Halaman

Minggu, 25 November 2012

Resensi


Pesan Tolstoy untuk Manusia Modern
Judul Buku: Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada
Penulis: Leo Tolstoy
Penerjemah: Atta Verin
Tahun Terbit: 2012
Penerbit: Serambi
Tebal Buku: 195 halaman
Peresensi: Husnul Khatimah Arief *)
Membaca karya-karya terjemahan bagi sebagian orang kadangkala terasa menjenuhkan disebabkan oleh rumitnya memahami makna yang dimaksud penulis. Maklum, memindahkan bahasa satu ke bahasa lain bukanlah perkara mudah. Perlu keterampilan, ketelitian dan kelincahan penulis dalam menyusun kata-kata agar mudah dipahami pembaca.  Lazimnya, karya-karya asing yang menarik untuk diterjemahkan adalah karya yang mendunia tersebab kualitas tulisannya atau pamor penulisnya. Karya yang demikian selalu menggelitik hati setiap orang di penjuru dunia untuk membacanya. Sebut saja misalnya karya al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah atau Tahafut at-Tahafut buah tangan Ibnu Rusyd yang sampai saat ini masih terus diterjemahkan oleh mereka yang menggandrungi dunia filsafat.
            Salah satu karya terjemahan yang berhasil mengambil hati banyak orang sampai saat ini adalah karya sastrawan Rusia yang hidup pada abad ke-19 M. bernama Lev Nikolayevich Tolstoy, atau yang dikenal dengan nama Leo Tolstoy. Pamor Tolstoy sangat kuat di dunia kesusastraan Rusia setelah berhasil menelurkan karya berjudul War and Peace, Anna Karenina, dan Sonata Kreutzer. Khazanah kesusastraan Rusia mencatat karya-karyanya dengan tinta emas. Sehingga tak berlebihan kiranya ketika ia disebut-sebut sebagai sastrawan yang paling menonjol diantara sastrawan-sastrawan besar Rusia kala itu.
Dalam beberapa karya yang merupakan perjalanan hidupnya, sastrawan kelahiran Yasnaya Polyana, Rusia ini kerap memasukan nilai-nilai religiusitas sebagai pengokoh bangunan tulisannya. Ini terlihat dari buku Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada yang diterjemahkan oleh Atta Verin dan diterbitkan Serambi pada tahun ini. Buku ini memuat lima cerpen terbaik Tolstoy yang diceritakan dengan lugas dan dikemas sederhana. Saking sederhananya, di setiap awal cerita selalu diawali kalimat semisal, “di suatu ketika… suatu hari…” layaknya dongeng yang biasa dibacakan seorang ibu kepada anaknya. Kisah-kisah realis yang ia sajikan sarat makna dan beberapa mengandung satire. Dari lima cerpen ini, ia hendak memberi pesan kepada pembaca bahwa kehidupan dunia akan terasa hambar dijalani tanpa menghadirkan Tuhan di dalamnya. Ia ingin pembaca senantiasa menyadari bahwa di balik perjalanan hidup manusia ada sesuatu yang transenden, yang selalu memantau setiap gerak laku hamba-hambaNya di dunia.
Sebagaimana karakter manusia pada umumnya, biasanya mereka akan larut dalam kesedihan ketika ditinggal orang yang dicintainya. Bahkan tak segan sebagian mereka menyalahkan Tuhan karena merasa diperlakukan tidak adil. Fenomena semacam ini oleh penulis direpresentasikan dalam bentuk cerita yang terdapat di awal buku ini, Di mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada. Tokoh Martin Avdeich, seorang perajin sepatu, dalam cerita ini digambarkan sebagai orang yang malang karena ditinggal mati istri dan anak-anaknya. Ia hidup sebatang kara. Keadaan yang menghimpit jiwanya ini membuatnya sedih lalu menyalahkan Tuhan karena tega membiarkannya hidup sendiri di dunia. Namun akhirnya, ia menjadi orang yang taat setelah membaca sebuah Alkitab yang disarankan temannya.
Fenomena lain dalam kehidupan modern saat ini adalah sulitnya seseorang berlaku adil, jujur, memaafkan dan bertanggung jawab. Terlebih ketika melihat prilaku elite politik di negeri kita saat ini yang jauh dari harapan. Tanggung jawab terkesan diabaikan, kejujuran tidak lagi diperhitungkan, keadilan belumlah ditegakkan, dan masyarakat proletar tampak dikesampingkan. kisah Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu cukup memberi pelajaran pada mereka bahwa berbuat jujur, memaafkan, dan bertanggung jawab lebih mendamaikan dan menyelamatkan. Seperti yang dialami Ivan Dimitrich Aksionov dalam cerita ini ketika ia mendekam di balik jeruji besi selama 26 tahun dengan derita yang bertubi. Waktu yang tidak sebentar itu mengajaknya berpikir dan merenung guna memaknai hidup dengan positif, menyadari bahwa hidup yang keras ini memang layak diperjuangkan. Karena kasih sayangnya, kejujurannya, dan kebaikannya itulah kebenaran akhirnya terkuak bahwa ia ternyata tidak bersalah. Ketika mau dibebaskan, ia dijumpai telah tak bernyawa. Menemukan kedamaian yang sesungguhnya, bertemu dengan Tuhannya.
Kisah-kisah lain dalam buku ini: Tiga Pertapa, Majikan dan Pelayan, dan Dua Lelaki Tua  esensinya tidak jauh beda dengan dua cerita sebelumnya. Beberapa tokoh yang terdapat dalam buku ini sebagian digambarkan keras, bejat, penjahat dan tak bermoral yang pada akhirnya menjadi orang baik dan taat. Tolstoy menyajikan seluruh kisahnya perihal kerasnya hidup orang-orang yang melarat dan bernasib malang tetapi mampu menyikapinya dengan positif. Pada ending cerita, semua yang dikisahkan Tolstoy berakhir damai dengan meyakini bahwa hidup manusia harus diserahkan kepada Tuhan, bermuara pada Tuhan. Inilah barangkali yang membuat pembaca merasa bosan karena tidak adanya ending yang beragam dan inovasi konflik sebagai bumbu dalam lapisan kisahnya.
Terlepas dari itu, buku ini sejatinya masih relevan dibaca siapapun di zaman modern ini, karena sejumlah kisahnya memberi pembelajaran bagaimana manusia semestinya menyeimbangkan derasnya laju ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan tradisi yang dibangun nilai-nilai religiusitas. Buku ini juga wajib dibaca oleh mereka yang bergelut di bidang pemerintahan dan merindukan sosok yang layak dijadikan teladan. Sebab, di dalamnya sarat pesan-pesan yang dapat dijadikan tuntutan dalam mengarungi kehidupan, seperti bersifat jujur, bertanggung jawab, memaafkan, menolong yang malang, dan lain sebagainya. []

Puisi Dee


 
Engkaulah gulita yang memupuskan segala batasan
dan alasan

Engkaulah penunjuk jalan menuju palung kekosongan
dalam samudera terkelam

Engkaulah sayap tanpa tepi yang membentang
menuju tempat tak bernama namun terasa ada

Ajarkan aku,
Melebur dalam gelap tanpa harus lenyap
Merengkuh rasa takut tanpa perlu surut
Bangun dari ilusi namun tak memilih pergi

Tunggu aku,
Yang hanya selangkah dari bibir jurangmu.

Tradisional yang Modern
Berada di zaman modern seperti saat ini, tentu semua orang tidak mau disebut katrok, udik, jadul atau sebutan lain yang cenderung konservatif. Mereka akan mengikuti kemana arus zaman ini berjalan agar tidak mudah ketinggalan. Gaya hidup pun akan berubah secara revolutif, mulai dari penggunaan gadget, cara berpakaian, menu makanan, kendaraan, tempat hunian dan lain sebagainya. Sejak inilah semua kebutuhan manusia modern terasa mudah didapatkan tanpa repot-repot menghabiskan tenaga dan waktu yang banyak.
Namun, kebanyakan orang menilai modernitas secara simplifikatif. Bisa jadi sesuatu disebut modern karena itu konkrit dan tidak disebut modern karena itu abstrak. Padahal, terkadang tidak demikian sesungguhnya. Seringkali kita mudah mengklaim orang itu modern ketika berpakain necis padahal bisa jadi pola pikirnya tradisionalis. Sebaliknya, orang yang bersarung cenderung dikatakan tradisional padahal secara akal sangat rasional. Jadi, modern tidaknya seseorang tidak bisa dinilai sesederhana begitu.
Orang desa kerap dikatakan tradisional dan masyarakat urban disebut modern berdasarkan penilaian yang konkrit. Padahal kalau mau jujur, pemikiran orang desa kadang jauh lebih progresif dan modern daripada orang kota. Pakaian dan tempat tinggal yang sederhana tidak lantas mengindikasikan seseorang jauh dari modernitas dalam pengertiannya yang universal. Justru modern yang abstrak itulah yang kadang menyelamatkan. Lalu sekarang terserah kita, mau pilih tradisional yang modern atau modern yang tradisional?




Editorial Buletin


Mari Bersaudara!

Semua manusia yang berpijak di dunia ini bersaudara. Orang di ujung dunia yang tak dikenal pun juga bagian dari saudara kita. Jika mereka tidak memiliki hubungan kekeluargaan, maka mereka adalah ukhuwah fi al-wathan, ukhuwah fi ad-din, atau ukhuwah basyariyah. Mereka memiliki keterkaitan batin dengan kita sebagai sesama hamba Tuhan.
            Persaudaraan yang tercipta diantara manusia kerap dinodai dengan noktah perselisihan. Perselisihan yang timbul akibat perbedaan. Perbedaan ini dipandang sebagai medium dan awal pembuka pintu perpecahan. Ini tidak hanya terjadi pada sekelompok manusia yang berbeda agama. Bahkan, saudara seimanpun seringkali mengalami perpecahan lantaran perbedaan yang terus merongrong.
Kita bisa lihat perpecahan yang sering terjadi pada umat Islam di Indonesia. Sudah berapa kali kerusuhan terjadi disebabkan oleh perbedaan pandangan antara satu kelompok Islam dengan kelompok Islam yang lain. Keberagaman yang ada dalam Islam dipandang sebagai pemicu perselisihan, bukan sebagai kekayaan yang terdapat dalam Islam.
Dalam komunitas kecilpun acapkali terjadi fanatisme radikal. Mereka memandang bahwa kebenaran hanya ada di pihaknya, bukan pada kelompok yang lain. Tidak hanya itu, di lingkungan yang dekat dengan kita ternyata juga tak luput dari potret perselisihan hanya karena perbedaan kecil. Perbedaan yang kecil itupun pada akhirnya merambat pada perselisihan yang besar.
Inilah yang mesti kita sadari sejak hari ini, detik ini. Menyadari bahwa sebenarnya kita tak perlu memacu perselisihan dan perpecahan hanya karena perbedaan, sebab sejatinya, perbedaan adalah warna yang melengkapi indahnya pelangi hidup kita. Mari kita bergandengan tangan, bersaudara sejak hari ini, besok, lusa dan kehidupan selanjutnya! J (El_@rief)


Jangan Tunda Memberi!
Saya sangat tertarik pada catatan yang ditulis oleh Rhenaldkasali pada harian Jawa Pos edisi Januari 2012 berjudul “Orang Miskin Memberi”. Dalam catatannya, ia hendak memberi penyadaran pada pembaca bahwa tak hanya orang kaya saja yang bisa memberi. Siapapun berpotensi untuk menjadi dermawan yang senantiasa memberi, tak terkecuali kaum miskin dan terpinggirkan. Konsepsi kita bisa jadi tidak menyetujui pendapat Rhenaldkasali tersebut, karena orang miskin memang tidak memiliki apa-apa untuk diberikan. Lalu apa yang akan diberi?
            Baik, tak salah kita berpikir seperti itu. Namun, mungkin saja apa yang dikatakan Rhenaldkasali itu benar. Jika mau jujur, sebenarnya istilah “tak punya” hanya kedok dan alasan lawas bagi mereka yang tidak mau memberi. Ketika memberi diyakini hanya bisa dilakukan oleh si kaya, maka sampai kapanpun orang miskin tak akan bisa berderma. Orang-orang yang berpikir seperti itu, sejatinya menunda pekerjaan baik dan mulia. Mereka menunggu sampai saatnya tiba. Padahal, bagi orang yang menerima, orang kaya yang memberi rasanya sangat biasa dan lumrah. Yang sangat “tak biasa” dan menjadi luar biasa ialah apabila si pemberi orang miskin yang tak memiliki apa-apa.
            Coba saja saksikan fenomena yang biasa ditemui di lingkungan kita tatkala ada pengemis yang meminta sesuap nasi seraya berjuang melawan terik matahari di sepanjang jalan. Ada orang kaya yang memberinya uang ratusan ribu namun masih dibumbui dengan caci maki dan penghinaan yang bertubi. Lalu pada detik berikutnya, datang orang biasa yang juga memberinya uang berupa recehan namun diberikan dengan ketulusan dan kasih sayang. Tak lupa ia juga memberi seulas senyum pada pengemis tadi. Kita pasti bisa mengambil kesimpulan, pemberian mana yang lebih membahagiakan dan mendamaikan.
            Kalau begitu, pemberian sebenarnya tak bisa diukur dengan materi. Pemberian yang menenangkan hati itulah pemberian yang substantif, pemberian yang sesungguhnya. Dengan sendirinya lalu kita akan membenarkan apa yang dikatakan Rhenaldkasali tadi bahwa memberi bisa dilakukan oleh siapa saja, karena memberi pada hakikatnya tak hanya terbatas pada pemberian materi (uang, makanan, pakaian, rumah, dan sebagainya). Kata “memberi” juga bisa dikonotasikan pada pemberian yang non-materi, seperti senyuman, empati, kasih sayang, perhatian, ketulusan dan uluran tangan. Rhenaldkasali menyebut hal itu dengan istilah material giving dan spiritual giving.
Pengertian “memberi” yang sangat luas ini meniscayakan semua orang untuk memberi. Memberi apa saja yang bisa ia berikan. Jadi pada dasarnya, kita tidak mesti menunggu menjadi kaya secara material terlebih dahulu untuk bisa memberi. Tetapi, memberi apapun yang bisa kita beri, baik material giving atau spiritual giving,  sudah cukup mengindikasikan bahwa kita kaya. Rhenald mengatakan, kaya adalah state of mind yang dibentuk oleh pikiran, bukan oleh jumlah uang. Pemberian yang banyak atau sedikit semua sama. Yang membedakan adalah seberapa besar ketulusan dan keikhlasan hati ketika memberi.
Di kota-kota besar, kerap kita temui orang kaya yang masih mengunci rapat hatinya untuk memberi. Bahkan, mereka bisa dikatakan orang yang lebih miskin dari orang miskin. Ketika ada kesempatan, mereka berada di depan. Ketika ada bantuan, mereka datang dengan sigap untuk memperebutkan. Kemudian, ada pula orang yang secara ekonomi terpuruk, hatinya pelit pula. Lantas apa yang bisa mereka andalkan? Mereka tak ubahnya dengan orang kaya yang bergaya hidup hedonis. Ah, ironis sekali rasanya.
Di tempat lain, tepatnya di tempat terpencil bernama pondok pesantren kita akan melihat nuansa yang berbeda. Pondok pesantren Annuqayah, misalnya. Di dalamnya, penghuni pesantren Annuqayah akan merasakan pemberian yang melimpah dan luar biasa. Persaudaraan dan kebersamaan adalah keniscayaan yang akan dirasakan mereka. Untuk makan saja, meski porsinya tidak banyak, akan terasa nikmat bila dimakan bersama. Inilah pemberian berharga yang lebih dari apapun. Rasa kekeluargaan yang tercipta di lingkungan pesantren mendidik penghuninya (santri) untuk  saling berbagi. Bila tidak bisa memberi material giving, paling tidak santri bisa memberi pemberian yang sederhana, senyum tulus pada sesama. Dengan demikian, maka orang yang berbagi itulah yang lebih pantas dikatakan kaya.
Pemberian akan tampak berharga bagi penerima bila sesuai dengan kebutuhan. Orang tak akan bahagia diberi berjuta-juta uang jika ia hanya butuh cinta dan kasih sayang. Atau orang tak akan senang diberi pakaian apabila ia hanya butuh teman untuk menemaninya. Saya jadi teringat salah seorang teman yang bagi saya kehidupannya amat mapan dan nyaman. Ia tergolong orang yang beruntung karena segala kebutuhannya dapat terpenuhi. Fasilitas rumah yang lengkap dan orang tua yang kaya.
Namun di balik itu, ia selalu mengeluh pada saya bahwa apa yang ia miliki justru menjadi nelangsa baginya. Apa yang saya kira ternyata salah. Ia bilang sebenarnya tak mendapatkan apa-apa meski kekayaan yang dimiliki orang tuanya melimpah. Ia malah terpuruk dengan kekayaannya itu. Kedua orang tuanya yang bisnisman seringkali keluar rumah karena sibuk mengurusi bisnisnya. Ia yang merupakan anak tunggal merasa sendiri dan merindukan uluran kasih sayang orang tuanya yang kadang pulang satu kali dalam seminggu. Hatinya merasa tak damai. Ia butuh teman. Kekayaan yang dimilikinya tak berarti apa-apa ketika hatinya lebih menginginkan cinta.
Pemberian materi (material giving) dan non-materi (spiritual giving) sebenarnya sama-sama dibutuhkan. Namun, akan fatal akibatnya jika dua komponen tersebut tidak diberikan secara simultan. Ya, seperti yang dirasakan oleh teman saya tadi. Realita yang tampak di hadapan kita memang tak semuanya seperti yang kita harap. Pemberian materi seringkali ditonjolkan ketimbang pemberian yang non-materi. Taruhlah misalnya pemerintah kita yang memberikan tunjangan untuk kelompok masyarakat  yang  kurang mampu. Secara faktual, masyarakat memang menerima tunjangan itu. Namun, di balik itu masyarakat kadangkala merasa  inferior ketika pemerintah menganggapnya rendah dan terbelakang. Begitulah akibatnya ketika keduanya tidak berjalan secara seimbang.
Di bab penutup buku The Power of Giving yang ditulis Azim Jamal dan Harvey Mc Kinnon, Rhenald membaca kalimat ini “One of the best gifts you can give children is to teach them the beauty of giving.” Setiap anak bisa diajari memberi selagi mereka kecil. Mulai dari memberikan perhatian, kasih sayang, sapaan, senyuman, kata-kata yang membesarkan hati, motivasi, kepercayaan, sanjungan, kepedulian dan seterusnya. Ini perlu. Mengingat, pendidikan sejak kecil itulah yang akan membentuk kepribadian anak ketika dewasa kelak. Jika anak kecil saja sudah diajarkan untuk membiasakan memberi, kenapa yang dewasa tidak?
Dalam konsep Islam, perbuatan memberi pada hakikatnya tidak akan mengurangi harta. Secara eksplisit memang berkurang, tapi secara implisit justru bertambah. Hal ini digambarkan oleh Allah dalam  QS. Al-Baqarah: 261 “Matsalu alladzina yunfiquuna amwaalahum fi sabiilillahi ka matsali habbatin anbatat sab’a sanaabila fii kulli sunbulatin mi’atu habbah wa allahu yudla’ifu liman yasyaa’u wa allahu waasi’un ‘aliim.” (perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada setiap bulir ada tujuh biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui). Begitulah perumpamaan orang yang memberi untuk mencari ridha Allah. Allah akan membalasnya dengan reward yang lebih besar dan apa yang tidak kita bayangkan sebelumnya. The big surprise dari Tuhan, begitu saya mengistilahkannya.
Namun, orang yang mengerti itu hanyalah orang yang memiliki keimanan kokoh. Untuk menguji kekokohan iman itulah Allah memerintahkan mereka untuk mengorbankan harta yang cenderung dicintai di jalan Allah, untuk membela kalimat Allah. Apa artinya harta yang fatamorgana bila dibandingkan dengan kenikmatan yang akan diberikan Allah kelak di surga. Orang yang beriman akan menyadari hal ini. Tetapi bagi orang yang keimanannya masih goyah, memberi harta yang dimiliki justru menjadi ancaman baginya. Hartanya yang “dielus-elus” diduga akan musnah dan tidak akan kembali lagi. Itu tak lain karena mereka memandangnya  secara parsial. Andai saja mereka merenungkan janji Allah dalam ayat tadi, maka tak mungkin dia berpelit hati.
Sekali lagi saya katakan, orang yang memberi adalah orang yang kaya dan bahagia. Memberi dapat membuat beban tersalurkan dan melupakan kesulitan. Orang yang memberikan ketulusan cinta dan kasih sayang tidak akan pernah dirugikan meski nanti ia bisa jadi tidak menerima balasan. Sebagaimana diktum klasik, memberi itu lebih baik daripada menerima, karena memberi adalah perbuatan Tuhan dan menerima adalah karakteristik manusia. Orang yang memberi justru akan merasakan betapa indahnya berbagi kebaikan selagi masih bisa dilakukan. Kebaikan yang kita tebarkan pasti akan berbuah kebaikan pula. Mari, mulai memberi sejak saat ini. Mari bercinta mulai detik ini. Jangan tunda lagi!

Untukmu, maafkan aku jika kelak aku tetap tak bisa membalas
“PEMBERIANMU.” Tuhan-lah yang akan memberimu
balasan yang lebih berharga, yang lebih dari yang kau kira.
Tunggulah The Big Surprise dari-Nya.