Menjadi pengantin dan
bersanding dengan orang yang kita cintai di
pelaminan adalah impian setiap orang. Memakai pakaian anggun, ditambah
untaian melati dan juga minyak wangi. Lalu mendapatkan ucapan selamat dari
kerabat dan orang-orang terdekat.
Kado-kado bertumpuk sebagai kenang-kenangan dan dibuka bersama suami. Ah,
betapa indahnya! Begitulah yang sering aku bayangkan tentang hari persandingan.
Lalu kapan lagi akan dimanja, dilayani, dirias bak permaisuri, dan semua kebutuhan
dipenuhi kalau bukan di hari pernikahan? Rasanya tak sabar menghadapi hari yang
ditunggu-tunggu itu.
Beberapa minggu, aku sudah
persiapkan jiwa raga menyambut hari bersejarah itu. Hari yang akan mengubah
kehidupanku selanjutnya. Aku sadar, menyandang status istri akan jauh berbeda
dengan saat di mana aku masih menjadi gadis. Hak dan kewajibanku akan berubah
dengan sendirinya, karena aku tidak lagi hidup sendiri, melainkan berdua. Maka
sudah sepantasnya aku mempersiapkan mental dan segalanya jauh-jauh hari sebelum
momen itu benar-benar datang.
Saudara-saudaraku
menggandeng tanganku dan mengarakku ke masjid menuju penghulu. Hari ini adalah
hari di mana aku akan dinikahkan. Terlihat orangtuaku bangga melihat anaknya
yang sudah didandani cantik dengan melati harum yang melilit tubuhnya. Wajah
mereka tampak bersinar seperti sudah menelan rembulan dan sinarnya pecah ke
segala arah. Sudah lama orangtuaku menginginkan aku segera bersanding dengan
sosok pangeran di pelaminan. Dan keinginan itu sudah terjawab saat ini.
Pernikahan ini merupakan
pilihanku sendiri. Pilihan yang dijatuhkan karena desakan keadaan. Lelaki yang
sebentar lagi akan sah menjadi suamiku tampak gugup di sampingku. Keringat
dingin perlahan bercucuran dari keningnya. Beberapa detik lagi ia akan
mengucapkan perjanjian agung yang mendebarkan. Jantungku semakin berdegup
kencang. Benar sekali kata orang, pernikahan adalah momen yang begitu sakral.
Kekhawatiran hati tidak
bisa lagi aku kendalikan. Kekhawatiran yang pada umumnya dirasakan oleh calon
istri. Bagaimana jika nanti calon suamiku tidak mampu mengucapkan qabul dengan
fasih? Bagaimana nanti jika tidak sah? “Qabiltu nikahawa Najmatul Jannah
Binti Abdullah bimahri aalatisshalaati haalan!” Calon suamiku mengatakannya
dengan lancar. “Bagaimana? Sah?” “Saaah…” “Alhamdulillah….” Aku mulai lemas.
Inilah yang disebut dengan mitsaqan ghalidzan, perjanjian sekuat
perjanjian Nabi. Kuatkan hamba, Rabbiii…
Ibuku. Ia tampak cantik sekali
hari ini. Dengan kebaya berwarna cokelat yang dikenakannya, ia terlihat begitu
anggun. Dari kejauhan aku melihatnya tersenyum sumringah sembari menyalami
tamu-tamu yang datang. Inilah mungkin momen yang ibu tunggu-tunggu sejak dulu.
Sesekali ia melihatku dan melemparkan senyum kepadaku, isyarat bahwa aku harus
bahagia dengan anugerah besar ini. Aku bangga sekali memiliki ibu semulia dia. I
love you, Mom.
Sementara Ayah, ia tak
kalah tampannya dengan calon suamiku. Lelaki yang setiap harinya bekerja di
sawah itu, disulap tampan seperti masa mudanya dulu. Ayah menghampiriku,
mengusap kepalaku berkali-kali dengan senyum tanpa mengucapkan sepatah kata
pun. Ya, aku tahu, ia ingin menguatkanku. Kebahagiaan benar-benar terpancar
dari aura wajah kedua orangtuaku. Aku adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Satu-satunya
anak perempuan. Aku-lah anak yang paling dimanja dan disayang, meski bukan
dengan harta.
Lalu bagaimana dengan
perasaanku saat ini? Dunia mendadak kelabu di mataku. Seperti aku melihat
cahaya, dan sebentar cahaya itu hilang ditelan kegelapan. Remang-remang. Kadang
bahagia datang, dan tak lama setelah itu gundah menghadang. Setidaknya
begitulah yang aku rasakan sekarang. Ucapan selamat dari sahabat-sahabatku,
senyuman dari orang-orang yang aku cintai, dan bunga-bunga yang menghias
penjuru kamarku tak mampu menghibur hatiku yang sedari tadi bergelombang
kencang. Ada apa ini? Astaghfirullahal ‘adzim… buanglah jauh-jauh
keraguan ini, Rabbi!
Aku berusaha meredam
gejolak batin ini dengan keyakinan bahwa aku pasti hidup bahagia dengan
suamiku. Aku buang asa yang telah aku kubur lima hari yang lalu. Namun, aku tak
berdaya. Malah aku semakin dikejar-kejar perasaan bersalah yang tak
berkesudahan. “Pergilah, kawan! Jangan ganggu aku dengan bayangmu. Berikan aku
waktu sebentar saja untuk meneguk kebahagiaan ini. Pergilah bersama mimpimu,
dan jangan pernah kembali lagi. Jalan hidup kita berbeda. Kita harus menjalani
hidup kita masing-masing.”
Namun, bayangan itu
semakin kuat. Ia tak jera menghantui pikiranku. Setiap kali mata ini memandang,
di situlah bayangan itu datang. Memandangku dengan sorot mata tajam dan penuh
penyesalan. Aku semakin bingung tak karuan. Seolah ia ingin mengatakan, “Kau
tega sekali, Najma. Kau khianati cintaku. Di saat aku berusaha membujuk
orangtuaku, kau malah menghancurkan impian kita dengan pernikahanmu ini. Tidakkah
kau pedulikan perasaanku? Puaskah engkau sekarang?”.
Kata-kata itu seolah
mendengung di telingaku. Ingin sekali aku berlari dan menjelaskan semuanya
kepadanya. Tapi, ah… sudahlah! Mungkin takdirlah yang memintaku begini. Bagiku,
sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup bersamanya. Orangtuanya melarang keras
aku menjadi istrinya dengan satu alasan bahwa aku bukan keturunan darah biru.
Sementara lelaki itu akan ditunangkan dengan kerabatnya sendiri yang juga
keturunan darah biru. Ini masalah kelas sosial. Aku hanyalah perempuan biasa
keturunan dari keluarga sederhana. Aku harus tahu diri. Dan pilihan yang
menyakitkan ini mungkin akan mengantarkannya pada kebahagiaan di masa mendatang.
Tak apalah untuk saat ini kita sama-sama terluka. Tapi aku yakin, ini adalah
pilihan tepat yang akan berbuah manis. Suatu saat nanti.
Para tamu dan kerabat
mulai pulang satu persatu. Hari pun semakin beranjak malam. Aku ingin
menenangkan hati dan pikiran dengan cara menghadapNya. Aku menangis dan mengadu
pada yang Maha Kuasa tentang apa yang mendera hatiku saat ini. Aku meminta
petunjuknya agar Dia memberi kebahagiaan padaku dan suamiku saat ini dan
seterusnya. Aku ingin menjadi istri yang shalihah untuknya. Air mata ini sudah
terkuras habis sejak tadi.
Suamiku? Mana suamiku?
Ternyata dia masih berbincang santai dengan orangtuaku di luar. Entah apa yang
mereka bicarakan. Beberapa menit kemudian dia masuk kamar. Deg, jantungku mulai
berdegub tak karuan. Aku sengaja menyibukkan diri dengan membaca buku, tanpa
melihatnya, tanpa menyapanya. Ia rebahkan tubuhnya di sampingku. Satu menit,
tiga menit, lima menit, masih belum ada percakapan. Kami sama-sama terdiam. Malam
pertama yang kata banyak orang begitu berkesan, tampaknya tidak berlaku pada
kami sekarang.
Ia mulai bangkit.
Menatapku dan menyentuh pipiku dengan mesra. Aku segera berpaling ketika ia
mulai menciumku. “Maafkan aku, Mas. Aku belum siap kau sentuh,” bisik hatiku
pilu. Mungkin ia paham, bahwa malam ini aku butuh ketenangan. Ia tampak kecewa
dan memilih untuk tidur.
Ah, malam pertama harus
kami lewatkan dengan sendu. Suamiku memilih untuk tidur di bawah dan
meninggalkanku sendiri di ranjang. Hingga pagi tiba, aku terbangun. Kulihat
suamiku duduk di serambi menatap fajar. Ia harus menanggung duka di saat ia seharusnya
bahagia bersama istrinya. “Maafkan aku, Mas. Aku akan berusaha mencintaimu dan
membahagiakanmu. Aku akan berusaha menjadi istri yang terbaik untukmu,”
batinku. Aku terus menepis masa lalu dan menatap masa depan. Sekarang aku sudah
sah menjadi istri Ihsan al-Faruqi. Kewajiban sebagai seorang istri harus aku
jalani mulai hari ini. Aku melangkah menghampirinya, “Ini kopinya, Mas”. Ia hanya
tersenyum menatapku.
Aku menarik napas panjang
mengingat semua kejutan-kejutan tak terduga dalam hidup yang aku jalani sekarang.
Mungkin ada yang mengatakan adalah hal bodoh ketika aku harus memilih lelaki
yang menjadi suamiku saat ini.
Ihsan al-Faruqi adalah
masa laluku sebelum lelaki berdarah biru itu. Dia adalah tunanganku tiga tahun
yang lalu. Kami bertunangan sekitar sepuluh tahun lamanya, sejak aku masih
mengenyam pendidikan SMA. Rentang waktu bertunangan yang begitu lama tidak
menjamin untuk tetap bertahan sampai ke pelaminan.
Setelah pendidikan S1
selesai, aku pulang ke kampung halaman untuk dinikahkan. Sepanjang perjalan
menuju Pulau Madura, tak ada yang bisa aku lakukan kecuali bersyukur dengan
nikmat yang tak henti Tuhan limpahkan kepadaku. Setelah diwisuda oleh lembaga
pendidikan, dua hari lagi aku akan diwisuda menjadi istri lelaki yang aku
cintai. Bukankah itu sebuah kejutan yang tak boleh disia-siakan?
Orangtua dan semua kerabat
sudah mempersiapkan segalanya untuk meyambut hari pernikahanku yang semakin di
depan mata. Orangtuaku mengurusi jamuan yang akan disuguhkan pada tamu dan
undangan. Kakak-kakakku mengurusi bagian dekorasi dan bunga-bunga. Sementara
aku sendiri mengurusi bagian undangan.
Namun kabar yang tak
diduga datang tiba-tiba seolah menghantam kepala dan merobek jiwaku. “Apa? Mas
Ihsan pergi ke luar negeri?” hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari mulutku
setelah membaca email yang Mas Ihsan kirimkan beberapa jam yang lalu. Terlalu
kejam rasanya dunia ini mempermainkanku. Luluh lantak hatiku. Tak terurai rasa
dalam kata-kata. Separuh kebahagiaan yang menempati hatiku perlahan mulai
terusir waktu. Kuncup bunga yang nyaris mekar di taman hatiku kini mulai layu.
Tega sekali dia pergi tanpa memberi alasan yang jelas setelah persiapan
pernikahan kami separuh kelar. Kenapa tidak sejak dulu dia memberitahukan
keberangkatannya?
Saat itu mungkin tidak ada
wanita malang yang mendapatkan cobaan seberat yang aku rasakan. Semua harapan
yang sudah kususun rapi untuk hidup bersama suami yang aku cintai luntur seiring
waktu yang menusuk tajam. Sungguh aku tak tega memberitahukan kabar ini pada
orangtua dan semua kerabatku yang masih menelan madu kebahagiaan. Biarlah waktu
yang akan menyingkapnya.
Setelah semua harapan
dijatuhkan oleh calon suamiku sendiri, aku memilih untuk merantau ke kota. Mencari
kesibukan dan menghibur diri dari kepenatan-kepenatan yang meradang. Di kota,
aku memulai hidup baru dengan pekerjaan baru yang aku miliki. Seiring berjalannya waktu, ditambah kesibukanku
yang mulai padat, kenangan tentang Mas Ihsan perlahan hilang ditelan waktu. Di
sanalah aku bertemu dengan Elhan, lelaki berdarah biru itu.
Aku mulai merasakan
kebahagian bersama Fatih El-Hanin sekitar enam bulan lamanya. Waktu yang bisa
dibilang sebentar, namun cukup mampu membuatku yakin bahwa lelaki itulah yang
selama ini aku cari untuk menjadi imam dan ayah dari anak-anakku. Sebagaimana
lelaki berdarah biru pada umumnya, dia adalah seorang yang Hafidzun, Alimun,
Qawiyyun, Azizun. Aku tahu dia hafidzun, karena dia senantiasa
menjaga hubungannya dengan baik pada Allah dan sesama manusia. Dia alimun, cukup
berilmu dan berwawasan luas sehingga kerap menjadi orang penting yang
dibutuhkan masyarakat. Dia qawiyyun, meski secara fisik kurang kuat,
namun pendirian dan prinsipnya amat teguh. Dan dia azizun, Elhan memiliki
karakter yang simpatik dan karismatik. Lalu siapa yang tak merasa beruntung
mendapatkan suami seperti dia?
Elhan memberikan
kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan dari Mas Ihsan. Aku
seperti menjadi perempuan yang seutuhnya ketika Elhan selalu meyakinkan bahwa
aku perempuan yang memiliki segalanya meski kenyataannya aku hanyalah perempuan
sederhana. Perhatiannya dan rasa sayangnya yang begitu mendalam mengikat erat
hatiku untuk tidak beranjak sedikitpun dari ruang hatinya yang lapang. Di mataku,
saat itu dunia berubah sangat terang dan penuh sinar.
Waktu enam bulan, bagi
Elhan, adalah waktu yang cukup untuk mempersuntingku. Aku pun semakin yakin
bahwa dia lah pemilik tulang rusuk ini. Aku tak bisa membayangkan, betapa
bahagianya hidup dengan lelaki yang sesuai dengan apa yang kuimpi-impikan. Elhan
segera menyampaikan keinginan untuk mempersunting perempuan sederhana pada
keluarganya. Mengingat, usia kami sudah bisa dibilang cukup matang untuk
membina biduk rumah tangga. Di waktu ia berusaha mengetuk pintu hati
orangtuanya untuk menerimaku, aku pun tak berhenti meminta petunjuk dan
berharap padaNya agar jalan kami selalu dimudahkan.
Siang itu, Elhan datang ke
kontrakanku untuk memberitahu jawaban orangtuanya.
“Najma….”
“Ya?”
“Beritahu aku bagaimana
cara memulai cerita ini,” katanya penuh harap. Wajahnya pucat. Suasana tampak
pekat. Aku sudah menduga bahwa kabar yang sebentar lagi akan kudengar pasti memasung
harapanku.
“Katakan saja. Apa pun
jawaban itu.” Aku mencoba meyakinkan meski nyatanya sampai kapanpun aku tak
akan pernah siap mendengarnya.
“Orangtuaku… orangtuaku…
akan mempersunting adik sepupuku satu
minggu lagi. Ternyata, pamanku sudah sejak dulu menyampaikan pada orangtuaku
tentang keinginannya untuk mempersatukan kami. Namun, saat itu kami masih
sama-sama anak kecil. Dalam keluargaku, penyatuan antarkeluarga sangatlah
kental. Orangtua sulit menerima keluarga di luar keluarganya sendiri. Aku tak
pernah diberitahu mengenai hal ini. Meski begitu, aku mohon, beri aku waktu
untuk memperjuangkan hubungan kita.”
Aku tertunduk lesu. Tidak
ada restu dari orangtuanya. Bagaimana mungkin kami akan menikah tanpa restu
orangtua? Mereka sangat berharap Elhan bisa menerima sepupunya. Satu minggu
lagi. Ya, satu minggu lagi. Bagaimana mana mungkin aku tega menjatuhkan harapan
orangtuanya? Sementara aku sadar, aku perempuan sederhana yang tidak ada
apa-apanya dibanding perempuan itu. Aku sadar keluargaku hanyalah keluarga yang
apa adanya. Allah… lagi-lagi aku jatuh untuk yang kedua kali.
Dalam situasi dilematik
itulah, lelaki yang pernah menyakitiku sekaligus mempermalukan keluargaku tiba-tiba
muncul di hadapanku. Ia kembali menawarkan mimpi yang dulu pernah ia hempaskan
sendiri. Ia meminta hatiku kembali setelah setengah mati aku berusaha
mengenyahkannya. Dan tanpa sepengetahuanku, ia juga menyatakan keinginan
menikahiku pada orangtua di kampung.
Setelah cukup lama aku berbincang
dengan orangtua, aku sudah bisa mengambil keputusan terbaik untuk menerima
lelaki itu kembali. Jangan tanya kenapa. Ini semua aku lakukan demi orangtuaku.
Mereka ingin segera melihat anaknya menikah. Mengingat usiaku yang sudah
menginjak usia 37 tahun. “Nak, semua keputusan ada di tanganmu. Bapak Ibu tidak
akan memaksamu. Tapi kami sangat berharap kamu bisa mempertimbangkan harapan
orangtuamu. Jika kamu menerimanya, segera pulanglah. Kami tetap menantimu di
sini.”
Dan beginilah akhirnya
jalan hidupku, menjadi istri sah Ihsan al-Faruqi. Sempat dulu aku menyalahkan
Tuhan, kenapa Dia tidak memenuhi harapanku untuk meneguk kebahagiaan bersama
Elhan. Tetapi ternyata, saat aku terlalu berharap sosok Fatih El-Hanin menjadi
suamiku, aku lupa melihat diriku sendiri bahwa aku perempuan yang jauh dari
sempurna. Bukan, bukan maksudku untuk mengatakan suamiku saat ini jauh dari
sempurna seperti halnya diriku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa Tuhan pasti
akan memberikan jodoh yang terbaik untuk kita. Siapapun dia. Tuhan tidak akan
pernah salah memberi pasangan pada setiap hamba-hambaNya. Ihsan al-Faruqi adalah
lelaki yang diutus Tuhan untuk menemani hidupku.
Mas Ihsan tahu bahwa sampai
sekarang aku masih mengingat luka tiga tahun yang lalu. Saat ia sudah merasa
menebus kesalahannya, saat ia sudah merasa telah mengangkat kembali harga diri
keluargaku, ia tidak pernah tahu bahwa aku menangis bukan hanya karena luka
itu. Aku menangis karena separuh hatiku hilang, setengah asaku terbang. Aku
menangis ketika aku tak mampu membayar hutang perjuangan pada dia yang aku sayang.
Namun, satu hal yang harus
aku sadari saat ini bahwa masa laluku hanyalah impian dan suamiku saat ini
adalah kenyataan. Kenyataan yang ada di hadapanku
inilah yang harus aku hadapi dan patut disyukuri. Ternyata, aku baru tahu, Mas
Ihsan tidak seperti yang aku kira sebelumnya. Rasa sayang dan perhatiannya yang
lebih padaku semakin tampak ketika aku menjadi istrinya. Mendung akhirnya
menjelma hujan yang menyegarkan hatiku yang gersang ketika aku melapangkan hati
untuk menerimanya.
“Sayang, masuklah! Waktu
semakin larut malam.”
“Oh… iya, Mas.”
Aku bangkit dari renungan
panjang.
Lenteng Barat, 13
Desember 2013