitu saja.
Saya sadar, belakangan saya jarang sekali memberi stimulasi pada kader-kader LPM. Bahkan nyaris tak pernah. Barangkali mereka bertanya-tanya, kenapa saya demikian? Kenapa semangat menulis saya tumbang dari waktu ke waktu? Menanggapi itu, saya sudah sampaikan ketika evaluasi pengurus bahwa ini murni karena saya tengah malas menulis. Buktinya, saya tak pernah menulis kalau tidak karena tuntutan, katakanlah menulis karena untuk lomba, tugas makalah, dan permintaan tulisan. Selain itu, tidak ada. Saya semakin tidak produktif, beda dengan pengurus LPM lain yang belakangan saya lihat sering menulis.   
Namun, penyakit akut ini tidak akan berlangsung lama. Saya akan berusaha mengembalikan eksistensi saya yang nyaris hilang tertelan bumi. Sebab dengan menulis, saya dianggap ada, eksistensi saya semakin nyata. Yah, terus terang untuk menjaga keistiqamahan dalam menulis, terlebih dahulu saya harus berpikir pragmatis. Dengan begitu, semangat menulis saya kian terpacu. Mengkin, bagi kita, tidak layak ketika tugas mulia seperti menulis diintervensi dengan tujuan-tujuan destruktif  karena pola pikir pragmatis. Tapi bagi saya tidak demikian. Siapapun tidak bisa memungkiri bahwa tujuan pragmatis itulah yang memang kita kejar. Manusia (siapa pun itu) memang menyukai kenikmatan-kenikmatan. Tidak apa, awalnya kita memang harus mengecoh setan si pemilik pikiran pragmatis itu untuk akhirnya mencapai tujuan yang idealis.
Passion Itu… Dunia Literasi
Sekian lama, sejak masih berstatus siswa hingga mahasiswa, saya mencari passion yang nantinya akan berjodoh dengan saya. Kerap kali saya bertanya-tanya sendiri, potensi apa yang saya miliki? Kreatifitas apa yang akan saya dalami? Cukup sulit memang untuk menjawab itu, bak mencari jarum dalam jerami. Sulitnya bukan main. Saya pikir, ketika akhirnya saya memilih Instika sebagai tempat saya belajar, saya harus memiliki potensi di luar akademik yang akan menjadi identitas saya. Saya pernah menjelajahi semua lembaga di Latee II (tempat saya menetap di Annuqayah), termasuk Aphrodite English Club (AEC) dan Jam’iyah Qiraatul Kutub (JQK) selama dua tahun berturut-turut. Betul, saya menemukan chemistry di sana, karena saya memang menyukai bahasa Inggris dan gramatika Arab semenjak Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD). Tetapi itu tidak berlangsung lama. Hingga akhirnya, pilihan terakhir, saya jatuhkan di lembaga Forum Lingkar Pena (FLP).
Passion itu akhirnya saya temukan di dunia tulis menulis, dunia literasi. Di lembaga kepenulisan (FLP dan LPM) saya menemukan kenyamanan yang luar biasa, sebab saya mendapatkan apa yang saya cari; saya punya partner untuk berdiskusi, saya punya perpustakaan mini dan harian Kompas di FLP, dan harian Jawa Pos di LPM. Semua saya dapatkan. Aktifitas membaca, menulis, dan berdiskusi yang menjadi hobi saya dapat terwadahi secara simultan.
Memilih untuk menjadi penulis, bukan pilihan sembarangan. Menulis—kata Muhidin M. Dahlan—adalah aktifitas yang luar biasa mulianya. Menulis tak lagi sekedar corat-coret di atas kertas, tetapi ia semacam penanda tugas. Menjadi beban yang harus dipikul untuk tujuan besar. Tujuan agung untuk pencerahan, untuk masa depan kemanusiaan yang lebih bermartabat. Maka tidak salah ketika Sapardi Djoko Damono, Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Adjidarma, dan D. Zawawi Imron hingga di usia senja tetap mengabdikan hidupnya untuk menulis.
Hingga saat ini, saya masih bermimpi menjadi penulis. LPM telah memberikan pengaruh besar untuk mewujudkan mimpi itu. Pengabdian saya untuk LPM selama ini rasanya tidak mampu membayar segala hal yang diberikan LPM untuk saya. Saya ingat betul pleidoi senior saat kali pertama saya diangkat menjadi bagian LPM, “Jangan berpikir, apa yang akan diberikan LPM untuk kita. Tetapi berpikirlah, apa yang akan diberikan kita untuk LPM”. Saya terperangah mendengarkan petuah itu. Memang tidak baik rasanya ketika kita mendapatkan banyak kebaikan dari seseorang, namun kita tidak mampu membalasnya dengan kebaikan pula. Maka, pengabdian saya di LPM bisa dikatakan semacam bentuk balas budi yang sebetulnya tidak seberapa.
Tiga tahun berproses di LPM, menggerakkan jemari saya saat ini untuk menyampaikan pesan terakhir kepada kader-kader LPM, “Mengabdilah dan menulislah karena keterpanggilan hati, bukan karena keterpaksaan! Akhirnya, sebagai pamungkas dari tulisan ini, saya juga ingin menyampaikan pesan Pramoedya Ananta Toer, “Menulislah! Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah.”


Sakit Itu Berkah
Membaca judul ini, mungkin akan ada banyak orang protes. Sakit kok berkah? Tampaknya tidak tepat menyandingkan kata “sakit” dengan kata “berkah”. Yang namanya sakit, ya pasti terluka. Kalau terluka berarti tidak bahagia. Dan itu bukan sebuah keberkahan karena tidak mendatangkan kenyamanan dan kebahagiaan. Yang tepat bagi kebanyakan orang adalah sakit itu nelangsa dan musibah. Hm, benarkah selalu begitu? Eits, tunggu dulu.
            Saya rasa tidak selalu demikian faktanya. Saya sendiri kadang merasakan bahwa sakit itu memang benar-benar berkah. Tanpa melewati momen sakit terlebih dahulu, saya tak yakin bisa mencicipi keberkahan berupa kebahagiaan. Yang dirasakan tentu hanya datar-datar saja dan hambar. Tidak hanya saya, orang lain bisa jadi juga demikian. Sahabat saya juga pernah merasakan hal yang sama. Ia menyadari bahwa keputusan Allah tak pernah salah padanya. Pada awalnya memang sakit ketika apa yang diharapkan selalu tak sejalan dengan kenyataan. Tetapi di balik sakit, ada kebahagiaan yang masih Tuhan sembunyikan. Jika anda tak percaya, buktikan!
Suatu sore, saya bergegas ke kantor pesantren memenuhi panggilan. Tidak seperti biasanya saya dipanggil hari itu. Karena penasaran, saya langsung menuju kantor untuk mengetahui siapa yang membutuhkan saya. Sesampai di pintu, tiba-tiba saya kaget. Perempuan itu, sahabat sekaligus adik saya, tengah duduk manis dengan lelaki yang tidak asing saya lihat. Kemudian saya bertanya padanya, “lho, kok bisa berdua?” tanya saya penasaran. “Kami baru saja akad,” jawabnya dengan santai dan riang. “Berarti kalian sudah… menjadi sepasang suami-istri?” Tanya saya tak percaya. “Hehe… iya,” jawabnya polos. “Huh… dasar!” Lalu di kantor itu berderai tawa.
Semenjak dekat dengan saya, perempuan itu selalu bersikap transparan. Seluruh kisah hidupnya nyaris saya tahu, tak terkecuali tentang kisah cintanya. Sebelum bertunangan pun dia biasa cerita banyak hal terkait calon tunangannya. Namun tak disangka, untuk pernikahannya kali ini dia tidak cerita apa-apa. Tahu-tahunya, saya dikagetkan dengan kedatangan mereka berdua. Saya berpikir positif saja, mungkin mereka ingin membuat surprise untuk saya dengan kabar bahagia ini. Walau bagaimanapun, saya tetap bahagia melihat senyum mereka.
Tidak salah kata banyak orang, dunia ini selalu mengandung misteri yang tidak bisa kita prediksi. Kadang apa yang tak disangka, tiba-tiba menjelma nyata. Termasuk tentang jodoh manusia. Rahasia Tuhan yang satu ini kerapkali mendatangkan tanya, siapa dan dimana. Manusia hanya bisa berikhtiar dan berdo’a. Berharap, jodoh kita kelak dapat membawa kita pada sorgaNya. Seperti sahabat saya itu, siapa sangka dia akan menjadi istri lelaki yang juga kenal baik dengan saya. Padahal, dulu saya tahu mereka tidak pernah akur dan kerap saling “mengejek”. Tapi sekarang, mereka sah tidur seranjang.
Ada pula teman sekelas saya yang dulunya sekedar dijodoh-jodohkan teman-teman di kelas malah jadi beneran. Mereka hanya tersenyum ketika mengingat itu. Adakalanya jodoh kita adalah orang yang tidak disangka sebelumnya. Dari teman dekat misalnya, tiba-tiba dialah orang yang “didaulat” Tuhan sebagai partner yang akan menemani kita mengarungi hidup. Atau musuh sekalipun bisa jadi kelak akan menjadi jodoh kita. Yang tahu rahasia itu hanyalah Tuhan, karena hanya Dialah yang bisa menentukan mana yang terbaik untuk hamba-hambaNya. 
Tuhan tidak akan berhenti memberi kejutan pada hambanya yang meminta. Dia berjanji akan mendengar lengkingan do’a hamba-hambaNya yang bergantung hanya padaNya. Dia tidak akan menyalahi janji itu. Ud’uni istajib lakum, (QS. Al-Mukmin: 60) begitu firmanNya dalam al-Quran. Tapi kenapa masih ada do’a yang tak kunjung dikabulkan padahal tiap waktu sudah meminta? Itu hak otoritatif Tuhan. Siapa sih yang bisa mendikte Tuhan? Tidak ada. Di sekeliling kita, sering ditemukan orang yang berdo’a tapi bernada paksa, misalnya “ya Allah… saya ingin dia menjadi jodoh hamba. Pokoknya dia.. harus dia.. kalau tidak dia, saya tidak mau.” Lho, itu namanya do’a atau memaksa? Dipaksa bagaimanapun, kalau Tuhan tidak berkehendak ya tidak akan terjadi. Mari renungkan kembali ayat ini, wa ‘asa an takrahu sya’ian fahuwa khairun lakum wa ‘asa an tuhibbu syai’an fahuwa syarrun lakum wa allahu ya’lamu wa antum laa ta’lamun. (QS. Al-Baqarah: 216)
Untuk soal jodoh, saya angkat tangan. Sebagai manusia yang terbatas, sebaiknya kita memang serahkan urusan itu pada Dia yang lebih tahu. Tapi ingat, setelah kita berusaha dulu.  Pernah suatu ketika ustadz Fauzil ‘Adhim, penulis buku Kupinang Engkau dengan Hamdalah, berkelakar begini, “jodoh itu memang ada di tangan Tuhan, kalau tidak diambil-ambil, ya akan tetap di tangan Tuhan,” katanya. Saya tersenyum mendengar itu. Perkataan provokatif itu sebenarnya ingin mengajak kita untuk berusaha dan terlibat aktif dalam memilih jodoh. Hukum kausalitas yang terdapat di alam ini menuntut manusia untuk “bekerja sama” dengan Tuhan. Sunnatullah akan tetap berlaku sepanjang dunia ini belum tutup usia. Kalau boleh saya lanjutkan perkataan ustadz tadi, saya ingin mengatakan begini, “cepat ambil jodoh itu di tangan Tuhan sebelum akhirnya Dia simpan.” Hehehe…
Bicara tentang jodoh memang selalu menarik hati, karena tidak ada seorang pun yang ingin hidup sendiri. Tak ada yang betah dengan sepi. Makanya kita butuh orang untuk berbagi. Sebelum sahabat saya itu berpamitan pulang, saya berbisik di telinganya, ”Selamat menikmati malam zafaf nanti malam.” Lantas dia tersipu-sipu malu. Aah…

Satu Tahun Sebelumnya
            Kebahagiaan itu tidak serta merta ia dapatkan dengan mudah. Tentu ia juga melewati proses “sakit” terlebih dahulu. Sakit yang kata banyak orang relatif sulit untuk  disingkirkan. Yang ada malah terus datang dan membayang. Masih membekas seperti pecahan kaca yang coba untuk disatukan. Saya ingat betul di mana ia harus tertatih meniti hari ketika luka di hatinya semakin menganga karena dikhianati orang yang dicintainya. Tak terbayang, bagaimana ia bisa menumbuhkan sikap optimis di masa depan tanpa didampingi orang yang amat disayanginya itu.
            Bahasanya tercekat waktu menceritakan perih yang menikamnya begitu kejam. Suaranya parau. Seakan tak ada kehidupan lagi ke depan. Ia hanya bisa menangis tersedu menyesali apa yang telah terjadi. Perempuan yang sangat temperamental akan cepat terluka ketika cinta yang dimilikinya tidak diperlakukan sebagaimana mestinya oleh mereka yang menggenggamnya. Sesekali, ia memegang tangan saya erat untuk mencari kekuatan di sana. Sebagai perempuan sekaligus sahabatnya, tentu saya juga merasakan apa yang tengah melukainya. Jika menangis adalah obat mujarab untuk mengempaskan sakit itu, biarlah ia menangis tanpa mengenal waktu.
            Sempat tak ada lagi kepercayaan yang ia miliki untuk laki-laki. Trauma. Takut kembali jatuh di jurang yang sama. Siapa yang mau kembali terluka? Tidak ada. Sebagaimana orang yang trauma pada umumnya, ia sangat berhati-hati berinteraksi dengan laki-laki. Kalau perlu, ia hapus no. laki-laki yang ada di phonebook-nya. Karena ingin tenang dan stabil, untuk sementara waktu ia “menyepi”. Menjauh dari kontak dengan orang-orang yang dikenalnya.
            Beberapa bulan setelah kejadian itu, ia kembali bangkit karena telah menemukan orang yang selama ini ia cari, pemilik sah tulang rusuk yang dulu hilang. Katanya, lelaki itu mampu menghilangkan mindset buruk tentang laki-laki yang selalu ngendon di benaknya. Pada akhirnya, sakit yang dilaluinya dengan tabah berujung dengan senyum sumringah. Saat ini ia menikah dengan orang yang lebih baik dari lelaki sebelumnya. Lelaki yang pemberani dan tidak pengecut. Lelaki yang berani mempertanggungjawabkan cintanya yang tidak sekedar retorika.
Sakit itu memang berkah. Kalau saja ia tidak merasakan sakit yang seperti itu, ia tidak akan tahu seperti apa rasanya bahagia hidup berdampingan dengan orang yang betul-betul mencintainya. Saya akhirnya berkesimpulan, ketika perasaan sakit itu datang, hakikatnya itu adalah permulaan untuk meneguk kebahagiaan yang tertunda. Sakit adalah proses yang mau tidak mau harus dilalui untuk sampai pada kulminasi kebahagiaan yang dituju.


PPA. Latee II, 20 Januari 2013
Untukmu: Berbahagialah, Sayang… :)


Si Kecil dan Si Ucil
Mereka berdua sama-sama bertubuh mungil. Satu saya panggil Si Kecil dan satu lagi saya sebut Si Ucil. Mereka memang memiliki kepribadian yang tak sama. Satunya melankolis dan satunya phlegmatis. Namun, perbedaan karakter  itu malah menarik tubuh saya untuk selalu duduk bersama mereka. Bersama si Kecil, saya merasa ada kedekatan karena persamaan karakter yang kami miliki. Demikian pula dengan si Ucil. Ada sisi kepribadian saya yang nyaris sama dengan keduanya. Wajar saja ketika saya butuh orang untuk sekedar bercerita, muaranya adalah memilih bersama mereka.
Kedekatan kami berawal saat kami sama-sama “didaulat” menjadi generasi mujahidah pena di lembaga kepenulisan pesantren. Kesempatan untuk selalu bersama pun semakin terbuka lebar. Pagi, siang, sore, malam, selalu saja saya bertemu keduanya. Ya tentu lah, kami kan berada di gubuk yang sama. Gubuk yang kata banyak orang menyimpan bibit-bibit penulis handal (Ah, bener gak ya? Semoga saja).

Si Kecil yang Tangguh
Si Kecil terkesan pendiam waktu kali pertama saya bertemu dengannya. Dia jarang sekali ngomong dengan saya kecuali untuk hal-hal penting yang terkait dengan kepenulisan. Entah, saya juga tak tahu alasannya. Apakah itu memang karena karakternya atau karena baru pertama kali kami hidup seatap. Yang jelas, saya sering melihat dia tampak malas untuk sekedar menyapa saya. Emang saya serupa batu ya?
Sebenarnya sudah tiga tahun yang lalu saya mengetahui Si Kecil. Ia termasuk salah seorang siswa yang cukup familiar di telinga santri. Orang-orang mengenalnya sebagai siswa yang berhasil dan berprestasi. Kalau tidak percaya, lihat saja sertifikat dan piagam penghargaan yang ia simpan di Bag Folder-nya (sssttt… jangan bilang-bilang ya. Curi saja di lacinya). Saya pastikan kalian akan menemukan berlembar-lembar sertifikat dari berbagai macam lomba dan kejuaraan, mulai dari sertifikat tingkat lokal hingga tingkat nasional. Hebat, bukan?
Tanpa saya duga, Tuhan akhirnya menakdirkan kami untuk tinggal bersama di lembaga kepenulisan, sehingga menjadikan intensitas kebersamaan semakin besar. Di tempat itulah kami menyusun mimpi untuk menjadi penulis sekaliber Kahlil Gibran. Di tempat itulah kami terseok-seok menggapai apa yang kami impikan. Di tempat itu pula kami melabuhkan ragam rasa yang terus datang. Si Kecil akhirnya saya anggap sebagai saudara saya sendiri, tepatnya adik saya.
Ia memang orang yang gigih. Pemimpi besar. Pantang menyerah dan putus asa. Sekali berkeinginan, ia tak ragu untuk mengerahkan tenaga dan pikiran penuh untuk meraih apa yang diimpikan tersebut. Mencoba dan terus mencoba. Inilah yang membuat saya terkagum-kagum padanya. Padahal saya tahu betul bagaimana keadaan lingkungan sekitanya yang kerap kali menghalangi dan mengempaskan mimpi yang ingin dicapainya tersebut. Si Kecil tidak menyerah, apalagi pasrah.
Setahun saya bersamanya, jarang sekali saya mendengar keluhan-keluhan yang keluar dari mulutnya karena beban hidup yang ia tanggung atau kegagalan yang sesekali datang. Ia juga terlihat baik-baik saja dengan situasi hidupnya yang kadang tak nyaman dan mengganggu pikiran. Satu prinsip yang selalu ia pegang, “All is well…”
Masih terekam jelas kisah yang sempat ia ceritakan malam itu. Di serambi kamar, sepenggal kisah itu perlahan mengalir perihal keluarga kecilnya, Abah dan Umminya. Si Abah yang terkesan apatis pada pendidikan anaknya dan si Ummi yang tertatih memperjuangkan nafkah keluarganya. Belum lagi, kisah-kisah pahit yang lain yang kerap ia rasakan bersama keluarganya. Seperti biasa, saya tak mendengar keluhan sedikitpun dari lapisan kisah yang ia ceritakan, meski wajahnya sebenarnya sudah tak mampu membohongi saya tentang bayang kepedihan yang berkelindan di sana.
Diam-diam, saya banyak belajar tentang hidup pada si Kecil, bahwa hidup yang keras ini memang layak diperjuangkan. Hidup ini tidak untuk diratapi, tetapi untuk disyukuri. Tahapan peristiwa yang kita hadapi sebetulnya hanya ujian-ujian kecil untuk membuktikan kesetiaan cinta kita pada Dia yang telah memberi hidup. Berkeluh-kesah tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah frekuensi perih yang menyiksa dada.
Walaupun tampak kecil (seperti anak “TK”. Hehehe…), saya rasa si Kecil lebih dewasa dari saya dalam hal menyikapi hidup. Ia bukan anak yang temperamental, apalagi  banal. Tidak manja, juga tidak pemaksa. Sikap tangguh itulah yang membuat saya merasa nyaman bersama si Kecil. Berbagi cerita, share pengetahuan dan pengalaman, beraktivitas yang sama, adalah kegiatan yang biasa kami lakukan di lembaga kepenulisan.
Cerita-cerita si Kecil sering kali mengundang tawa. Ada saja kekonyolan yang sering ia kisahkan.  Tentang kakak, tentang ummi, tentang adik, apalagi tentang Anom yang menurutnya adalah lelaki paling “aneh” daripada lelaki lain yang pernah dikenalnya. Kalau lagi geram pada si Kecil yang menggemaskan, tangan saya akan cepat mendarat pada pipinya untuk mencubit. Kalau masih tetap konyol, saya cubit lagi anggota tubuhnya yang lain. Kalau sudah begitu, langsung ia menjerit, “Aaaah, jangan, Mbak. Awas ya. Tak balas nanti.”
Begitulah Si Kecil. Ia adalah satu di antara sekian ribu perempuan yang dewasa. Tak pernah saya melihatnya menyeka air mata karena problem hidup yang dihadapinya kecuali memang benar-benar merasa tertekan. Itu pun ia simpan sendiri. Tidak pernah ia ceritakan pada siapapun, termasuk pada saya yang bisa dibilang sangat dekat dengannya. Kalau saya singgung tentang hal itu, ia akan menjawab, “Saya tidak suka membagi kesedihan dengan orang lain, Mbak. Kalau tentang yang “senang-senang” justru saya sering berbagi meski tidak diminta. Hehehe…”
Saya hanya tersenyum mendengar itu. Saya lantas bertanya-tanya pada diri saya sendiri, kenapa saya malah senang membagi luka dengan orang lain? Padahal belum tentu orang yang mendengarkan cerita saya suka dengan cara saya tersebut. Atau bisa jadi sebenarnya mereka tidak ngeh melihat saya yang sering berbagi kesedihan, karena secara manusiawi, semua orang tentu lebih senang dengan cerita-cerita kebahagiaan daripada kepedihan. Terima kasih, kau telah mengajariku banyak hal, Cil….
            Belakangan ini, ia dekat sekali dengan Anom, lelaki yang begitu istimewa di mata saya. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja ia kenal Anom yang juga dekat dengan saya. Kalau lagi cerita si Anom yang humoris, pasti akan muncul tawa kami yang tak berkesudahan. Lelaki itu diam-diam berhasil mengundang perhatian kami.  Dan secara tak langsung, ia telah membentuk keakraban baru di antara kami dan mencairkan kebekuan yang sebelumnya ada pada kami. We love u eternally, Nom!
            “Saya sebal, Mbak. Masak Anom selalu bilang saya kayak anak kecil? Secara fisik sih memang iya. Tapi secara pemikiran, eh tunggu dulu. Bisa jadi saya lebih dewasa daripada Anom lho…” katanya bersungut-sungut.
            “Nggak. Kamu memang kayak anak kecil. Bahkan masih cocok lho jadi anak SD. Saya setuju dengan Anom,” timpal saya mengguyon.
            “Ah, Mbak sama saja dengan Anom. Selalu kompromian.”
            “Lha, pasti lah. Kami kan se-hati. Hahahaa…”
            “Hadeeeh, lebay amat lu.”
            “Bukan lebay. Tapi ini ekspresi cinta, Kecil. Kamu tahu cinta gak? Anak kecil seperti kamu gak yakin deh bakalan tahu cinta. Ingat, cinta itu bukan permen, lho. Hihihi…”
            “Ah, siapa bilang? Kecil-kecil gini, saya juga merasakan cinta kok. Cinta itu layaknya permen. Permen, rasanya manis di lidah. Kalau cinta, manis di hati. Bener, kan?”
            “Kalau udah ngidam permen, bilang aja, Kecil. Ntar saya belikan sebungkus khusus buat kamu. Mau?”
            “Tuh kan. Sama saja dengan Anom. Nyebelin!”
            “Hahahaa…”
            Begitulah… sosok Anom sering kali hadir di tengah-tengah cerita kami. Ujung-ujungnya, guyonan kami berakhir dengan tawa. 
            Oh, ya… Ada yang lupa. Kami punya kesukaan yang sama dan sulit untuk ditinggalkan. Kami sama-sama demam jejaring sosial, Facebook. Kalau lagi ngomong yang satu ini, dijamin deh seminggu gak bakalan selesai-selesai.

Si Ucil yang Gigih
            Perempuan ini juga bertubuh mungil. Makanya saya punya sebutan khusus untuknya, Ucil. Si Kecil dan si Ucil, apa bedanya? Tentu beda sekali. Kalau Kecil masih belum tahu seluk beluk cinta, beda lagi dengan si Ucil. Untuk soal cinta, Ucil sudah bisa dibilang pengalaman. Suka duka cinta sudah pernah ia rasakan.
            Jangan kira si Ucil ini masih siswa. Dia sudah berstatus mahasiswa lho. Cuma postur tubuhnya saja yang mengesankan dia seperti anak SD. Peace, Cil... Tapi jangan salah sangka dulu. Meski kecil, si Ucil sangat menarik, ia cantik dan elegan. Ditambah lagi dengan kemampuan kognitifnya yang lumayan tinggi. Pantas saja banyak pangeran yang harap-harap cemas menunggu uluran tangannya karena ingin membangun cinta bersamanya.
            Saya cukup tahu kisah pahit yang pernah ia rasakan. Ini persoalan hati. Kalau hati sudah tertambat, maka sulit baginya untuk melepas. Saat sedang galau, biasanya Ucil mencari ketenangan dengan mendengarkan kisah-kisah saya. Kisah yang nyaris sama dengan kisahnya. Kisah dahulu yang barangkali bisa ia petik hikmahnya.
            “Ayolah, Mbak… cerita lagi. Beri saya penerangan dan penyadaran,” pintanya malam itu.
            “Apa yang mesti saya ceritakan lagi, Cil? Sering sekali saya cerita itu, kan? Trus apalagi? Sudahlah, yakini saja sakit itu hanya sementara. Kalau sudah bertemu dengan orang yang tepat, saya yakin kamu pasti lebih bahagia daripada sebelumnya. Justru kamu akan bersyukur tidak jadi dengan lelaki sebelumnya. Kata Anom, cinta sejati itu mengembara. Ia akan berpetualang dari hati yang satu pada hati yang lain. Dalam perjalanannya, tak jarang akan menemukan kesakitan-kesakitan karena perpisahan yang tak diinginkan. Tetapi itu hanya sementara. Karena perjalanan masih akan terus dilanjutkan untuk kemudian menemukan muara yang tepat. Dan di sanalah cinta akan berdiam dengan nyaman,” saya bicara panjang lebar layaknya orang yang sudah mahir dalam soal cinta.
            “Sulit banget ya melupakan orang yang disayang. Andai saja ada obat penghilang ingatan pada seseorang, mungkin saya adalah orang pertama yang akan membelinya. Tersiksa banget soalnya. Huft…”
            “Sakit ya, Cil? Hehe… nikmati saja dulu. Itu hanya tahapan awal buat kamu untuk meneguk kebahagiaan. Kalau gak sakit dulu, mana mungkin kamu akan merasakan nikmatnya bahagia.”
            “Hm, Bener juga sih. Saya sudah lelah dengan keadaan begini, Mbak. Menyesal, pasti ada. Tapi kayaknya ini tak layak disesali, karena pastinya juga memberi pelajaran bagi saya. Jalan untuk lebih mendewasakan diri lah.”
            “Nah, itu baru betul. Ambil hikmahnya saja, Cil. Mungkin dengan begitu, kamu akan lebih hati-hati mengambil keputusan untuk bercinta. Atau bisa jadi, itu teguran dari Allah bahwa bukan dia yang terbaik untukmu, karena Allah sudah menyediakan lelaki yang jauh lebih baik untukmu. Penasaran yah? Nunggunya yang sabar ya.”
            “He’em, penasaran banget. Hehe.. Makasih banyak ya, Mbak,” katanya sambil tersenyum manis.
            Begitulah si Ucil. Dia melankolis amat. Perasaannya yang lembut tidak bisa dipaksa untuk melupakan orang yang dicinta. Terlalu berat baginya untuk berpindah hati meski dalam kurun waktu yang relatif lama. Maklum, perempuan memang cenderung begitu. Sekali mencinta, maka sulit baginya untuk lupa.
            Saya punya kesamaan dengan si Ucil, sama-sama punya daya sensitivitas tinggi. Kalau lagi males bicara, jangan harap kami akan ikut nimbrung bercerita dengan teman-teman yang lain. Bawaannya selalu ingin sendiri. Atau kalau tidak, hanya berteman dengan diary dan pen saja. Lalu curhat.  Dear Diary…
            Tetapi di balik melankolisnya, Ucil juga termasuk orang yang simpatik. Dia memiliki kepedulian besar terhadap sahabat-sahabatnya. Dalam istilah teori pendidikan, dia punya soft skill yang relatif tinggi. Kalau melihat sahabatnya sakit, ia segera datang untuk merawatnya. Kalau mendapati saya tengah menangis, tanpa ragu ia mendekap saya dengan erat untuk menyumbangkan kekuatan. Kepedulian itulah yang akhirnya membuat saya memilih untuk menghabiskan waktu banyak bersamanya.
Selain itu, kekaguman saya pada Ucil juga saat dia gigih untuk menekuni bidang ilmu yang dia sukai. Kegigihan itu pada akhirnya mengantarkannya menjadi santri yang berprestasi dan cukup diperhitungkan di pesantren. Kemampuan baca kitab kuning-nya tidak perlu diragukan. Buktinya, ia sekarang duduk bersama saya di kelas Mumtaz, kelas yang dihuni oleh santri pilihan yang berminat di bidang kitab kuning.  
Sudah sejak dulu (saat MAK) dia berproses bersama saya untuk menjadi orang yang mahir di bidang kitabiyah. Banyak guru-guru berjasa yang berperan besar dalam hal ini. Ustadz Dangker, Ustadz Rofiq, K. Hasbullah, K. Wadud Munir, dan Ustadz Dedi, mereka adalah orang-orang hebat yang selalu menemani dan membimbing kami belajar kitab ketika akan mengikuti kompetisi. Terima kasih, Ustadz. Karena kalian-lah kami bisa mengeja abjad dalam kitab yang tak berharakat itu. Masih segar dalam ingatan kami “tragedi” di Jember waktu itu. Hehehe…
            Cukup langka menemukan orang yang gigih seperti Ucil. Tak jarang saya menemukan ia tertidur dengan kitab Ibnu Katsir dan kamus Munawwir-nya. Beda dengan saya, sebelum masuk kelas, Ucil pasti mempelajari terlebih dahulu materi yang akan kami ikuti di kelas. Buka kitab dan buka kamus berkali-kali. Karena itulah dia enteng saja nanti ketika ustadz memintanya untuk membaca teks Ibnu Katsir itu. I proud of u, Cil…
            Tidak puas dengan kitab kuning, Ucil juga menekuni dunia literasi. Masih sama, ia berproses bersama saya di lembaga kepenulisan pesantren. Ketertarikannya pada dunia tulis-menulis dimulai saat ia senang mengisi buku harian. Di sudut kamar, saya sering melihatnya menulis buku harian. Saya yang usil kadang mencuri buku hariannya untuk mengetahui apa yang telah ia tulis. Aduh, sudah kebuka, nih. Maaf, Cil…
            Berkat kesungguhannya, tulisan-tulisan Ucil juga sering nongol di media. Maka tak salah ketika ia dipercaya untuk menahkodai bulletin FLP yang umurnya kini hampir mendekati empat tahun.  Selamat, yah. Di tanganmu, hidup-mati bulletin itu dipertaruhkan.


Gubuk LPM, 09 Maret 2013
Untuk Kecil dan Ucil:
Sengaja memang saya tak meminta izin pada kalian untuk mengekspose cerita ini.
Maaf yah kalau dalam deskripsinya terdapat distorsi. Itu di luar pengetahuan saya. :)