Pesan Tolstoy untuk Manusia Modern
Judul Buku: Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada
Penulis: Leo Tolstoy
Penerjemah: Atta Verin
Tahun Terbit: 2012
Penerbit: Serambi
Tebal Buku: 195 halaman
Peresensi: Husnul Khatimah Arief *)
Membaca karya-karya
terjemahan bagi sebagian orang kadangkala terasa menjenuhkan disebabkan oleh
rumitnya memahami makna yang dimaksud penulis. Maklum, memindahkan bahasa satu ke
bahasa lain bukanlah perkara mudah. Perlu keterampilan, ketelitian dan
kelincahan penulis dalam menyusun kata-kata agar mudah dipahami pembaca. Lazimnya, karya-karya asing yang menarik
untuk diterjemahkan adalah karya yang mendunia tersebab kualitas tulisannya
atau pamor penulisnya. Karya yang demikian selalu menggelitik hati setiap orang
di penjuru dunia untuk membacanya. Sebut saja misalnya karya al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah atau Tahafut at-Tahafut buah tangan Ibnu Rusyd yang
sampai saat ini masih terus diterjemahkan oleh mereka yang menggandrungi dunia
filsafat.
Salah
satu karya terjemahan yang berhasil mengambil hati banyak orang sampai saat ini
adalah karya sastrawan Rusia yang hidup pada abad ke-19 M. bernama Lev
Nikolayevich Tolstoy, atau yang dikenal dengan nama Leo Tolstoy. Pamor Tolstoy
sangat kuat di dunia kesusastraan Rusia setelah berhasil menelurkan karya
berjudul War and Peace, Anna Karenina, dan Sonata Kreutzer. Khazanah
kesusastraan Rusia mencatat karya-karyanya dengan tinta emas. Sehingga tak
berlebihan kiranya ketika ia disebut-sebut sebagai sastrawan yang paling menonjol
diantara sastrawan-sastrawan besar Rusia kala itu.
Dalam
beberapa karya yang merupakan perjalanan hidupnya, sastrawan kelahiran Yasnaya
Polyana, Rusia ini kerap memasukan nilai-nilai religiusitas sebagai pengokoh
bangunan tulisannya. Ini terlihat dari buku Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan
Ada yang diterjemahkan oleh Atta Verin dan diterbitkan Serambi pada tahun
ini. Buku ini memuat lima cerpen terbaik Tolstoy yang diceritakan dengan lugas
dan dikemas sederhana. Saking sederhananya, di
setiap awal cerita selalu diawali kalimat semisal, “di suatu ketika… suatu
hari…” layaknya dongeng yang biasa dibacakan seorang ibu kepada anaknya.
Kisah-kisah realis yang ia sajikan sarat makna dan beberapa mengandung satire. Dari
lima cerpen ini, ia hendak memberi pesan kepada pembaca bahwa kehidupan dunia
akan terasa hambar dijalani tanpa menghadirkan Tuhan di dalamnya. Ia ingin
pembaca senantiasa menyadari bahwa di balik perjalanan hidup manusia ada
sesuatu yang transenden, yang selalu memantau setiap gerak laku hamba-hambaNya
di dunia.
Sebagaimana
karakter manusia pada umumnya, biasanya mereka akan larut dalam kesedihan
ketika ditinggal orang yang dicintainya. Bahkan tak segan sebagian mereka
menyalahkan Tuhan karena merasa diperlakukan tidak adil. Fenomena semacam ini oleh
penulis direpresentasikan dalam bentuk cerita yang terdapat di awal buku ini, Di
mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada. Tokoh Martin Avdeich, seorang perajin
sepatu, dalam cerita ini digambarkan sebagai orang yang malang karena ditinggal
mati istri dan anak-anaknya. Ia hidup sebatang kara. Keadaan yang menghimpit
jiwanya ini membuatnya sedih lalu menyalahkan Tuhan karena tega membiarkannya
hidup sendiri di dunia. Namun akhirnya, ia menjadi orang yang taat setelah
membaca sebuah Alkitab yang disarankan temannya.
Fenomena
lain dalam kehidupan modern saat ini adalah sulitnya seseorang berlaku adil,
jujur, memaafkan dan bertanggung jawab. Terlebih ketika melihat prilaku elite
politik di negeri kita saat ini yang jauh dari harapan. Tanggung jawab terkesan
diabaikan, kejujuran tidak lagi diperhitungkan, keadilan belumlah ditegakkan,
dan masyarakat proletar tampak dikesampingkan. kisah Tuhan Maha Tahu, tapi
Dia Menunggu cukup memberi pelajaran pada mereka bahwa berbuat jujur,
memaafkan, dan bertanggung jawab lebih mendamaikan dan menyelamatkan. Seperti
yang dialami Ivan Dimitrich Aksionov dalam cerita ini ketika ia mendekam di
balik jeruji besi selama 26 tahun dengan derita yang bertubi. Waktu yang tidak
sebentar itu mengajaknya berpikir dan merenung guna memaknai hidup dengan
positif, menyadari bahwa hidup yang keras ini memang layak diperjuangkan. Karena
kasih sayangnya, kejujurannya, dan kebaikannya itulah kebenaran akhirnya
terkuak bahwa ia ternyata tidak bersalah. Ketika mau dibebaskan, ia dijumpai
telah tak bernyawa. Menemukan kedamaian yang sesungguhnya, bertemu dengan
Tuhannya.
Kisah-kisah
lain dalam buku ini: Tiga Pertapa, Majikan dan Pelayan, dan Dua
Lelaki Tua esensinya tidak jauh beda
dengan dua cerita sebelumnya. Beberapa tokoh yang terdapat dalam buku ini
sebagian digambarkan keras, bejat, penjahat dan tak bermoral yang pada akhirnya
menjadi orang baik dan taat. Tolstoy menyajikan seluruh kisahnya perihal
kerasnya hidup orang-orang yang melarat dan bernasib malang tetapi mampu menyikapinya
dengan positif. Pada ending cerita, semua yang dikisahkan Tolstoy berakhir
damai dengan meyakini bahwa hidup manusia harus diserahkan kepada Tuhan,
bermuara pada Tuhan. Inilah barangkali yang membuat pembaca merasa bosan karena
tidak adanya ending yang beragam dan inovasi konflik sebagai bumbu dalam
lapisan kisahnya.
Terlepas
dari itu, buku ini sejatinya masih relevan dibaca siapapun di zaman modern ini,
karena sejumlah kisahnya memberi pembelajaran bagaimana manusia semestinya
menyeimbangkan derasnya laju ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan tradisi
yang dibangun nilai-nilai religiusitas. Buku ini juga wajib dibaca oleh mereka
yang bergelut di bidang pemerintahan dan merindukan sosok yang layak dijadikan
teladan. Sebab, di dalamnya sarat pesan-pesan yang dapat dijadikan tuntutan
dalam mengarungi kehidupan, seperti bersifat jujur, bertanggung jawab,
memaafkan, menolong yang malang, dan lain sebagainya. []