Menyusun Mimpi
Berawal dari Mimpi
Meski tidak
punya bakat dalam tulis-menulis, saya berani bermimpi menjadi penulis. Mimpi
itu saya rangkai ketika masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat
SMP). Saya tak tahu pasti kenapa kala itu keinginan untuk menjadi penulis
menjulang tinggi di hati saya, padahal di lingkungan tempat saya tinggal tidak
mendukung sama sekali untuk menggapai keinginan tersebut. Tapi saya apatis
tentang itu. Yang terpenting, saat itu saya tengah memeluk mimpi. Dan mimpi itu
harus saya kejar dengan kesungguhan.
Yang bisa saya
lakukan sebagai manifestasi mimpi menjadi penulis adalah menulis buku harian.
Saya rajin menulis buku harian meski isinya sangat amatiran. Mungkin, saya akan
tersenyum simpul bila membacanya kembali saat ini. Orang-orang bilang, terlalu
lucu.
Berangkat ke
Annuqayah sekitar tahun 2006, saya hempaskan mimpi itu jauh-jauh. Kenapa? Saya
punya mimpi lain yang—saat itu—terlihat lebih heroik dan menantang (tak perlu
saya sebutkan di sini). Akhirnya, menulis bukan aktifitas yang menarik lagi
sehingga tidak menjadi hobi kembali. Selama kurang lebih 2 tahun, saya memilih
untuk meninggalkan dunia kepenulisan. Oleh karena pindah haluan, saya jadi
jarang menulis walau sekedar buku harian. Buku harian pun saya tak punya.
Akan tetapi, ceritanya
berbeda ketika menduduki kelas akhir XII MAK. Saat itu saya menjadi utusan
sekolah untuk mengikuti lomba mading 3 dimensi tingkat Regional di PP. Al-Amin
Prenduan. Beruntung, saya bergabung dengan kelompok orang-orang hebat yang tidak
diragukan kredibelitas tulisannya. Bergabung dengan mereka, menjadikan tim kami
jebol sebagai salah satu juaranya. Tentu saya dan teman-teman sangat girang
dengan prestasi tersebut. Sebab prestasi itulah, saya memeluk kembali mimpi
yang saya hempaskan tadi, saya kembali gemar menulis.
Menduduki
bangku kuliah, semangat menulis saya semakin terpacu. Obor spirit saya disulut
oleh seseorang yang belakangan menjadi motivator sekaligus inspirator menulis saya
(Ssst… of the record yah J). Saya makin rajin
mengirim-ngirim tulisan ke media. Awalnya saya coba-coba dulu ke media lokal Annuqayah.
Setelah itu saya tingkatkan ke media yang nilai gengsinya lebih prestisius. Eits,
jangan kira tulisan saya banyak dimuat, yang terjadi justru sebaliknya. Meski
tulisan yang ditolak oleh media tak terhitung jumlahnya, saya sendiri tidak
begitu peduli. Yah, paling tidak redaksi sudah membaca tulisan-tulisan saya
yang serampangan itu.
Pramoedya
Ananta Toer pernah menulis begini, “Apapun memang harus dituliskan.
Bagaimana pun bentuknya. Dengan demikian Anda telah mengambil satu peran merekam
kenyataan di selingkungan. Mestinya anak muda seperti itu, berani menulis!
Jangan takut tidak dibaca atau dibuang orang…
yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti akan ada yang
membacanya dan menerbitkannya.”
Bergabung Dengan LPM
Setahun saya
kuliah, saya mencari network yang
lebih luas untuk menunjang kreatifitas menulis saya. Untung saja, di kampus ada
salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang dapat mewadahi mahasiswa yang
berminat di dunia kepenulisan. Lembaga tersebut adalah Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM). Beberapa kegiatan LPM saya coba ikuti setiap kali libur kuliah (meski
kadang agak malas. Hehe..). Tak lama setelah itu, entah bagaimana ceritanya,
saya diangkat menjadi Kru Dinamika, satu-satunya majalah kampus yang ada di
bawah koordinasi LPM Putri. Dan pada akhirnya,
saya juga dipercaya menjadi salah satu penggerak lembaga ini.
Ada keberuntungan
tersendiri yang saya dapatkan ketika berada di lembaga LPM. Selain menemukan
senior-senior yang getol menulis, di sana saya juga dapat melebarkan sayap
pengalaman di bidang kepenulisan. Apalagi LPM Instika bergabung dengan ILP2MI (Ikatan Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa Indonesia) yang menawarkan
kegiatan-kegiatan bermutu. Di lembaga Nasional itu, saya dipertemukan dengan
penulis-penulis andal dari berbagai kampus di Indonesia. Belajar bersama
mereka, semakin membuka kesadaran saya bahwa menulis adalah harga mati bagi
mahasiswa.
Berkat sejumlah
kegiatan yang digelar LPM, saya bisa mengenal penulis-penulis kesohor yang biasa
dijadikan fasilitator dalam kegiatan tersebut. Sebut saja misalnya Akhmadi
Yasid, Tin Mayya, Ibnu Hajar, Zainul Ubbadi, Ghozi, K. M. Mushthafa, dan
penulis-penulis lain yang kerap menjadi wartawan media massa. Lalu siapa yang
tak merasa beruntung menjadi bagian organ dari tubuh LPM ini?
Hingga detik
terakhir kuliah di kampus putih Instika, saya masih mengabdikan diri di LPM
sembari berproses dengan koki-koki cantik di dalamnya. Sebagaimana umumnya penulis,
semangat menulis saya pasang-surut bak laut. Benar, di tahun-tahun awal
semangat menulis saya meluap sekali, melimpah ruah. Maklum, saya pernah berkomitmen
untuk mengabdikan hidup hanya dengan menulis. Tapi jangan tanya untuk tahun
terakhir ini. Stok semangat saya kian terkikis perlahan. Tidak tahu pasti alasannya apa. Tiba-tiba malas begitu
saja.
Saya sadar,
belakangan saya jarang sekali memberi stimulasi pada kader-kader LPM. Bahkan
nyaris tak pernah. Barangkali mereka bertanya-tanya, kenapa saya demikian?
Kenapa semangat menulis saya tumbang dari waktu ke waktu? Menanggapi itu, saya sudah
sampaikan ketika evaluasi pengurus bahwa ini murni karena saya tengah malas
menulis. Buktinya, saya tak pernah menulis kalau tidak karena tuntutan,
katakanlah menulis karena untuk lomba, tugas makalah, dan permintaan tulisan.
Selain itu, tidak ada. Saya semakin tidak produktif, beda dengan pengurus LPM
lain yang belakangan saya lihat sering menulis.
Namun, penyakit
akut ini tidak akan berlangsung lama. Saya akan berusaha mengembalikan
eksistensi saya yang nyaris hilang tertelan bumi. Sebab dengan menulis, saya
dianggap ada, eksistensi saya semakin nyata. Yah, terus terang untuk menjaga
keistiqamahan dalam menulis, terlebih dahulu saya harus berpikir pragmatis. Dengan
begitu, semangat menulis saya kian terpacu. Mengkin, bagi kita, tidak layak
ketika tugas mulia seperti menulis diintervensi dengan tujuan-tujuan
destruktif karena pola pikir pragmatis.
Tapi bagi saya tidak demikian. Siapapun tidak bisa memungkiri bahwa tujuan
pragmatis itulah yang memang kita kejar. Manusia (siapa pun itu) memang
menyukai kenikmatan-kenikmatan. Tidak apa, awalnya kita memang harus mengecoh
setan si pemilik pikiran pragmatis itu untuk akhirnya mencapai tujuan yang
idealis.
Passion Itu… Dunia Literasi
Sekian lama,
sejak masih berstatus siswa hingga mahasiswa, saya mencari passion yang nantinya
akan berjodoh dengan saya. Kerap kali saya bertanya-tanya sendiri, potensi apa
yang saya miliki? Kreatifitas apa yang akan saya dalami? Cukup sulit memang
untuk menjawab itu, bak mencari jarum dalam jerami. Sulitnya bukan main. Saya pikir,
ketika akhirnya saya memilih Instika sebagai tempat saya belajar, saya harus
memiliki potensi di luar akademik yang akan menjadi identitas saya. Saya pernah
menjelajahi semua lembaga di Latee II (tempat saya menetap di Annuqayah),
termasuk Aphrodite English Club (AEC) dan Jam’iyah Qiraatul Kutub (JQK) selama
dua tahun berturut-turut. Betul, saya menemukan chemistry di sana, karena
saya memang menyukai bahasa Inggris dan gramatika Arab semenjak Madrasah
Ibtidaiyah (setingkat SD). Tetapi itu tidak berlangsung lama. Hingga akhirnya,
pilihan terakhir, saya jatuhkan di lembaga Forum Lingkar Pena (FLP).
Passion itu akhirnya saya temukan di dunia tulis menulis, dunia literasi. Di
lembaga kepenulisan (FLP dan LPM) saya menemukan kenyamanan yang luar biasa,
sebab saya mendapatkan apa yang saya cari; saya punya partner untuk berdiskusi,
saya punya perpustakaan mini dan harian Kompas di FLP, dan harian Jawa
Pos di LPM. Semua saya dapatkan. Aktifitas membaca, menulis, dan berdiskusi
yang menjadi hobi saya dapat terwadahi secara simultan.
Memilih untuk
menjadi penulis, bukan pilihan sembarangan. Menulis—kata Muhidin M.
Dahlan—adalah aktifitas yang luar biasa mulianya. Menulis tak lagi sekedar
corat-coret di atas kertas, tetapi ia semacam penanda tugas. Menjadi beban yang
harus dipikul untuk tujuan besar. Tujuan agung untuk pencerahan, untuk masa
depan kemanusiaan yang lebih bermartabat. Maka tidak salah ketika Sapardi Djoko
Damono, Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Adjidarma, dan D. Zawawi Imron hingga di
usia senja tetap mengabdikan hidupnya untuk menulis.
Hingga saat
ini, saya masih bermimpi menjadi penulis. LPM telah memberikan pengaruh besar untuk
mewujudkan mimpi itu. Pengabdian saya untuk LPM selama ini rasanya tidak mampu
membayar segala hal yang diberikan LPM untuk saya. Saya ingat betul pleidoi
senior saat kali pertama saya diangkat menjadi bagian LPM, “Jangan berpikir,
apa yang akan diberikan LPM untuk kita. Tetapi berpikirlah, apa yang akan
diberikan kita untuk LPM”. Saya terperangah mendengarkan petuah itu. Memang
tidak baik rasanya ketika kita mendapatkan banyak kebaikan dari seseorang,
namun kita tidak mampu membalasnya dengan kebaikan pula. Maka, pengabdian saya di
LPM bisa dikatakan semacam bentuk balas budi yang sebetulnya tidak seberapa.
Tiga tahun
berproses di LPM, menggerakkan jemari saya saat ini untuk menyampaikan pesan
terakhir kepada kader-kader LPM, “Mengabdilah dan menulislah karena
keterpanggilan hati, bukan karena keterpaksaan! Akhirnya, sebagai pamungkas
dari tulisan ini, saya juga ingin menyampaikan pesan Pramoedya Ananta Toer, “Menulislah!
Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari
pusaran sejarah.”