Halaman

Sabtu, 14 Desember 2013

Bosan



Ketika bosan mulai menyerang, apa yang akan Anda lakukan? Jawabannya tentu bermacam-macam. Mungkin ada yang akan menjawab begini; jalan-jalan, ngumpul bersama teman, mendengarkan musik, shopping, menonton TV, facebook-an, teleponan, masak, menulis, membaca buku, dan masih banyak lagi jawaban lainnya. Rasa bosan memang sering menghinggapi siapa saja dan kapan saja. Tidak tahu waktu. Ketika bosan itu mulai datang, maka tentunya kita akan berusaha menghilangkannya dengan cara bagaimanapun. Karena bosan itu rasanya tidak enak. Menusuk-nusuk perasaan. 

Pekerjaan, aktivitas, dan rutinitas yang kita jalani setiap hari tak jarang mengundang rasa bosan. Bahkan tidak punya aktivitas pun bisa jadi akan menjadi pemicu bosan. Ternyata, bosan itu hadir dalam keadaan bagaimanapun saja, tidak tentu karena kesibukan (semoga kita tidak bosan dengan rutinitas matahari yang terbit dari timur). 

Bosan memang perasaan yang kerap mengganggu dan membikin tak enak perasaan. Ia datang mengganggu pikiran manusia. Semua pekerjaan bisa jadi tidak selesai sesuai rencana gara-gara bosan. Dalam hubungan persahabatan, kekeluargaan, dan hubungan-hubungan lainnya juga bisa berakhir tidak baik gara-gara bosan. Kalau rasa bosan terus dibiarkan, pada tahapan selanjutnya bisa mengakibatkan pikiran stress dan depresi. Bosan benar-benar membawa petaka. 

Pertanyaannya sekarang, kenapa ada perasaan bosan? Saya yakin Anda akan sepakat dengan jawaban saya, karena bosan itu adalah manusiawi. Dalam kitab Minahus Saniyah, buah tangan Imam al-Ghazali, disebutkan bahwa bosan adalah fitrah manusia. Maka dari itu, Allah sengaja menciptakan hiburan dan kesenangan-kesenangan sebagai antisipasi menghilangkan rasa bosan itu. 

Bosan itulah yang kerap kali menghinggapi diri saya belakangan ini. Ia tak jemu menemani hari-hari saya. Kadang saya bosan menjalani aktivitas saya sebagai tenaga pengajar dan kadang saya juga bosan dengan kekosongan aktivitas. Bagi saya, bosan tak ubahnya dengan penyakit akut semacam serangan jantung, stroke, ginjal, dan penyakit berbahaya lainnya. Ia bisa saja mematikan kreativitas-kreativitas saya. Bagaimana tidak, ketika saya akan mengoptimalkan potensi diri atau melakukan aktivitas untuk mengembangkan diri kadang saya merasa bosan. Benar-benar mengganggu, bukan? 

Ketika bosan ini datang di waktu senggang, maka salah satu cara yang bisa saya lakukan adalah melakukan kegiatan yang saya minati. Dengan cara begitulah, kebosanan yang sering kali mendera saya bisa sedikit sirna. Pagi hari, misalnya, saya mencoba menghirup udara di luar rumah sambil menikmati terbitnya matahari di sawah. Atau kalau tidak, saya mengajak sahabat saya untuk bermain badminton agar peluh bisa keluar dari tubuh. Memang terkesan biasa-biasa saja, tapi kadang hal kecil dan biasa itulah yang bisa menghibur pikiran dan hati saya. Setelah jalan-jalan pagi atau bermain badminton pikiran saya bisa sedikit lebih segar dan cemerlang, sehingga siap memulai aktivitas harian. Benar sekali kata Ali bin Abi Thalib, hati dan pikiran manusia butuh hiburan. 

Ketika lama saya renungkan, ternyata bosan akan cepat datang ketika kita tidak menikmati dan mencintai aktifitas yang kita lakukan. Saya sering mengeluh dan jenuh ketika mengajar di sekolah bilamana saya tidak menikmati dan mencintai aktifitas tersebut. Yang terbayang di benak saya ketika itu adalah saya hanya akan berceramah di depan kelas dan murid-murid hanya mendengarkan. Namun, akan berbeda ceritanya ketika saya menikmati aktivitas mengajar bersama murid-murid tercinta. Saya bisa memunculkan inovasi-inovasi baru untuk membuat suasana belajar tampak lebih menyenangkan. Di sana, saya akan menemukan keceriaan, lebih enjoy, dan lebih dekat dengan jiwa anak didik saya. 

Yang tak kalah penting untuk mengusir rasa bosan adalah bersyukur dengan apa yang kita miliki. Nah, cara ini mungkin lebih ampuh dari cara-cara yang disebut sebelumnya. Ini bukan cara yang utopis lho. Dengan mensyukuri nikmat berarti kita telah berusaha menerima apa pun yang ada di hadapan mata, baik itu posisi yang sangat nyaman ataupun keadaan yang tidak nyaman sekalipun. Benar saja jika cara seperti ini bisa menyempitkan keluhan-keluhan dan perasaan merasa kurang yang sering hinggap di pikiran. 

Saya tahu kalau rasa bosan yang menusuk-nusuk perasaan ini tidak segera dilenyapkan, hari-hari yang saya lalui akan terasa hambar dan tidak akan mendatangkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Waktu saya tentu akan terbuang sia-sia. Maka dari itulah, saya mengambil laptop, berpikir, dan menuliskan apa yang saya rasakan sekarang. Setidaknya, hal itu bisa memelihara keistiqamahan saya untuk menulis, meski tulisan ini abal-abal dan terhidang ala kadarnya. Yang penting saat ini saya terhindar dari perasaan bosan dan tetap bisa menulis.


Lenteng Barat, 14 Desember 2013

Mendung di Momen Bersejarah


Menjadi pengantin dan bersanding dengan orang yang kita cintai di  pelaminan adalah impian setiap orang. Memakai pakaian anggun, ditambah untaian melati dan juga minyak wangi. Lalu mendapatkan ucapan selamat dari kerabat dan orang-orang terdekat.  Kado-kado bertumpuk sebagai kenang-kenangan dan dibuka bersama suami. Ah, betapa indahnya! Begitulah yang sering aku bayangkan tentang hari persandingan. Lalu kapan lagi akan dimanja, dilayani, dirias bak permaisuri, dan semua kebutuhan dipenuhi kalau bukan di hari pernikahan? Rasanya tak sabar menghadapi hari yang ditunggu-tunggu itu.
Beberapa minggu, aku sudah persiapkan jiwa raga menyambut hari bersejarah itu. Hari yang akan mengubah kehidupanku selanjutnya. Aku sadar, menyandang status istri akan jauh berbeda dengan saat di mana aku masih menjadi gadis. Hak dan kewajibanku akan berubah dengan sendirinya, karena aku tidak lagi hidup sendiri, melainkan berdua. Maka sudah sepantasnya aku mempersiapkan mental dan segalanya jauh-jauh hari sebelum momen itu benar-benar datang.  

Saudara-saudaraku menggandeng tanganku dan mengarakku ke masjid menuju penghulu. Hari ini adalah hari di mana aku akan dinikahkan. Terlihat orangtuaku bangga melihat anaknya yang sudah didandani cantik dengan melati harum yang melilit tubuhnya. Wajah mereka tampak bersinar seperti sudah menelan rembulan dan sinarnya pecah ke segala arah. Sudah lama orangtuaku menginginkan aku segera bersanding dengan sosok pangeran di pelaminan. Dan keinginan itu sudah terjawab saat ini. 

Pernikahan ini merupakan pilihanku sendiri. Pilihan yang dijatuhkan karena desakan keadaan. Lelaki yang sebentar lagi akan sah menjadi suamiku tampak gugup di sampingku. Keringat dingin perlahan bercucuran dari keningnya. Beberapa detik lagi ia akan mengucapkan perjanjian agung yang mendebarkan. Jantungku semakin berdegup kencang. Benar sekali kata orang, pernikahan adalah momen yang begitu sakral. 

Kekhawatiran hati tidak bisa lagi aku kendalikan. Kekhawatiran yang pada umumnya dirasakan oleh calon istri. Bagaimana jika nanti calon suamiku tidak mampu mengucapkan qabul dengan fasih? Bagaimana nanti jika tidak sah? “Qabiltu nikahawa Najmatul Jannah Binti Abdullah bimahri aalatisshalaati haalan!” Calon suamiku mengatakannya dengan lancar. “Bagaimana? Sah?” “Saaah…” “Alhamdulillah….” Aku mulai lemas. Inilah yang disebut dengan mitsaqan ghalidzan, perjanjian sekuat perjanjian Nabi. Kuatkan hamba, Rabbiii…

Ibuku. Ia tampak cantik sekali hari ini. Dengan kebaya berwarna cokelat yang dikenakannya, ia terlihat begitu anggun. Dari kejauhan aku melihatnya tersenyum sumringah sembari menyalami tamu-tamu yang datang. Inilah mungkin momen yang ibu tunggu-tunggu sejak dulu. Sesekali ia melihatku dan melemparkan senyum kepadaku, isyarat bahwa aku harus bahagia dengan anugerah besar ini. Aku bangga sekali memiliki ibu semulia dia. I love you, Mom. 

Sementara Ayah, ia tak kalah tampannya dengan calon suamiku. Lelaki yang setiap harinya bekerja di sawah itu, disulap tampan seperti masa mudanya dulu. Ayah menghampiriku, mengusap kepalaku berkali-kali dengan senyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ya, aku tahu, ia ingin menguatkanku. Kebahagiaan benar-benar terpancar dari aura wajah kedua orangtuaku. Aku adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Satu-satunya anak perempuan. Aku-lah anak yang paling dimanja dan disayang, meski bukan dengan harta. 

Lalu bagaimana dengan perasaanku saat ini? Dunia mendadak kelabu di mataku. Seperti aku melihat cahaya, dan sebentar cahaya itu hilang ditelan kegelapan. Remang-remang. Kadang bahagia datang, dan tak lama setelah itu gundah menghadang. Setidaknya begitulah yang aku rasakan sekarang. Ucapan selamat dari sahabat-sahabatku, senyuman dari orang-orang yang aku cintai, dan bunga-bunga yang menghias penjuru kamarku tak mampu menghibur hatiku yang sedari tadi bergelombang kencang. Ada apa ini? Astaghfirullahal ‘adzim… buanglah jauh-jauh keraguan ini, Rabbi!

Aku berusaha meredam gejolak batin ini dengan keyakinan bahwa aku pasti hidup bahagia dengan suamiku. Aku buang asa yang telah aku kubur lima hari yang lalu. Namun, aku tak berdaya. Malah aku semakin dikejar-kejar perasaan bersalah yang tak berkesudahan. “Pergilah, kawan! Jangan ganggu aku dengan bayangmu. Berikan aku waktu sebentar saja untuk meneguk kebahagiaan ini. Pergilah bersama mimpimu, dan jangan pernah kembali lagi. Jalan hidup kita berbeda. Kita harus menjalani hidup kita masing-masing.”

Namun, bayangan itu semakin kuat. Ia tak jera menghantui pikiranku. Setiap kali mata ini memandang, di situlah bayangan itu datang. Memandangku dengan sorot mata tajam dan penuh penyesalan. Aku semakin bingung tak karuan. Seolah ia ingin mengatakan, “Kau tega sekali, Najma. Kau khianati cintaku. Di saat aku berusaha membujuk orangtuaku, kau malah menghancurkan impian kita dengan pernikahanmu ini. Tidakkah kau pedulikan perasaanku? Puaskah engkau sekarang?”.

Kata-kata itu seolah mendengung di telingaku. Ingin sekali aku berlari dan menjelaskan semuanya kepadanya. Tapi, ah… sudahlah! Mungkin takdirlah yang memintaku begini. Bagiku, sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup bersamanya. Orangtuanya melarang keras aku menjadi istrinya dengan satu alasan bahwa aku bukan keturunan darah biru. Sementara lelaki itu akan ditunangkan dengan kerabatnya sendiri yang juga keturunan darah biru. Ini masalah kelas sosial. Aku hanyalah perempuan biasa keturunan dari keluarga sederhana. Aku harus tahu diri. Dan pilihan yang menyakitkan ini mungkin akan mengantarkannya pada kebahagiaan di masa mendatang. Tak apalah untuk saat ini kita sama-sama terluka. Tapi aku yakin, ini adalah pilihan tepat yang akan berbuah manis. Suatu saat nanti. 

Para tamu dan kerabat mulai pulang satu persatu. Hari pun semakin beranjak malam. Aku ingin menenangkan hati dan pikiran dengan cara menghadapNya. Aku menangis dan mengadu pada yang Maha Kuasa tentang apa yang mendera hatiku saat ini. Aku meminta petunjuknya agar Dia memberi kebahagiaan padaku dan suamiku saat ini dan seterusnya. Aku ingin menjadi istri yang shalihah untuknya. Air mata ini sudah terkuras habis sejak tadi. 

Suamiku? Mana suamiku? Ternyata dia masih berbincang santai dengan orangtuaku di luar. Entah apa yang mereka bicarakan. Beberapa menit kemudian dia masuk kamar. Deg, jantungku mulai berdegub tak karuan. Aku sengaja menyibukkan diri dengan membaca buku, tanpa melihatnya, tanpa menyapanya. Ia rebahkan tubuhnya di sampingku. Satu menit, tiga menit, lima menit, masih belum ada percakapan. Kami sama-sama terdiam. Malam pertama yang kata banyak orang begitu berkesan, tampaknya tidak berlaku pada kami sekarang. 

Ia mulai bangkit. Menatapku dan menyentuh pipiku dengan mesra. Aku segera berpaling ketika ia mulai menciumku. “Maafkan aku, Mas. Aku belum siap kau sentuh,” bisik hatiku pilu. Mungkin ia paham, bahwa malam ini aku butuh ketenangan. Ia tampak kecewa dan memilih untuk tidur. 

Ah, malam pertama harus kami lewatkan dengan sendu. Suamiku memilih untuk tidur di bawah dan meninggalkanku sendiri di ranjang. Hingga pagi tiba, aku terbangun. Kulihat suamiku duduk di serambi menatap fajar. Ia harus menanggung duka di saat ia seharusnya bahagia bersama istrinya. “Maafkan aku, Mas. Aku akan berusaha mencintaimu dan membahagiakanmu. Aku akan berusaha menjadi istri yang terbaik untukmu,” batinku. Aku terus menepis masa lalu dan menatap masa depan. Sekarang aku sudah sah menjadi istri Ihsan al-Faruqi. Kewajiban sebagai seorang istri harus aku jalani mulai hari ini. Aku melangkah menghampirinya, “Ini kopinya, Mas”. Ia hanya tersenyum menatapku.

Aku menarik napas panjang mengingat semua kejutan-kejutan tak terduga dalam hidup yang aku jalani sekarang. Mungkin ada yang mengatakan adalah hal bodoh ketika aku harus memilih lelaki yang menjadi suamiku saat ini. 

Ihsan al-Faruqi adalah masa laluku sebelum lelaki berdarah biru itu. Dia adalah tunanganku tiga tahun yang lalu. Kami bertunangan sekitar sepuluh tahun lamanya, sejak aku masih mengenyam pendidikan SMA. Rentang waktu bertunangan yang begitu lama tidak menjamin untuk tetap bertahan sampai ke pelaminan. 

Setelah pendidikan S1 selesai, aku pulang ke kampung halaman untuk dinikahkan. Sepanjang perjalan menuju Pulau Madura, tak ada yang bisa aku lakukan kecuali bersyukur dengan nikmat yang tak henti Tuhan limpahkan kepadaku. Setelah diwisuda oleh lembaga pendidikan, dua hari lagi aku akan diwisuda menjadi istri lelaki yang aku cintai. Bukankah itu sebuah kejutan yang tak boleh disia-siakan? 

Orangtua dan semua kerabat sudah mempersiapkan segalanya untuk meyambut hari pernikahanku yang semakin di depan mata. Orangtuaku mengurusi jamuan yang akan disuguhkan pada tamu dan undangan. Kakak-kakakku mengurusi bagian dekorasi dan bunga-bunga. Sementara aku sendiri mengurusi bagian undangan. 

Namun kabar yang tak diduga datang tiba-tiba seolah menghantam kepala dan merobek jiwaku. “Apa? Mas Ihsan pergi ke luar negeri?” hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari mulutku setelah membaca email yang Mas Ihsan kirimkan beberapa jam yang lalu. Terlalu kejam rasanya dunia ini mempermainkanku. Luluh lantak hatiku. Tak terurai rasa dalam kata-kata. Separuh kebahagiaan yang menempati hatiku perlahan mulai terusir waktu. Kuncup bunga yang nyaris mekar di taman hatiku kini mulai layu. Tega sekali dia pergi tanpa memberi alasan yang jelas setelah persiapan pernikahan kami separuh kelar. Kenapa tidak sejak dulu dia memberitahukan keberangkatannya?  

Saat itu mungkin tidak ada wanita malang yang mendapatkan cobaan seberat yang aku rasakan. Semua harapan yang sudah kususun rapi untuk hidup bersama suami yang aku cintai luntur seiring waktu yang menusuk tajam. Sungguh aku tak tega memberitahukan kabar ini pada orangtua dan semua kerabatku yang masih menelan madu kebahagiaan. Biarlah waktu yang akan menyingkapnya. 

Setelah semua harapan dijatuhkan oleh calon suamiku sendiri, aku memilih untuk merantau ke kota. Mencari kesibukan dan menghibur diri dari kepenatan-kepenatan yang meradang. Di kota, aku memulai hidup baru dengan pekerjaan baru yang aku miliki.  Seiring berjalannya waktu, ditambah kesibukanku yang mulai padat, kenangan tentang Mas Ihsan perlahan hilang ditelan waktu. Di sanalah aku bertemu dengan Elhan, lelaki berdarah biru itu. 

Aku mulai merasakan kebahagian bersama Fatih El-Hanin sekitar enam bulan lamanya. Waktu yang bisa dibilang sebentar, namun cukup mampu membuatku yakin bahwa lelaki itulah yang selama ini aku cari untuk menjadi imam dan ayah dari anak-anakku. Sebagaimana lelaki berdarah biru pada umumnya, dia adalah seorang yang Hafidzun, Alimun, Qawiyyun, Azizun. Aku tahu dia hafidzun, karena dia senantiasa menjaga hubungannya dengan baik pada Allah dan sesama manusia. Dia alimun, cukup berilmu dan berwawasan luas sehingga kerap menjadi orang penting yang dibutuhkan masyarakat. Dia qawiyyun, meski secara fisik kurang kuat, namun pendirian dan prinsipnya amat teguh. Dan dia azizun, Elhan memiliki karakter yang simpatik dan karismatik. Lalu siapa yang tak merasa beruntung mendapatkan suami seperti dia?

Elhan memberikan kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan dari Mas Ihsan. Aku seperti menjadi perempuan yang seutuhnya ketika Elhan selalu meyakinkan bahwa aku perempuan yang memiliki segalanya meski kenyataannya aku hanyalah perempuan sederhana. Perhatiannya dan rasa sayangnya yang begitu mendalam mengikat erat hatiku untuk tidak beranjak sedikitpun dari ruang hatinya yang lapang. Di mataku, saat itu dunia berubah sangat terang dan penuh sinar. 

Waktu enam bulan, bagi Elhan, adalah waktu yang cukup untuk mempersuntingku. Aku pun semakin yakin bahwa dia lah pemilik tulang rusuk ini. Aku tak bisa membayangkan, betapa bahagianya hidup dengan lelaki yang sesuai dengan apa yang kuimpi-impikan. Elhan segera menyampaikan keinginan untuk mempersunting perempuan sederhana pada keluarganya. Mengingat, usia kami sudah bisa dibilang cukup matang untuk membina biduk rumah tangga. Di waktu ia berusaha mengetuk pintu hati orangtuanya untuk menerimaku, aku pun tak berhenti meminta petunjuk dan berharap padaNya agar jalan kami selalu dimudahkan. 

Siang itu, Elhan datang ke kontrakanku untuk memberitahu jawaban orangtuanya.
“Najma….”
“Ya?”
“Beritahu aku bagaimana cara memulai cerita ini,” katanya penuh harap. Wajahnya pucat. Suasana tampak pekat. Aku sudah menduga bahwa kabar yang sebentar lagi akan kudengar pasti memasung harapanku.
“Katakan saja. Apa pun jawaban itu.” Aku mencoba meyakinkan meski nyatanya sampai kapanpun aku tak akan pernah siap mendengarnya.
“Orangtuaku… orangtuaku… akan mempersunting adik sepupuku satu  minggu lagi. Ternyata, pamanku sudah sejak dulu menyampaikan pada orangtuaku tentang keinginannya untuk mempersatukan kami. Namun, saat itu kami masih sama-sama anak kecil. Dalam keluargaku, penyatuan antarkeluarga sangatlah kental. Orangtua sulit menerima keluarga di luar keluarganya sendiri. Aku tak pernah diberitahu mengenai hal ini. Meski begitu, aku mohon, beri aku waktu untuk memperjuangkan hubungan kita.” 

Aku tertunduk lesu. Tidak ada restu dari orangtuanya. Bagaimana mungkin kami akan menikah tanpa restu orangtua? Mereka sangat berharap Elhan bisa menerima sepupunya. Satu minggu lagi. Ya, satu minggu lagi. Bagaimana mana mungkin aku tega menjatuhkan harapan orangtuanya? Sementara aku sadar, aku perempuan sederhana yang tidak ada apa-apanya dibanding perempuan itu. Aku sadar keluargaku hanyalah keluarga yang apa adanya. Allah… lagi-lagi aku jatuh untuk yang kedua kali. 

Dalam situasi dilematik itulah, lelaki yang pernah menyakitiku sekaligus mempermalukan keluargaku tiba-tiba muncul di hadapanku. Ia kembali menawarkan mimpi yang dulu pernah ia hempaskan sendiri. Ia meminta hatiku kembali setelah setengah mati aku berusaha mengenyahkannya. Dan tanpa sepengetahuanku, ia juga menyatakan keinginan menikahiku pada orangtua di kampung. 

Setelah cukup lama aku berbincang dengan orangtua, aku sudah bisa mengambil keputusan terbaik untuk menerima lelaki itu kembali. Jangan tanya kenapa. Ini semua aku lakukan demi orangtuaku. Mereka ingin segera melihat anaknya menikah. Mengingat usiaku yang sudah menginjak usia 37 tahun. “Nak, semua keputusan ada di tanganmu. Bapak Ibu tidak akan memaksamu. Tapi kami sangat berharap kamu bisa mempertimbangkan harapan orangtuamu. Jika kamu menerimanya, segera pulanglah. Kami tetap menantimu di sini.” 

Dan beginilah akhirnya jalan hidupku, menjadi istri sah Ihsan al-Faruqi. Sempat dulu aku menyalahkan Tuhan, kenapa Dia tidak memenuhi harapanku untuk meneguk kebahagiaan bersama Elhan. Tetapi ternyata, saat aku terlalu berharap sosok Fatih El-Hanin menjadi suamiku, aku lupa melihat diriku sendiri bahwa aku perempuan yang jauh dari sempurna. Bukan, bukan maksudku untuk mengatakan suamiku saat ini jauh dari sempurna seperti halnya diriku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa Tuhan pasti akan memberikan jodoh yang terbaik untuk kita. Siapapun dia. Tuhan tidak akan pernah salah memberi pasangan pada setiap hamba-hambaNya. Ihsan al-Faruqi adalah lelaki yang diutus Tuhan untuk menemani hidupku. 

Mas Ihsan tahu bahwa sampai sekarang aku masih mengingat luka tiga tahun yang lalu. Saat ia sudah merasa menebus kesalahannya, saat ia sudah merasa telah mengangkat kembali harga diri keluargaku, ia tidak pernah tahu bahwa aku menangis bukan hanya karena luka itu. Aku menangis karena separuh hatiku hilang, setengah asaku terbang. Aku menangis ketika aku tak mampu membayar hutang perjuangan pada dia yang aku sayang.
Namun, satu hal yang harus aku sadari saat ini bahwa masa laluku hanyalah impian dan suamiku saat ini adalah  kenyataan. Kenyataan yang ada di hadapanku inilah yang harus aku hadapi dan patut disyukuri. Ternyata, aku baru tahu, Mas Ihsan tidak seperti yang aku kira sebelumnya. Rasa sayang dan perhatiannya yang lebih padaku semakin tampak ketika aku menjadi istrinya. Mendung akhirnya menjelma hujan yang menyegarkan hatiku yang gersang ketika aku melapangkan hati untuk menerimanya. 

“Sayang, masuklah! Waktu semakin larut malam.”
“Oh… iya, Mas.”
Aku bangkit dari renungan panjang.

Lenteng Barat, 13 Desember 2013

Minggu, 03 November 2013

Menjadi Ibu Rumah Tangga itu Susah (?)



Berbicara soal ibu rumah tangga, sebenarnya saya tak tahu banyak. Maklum, saya masih belum berkeluarga. Keinginan menulis tentang tema ini berawal dari saran orang terdekat saya agar menulis tentang bayang-bayang menjadi ibu rumah tangga. Saya respon positif ide tersebut. Tampaknya menarik. Ada perasaan berbeda ketika saya membicarakan soal ibu rumah tangga. Mungkin karena saya perempuan dan sebentar lagi akan menjadi ibu rumah tangga. 

Perempuan yang belum berkeluarga seperti saya biasanya bertanya-tanya begini, susah gak sih menjadi ibu rumah tangga? Kalau melihat tugas-tugas domestik seorang istri, tampaknya menjadi istri itu sibuknya bukan main. Selain ngurus anak, juga harus ngurus suami. Mulai dari menyiapkan sarapan, mencuci, menanak, mengantarkan anak ke sekolah, mendidik anak, dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebut satu-satu. Ribet kan ya? Kalau urusan domestik saja sudah terlihat begitu sibuk, lalu bagaimana wanita karier membagi waktunya antara kesibukan dan keluarganya? 

Kelak, saya ingin menjadi wanita karier. Saya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat. Wanita karier yang saya maksud di sini adalah wanita yang dinamis, bergerak, bekerja, tidak hanya diam di rumah, dan bisa membagi ilmunya dengan orang lain. Melihat kesibukan urusan domestik, tampaknya saya harus berpikir beberapa kali lagi untuk menjadi wanita karier. Selain harus pintar membagi waktu, saya harus siap mendahulukan urusan domestik, karena urusan domestik adalah tugas yang harus diutamakan. Setelah urusan domestik kelar, saya boleh beraktifitas. 

Saya melihat jelas bagaimana sibuknya saudara saya mengurus urusan domestiknya. Bisa dibilang ia juga termasuk wanita karier. Setiap jam 07.00 pagi ia harus meninggalkan rumah untuk urusan pekerjaannya. Belum lagi ia harus menyiapkan sarapan dan mengurus anaknya untuk pergi ke sekolah. Untunglah, jika ada kesempatan, urusan domestik tersebut masih bisa dibantu saya dan ibu sehingga bebannya sedikit lebih ringan. Melihat kesibukannya, saya jadi berpikir kembali, bisakah saya menjadi wanita karier di saat menjadi ibu rumah tangga yang tugasnya sederet itu?

Setelah saya tanyakan pada beberapa teman yang sudah berkeluarga, bagaimana sih perasaannya menjadi ibu rumah tangga? Benarkah menyibukkan atau justru menyenangkan? Salah satu jawaban mereka begini, sebenarnya ribet tidaknya menjadi ibu rumah tangga bergantung pada suasana hati. Jika keadaan hati tidak enak dan tidak stabil, maka urusan domestik bisa terasa berat meski hanya persoalan sepele. Begitu juga sebaliknya, jika dilewati dengan perasaan yang stabil, santai, dan dengan emosi normal, maka semuanya menjadi mudah dan nyaman. 

Ya, saya sepakat dengan asumsi tersebut. Enak tidaknya menjadi ibu rumah tangga sangat bergantung pada bagaimana kita menyikapinya. Suasana hati kita yang akan menentukan hal tersebut. Menganggap semuanya mudah dan biasa-biasa saja, menjadikan urusan rumah tangga terasa menyenangkan.  Perasaan capek memang pasti ada. Namun, dari perasaan capek itulah istri akan merasakan ketentraman dan kenyamanan yang luar biasa ketika semuanya selesai dikerjakan. Rasa lelah yang berkelindan akan terobati ketika melihat senyum anak dan suami. 

Peran perempuan sebagai istri tentu tidak sekedar melayani saja. Lebih dari itu, istri adalah tempat berteduh bagi suami dari segala ragam kepenatan, seperti Aisyah yang selalu ada untuk Nabi di saat kejenuhan itu datang. Ia akan menjadi motivator bagi setiap langkah positif yang suami jalani, seperti Fatimah yang selalu mendukung Ali untuk membela Islam. Menjadi penguat hati bila suami mendapatkan musibah yang tak diharapkan, seperti Khadijah yang selalu menguatkan hati Nabi ketika aral melintang dalam masa-masa perjuangan menegakkan Islam. 

Menjadi istri itu tak cukup bermodalkan pintar dan berpengetahuan lho. Satu hal yang sangat penting dimiliki istri adalah kesabaran. Ya, sabar. Kemampuan mengelola hati dan perasaan itulah yang mampu membuat bangunan rumah tangga kokoh bertahan. Bisa dibayangkan, bagaimana sibuknya istri mengurusi tugas-tugas domestiknya. Belum lagi kalau ia memiliki anak. Satu anak mungkin tidak begitu sibuk diurusi. Bagaimana kalau dua, tiga, atau bahkan lebih? Betapa repotnya mengurusi mereka. Maka, memiliki kesabaran adalah harga mati bagi istri. Hehe…

Waktu di pesantren, saya pernah “diramal” oleh sahabat saya yang bisa dibilang sudah mukasyafah. Dia melihat telapak tangan saya. Setelah lama berpikir, ia berkata, “Ishbiri, Mbak”. Saya bertanya, “Kenapa, Neng?” “Bersabarlah nanti ketika berkeluarga,” jawabnya. Saya heran saja, kenapa tiba-tiba dia mengatakan seperti itu? Apa yang akan terjadi dalam rumah tangga saya nanti? Begitu pikir saya kala itu. Khawatir? Tentu saja ada. Namun, terlepas dari itu, tidak  diramal pun saya percaya, bahwa jalan dalam berumah tangga itu tak selamanya lurus. Ada tikungan, tanjakan, bebatuan, dan banyak lagi rintangan-rintangan lain yang menghadang. Dan untuk menghadapi semua itu tentu butuh kesabaran. Sabar dan terus bersabar.

Menjalani bahtera rumah tangga itu memang tak mudah. Beberapa orang (kebanyakan?) mengakui bahwa kehidupan keluarga kadang sulit dan susah. Menyatukan karakter antara laki-laki dan perempuan itulah salah satu kesulitannya. Laki-laki yang rasional dan perempuan yang temperamental biasanya akan sulit bertemu dalam satu muara. Apabila keduanya saling membenarkan pendapat masing-masing atau saling menonjolkan ego diri, bisa jadi akan berujung pada pertikaian. Maka tidak ada salahnya jika salah satunya mengalah, mencoba menjadi embun di saat suasananya “gerah”.

Terlebih lagi jika dihadapkan dengan persoalan ekonomi. Uang punya peran penting dalam keluarga. Bisa dilihat sendiri berapa banyak anggota keluarga yang bercerai gara-gara persoalan ekonomi. Keadaan ekonomi yang menghimpit biasanya memicu timbulnya pertengkaran antara suami-istri. Dalam hal ini, istri-lah yang kerap kali mempersoalkan keuangan keluarga. Saya tidak tahu pasti kenapa begitu, apakah itu memang tabi’at seorang istri atau karena istri yang banyak tahu tentang kebutuhan-kebutuhan keluarga sehingga ia harus memperhatikan keuangan? “Yang pasti, urusan uang, istri itu paling cerewet,” kata seorang teman. Untuk urusan seperti ini, saya pikir, suami-istri sebaiknya saling mengoreksi diri. Saling menerima kekurangan masing-masing. Pegang prinsip seperti ini saja, “Taka ada uang, tak masalah. Yang penting happy dan berkah.” Hidup kok dibikin susah? 

Saat ini saya hanya bisa berbicara. Mereka-reka seperti apa gambaran menjadi istri sekaligus ibu rumah tangga. Apa yang saya bicarakan di atas mungkin validitasnya masih dipertanyakan karena saya belum berpengalaman di bidang itu. Namun, komentar saya tersebut bukanlah tanpa referensi, saya berbicara berdasarkan pada fenomena sekitar yang saya lihat atau pengalaman teman saya yang sudah berkeluarga. Paling tidak, itu sudah cukup bagi saya untuk berani berbicara tentang tema ini. 


Lenteng Barat, 02 November 2013/ 11: 44 WIB

Sabtu, 26 Oktober 2013

Ternyata, Cerdas itu Tak Cukup



Sebagaimana orangtua pada umumnya, ayah-ibu saya menginginkan anaknya tumbuh menjadi anak yang  cerdas. Sejak kecil saya dididik menjadi pribadi yang suka membaca, menghapal, dan menulis materi-materi pelajaran. Bahkan, untuk meningkatkan prestasi saya, orangtua kerap kali mengiming-imingi saya hadiah jika saya bisa mendapatkan juara. Mungkin, mereka berpikir bahwa kesuksesan seseorang diukur dari setinggi apa kecerdasan dan kepintaran yang dimilikinya. Asumsi tersebut juga didukung oleh pemahaman masyarakat pada umumnya bahwa kesuksesan itu hanya bisa didapatkan orang yang pintar, cerdas, dan berpengetahuan.
Selama ini masyarakat Indonesia masih meyakini bahwa kecerdasan intelektual sangat menentukan terhadap kesuksesan seseorang. Karena itulah sistem pendidikan kita saat ini masih menekankan pada kurikulum yang memprioritaskan aspek kognitif. Wajar jika kemudian kebanyakan guru di negeri ini lebih memberikan pengetahuan daripada pendidikan terhadap anak didiknya. Bagi mereka, yang penting anak didik paham dan hapal, itu sudah cukup.
Benarkah demikian? Tampaknya saya harus berpikir seribu kali untuk membenarkan asumsi tersebut. Ada banyak alasan kenapa saya menolak pendapat bahwa kecerdasan intelektual harus menjadi prioritas. Memang, awalnya saya juga berpikir begitu, bahwa walau bagaimanapun kecerdasan intelektual harus menjadi prioritas yang diutamakan, karena sulit rasanya diterima akal, orang bodoh dapat mencapai kesuksesan. Begitulah persepsi saya awalnya. Untuk mencapai keinginan tersebut, maka saya harus sering-sering memberi asupan gizi pada otak untuk meningkatkan daya kecerdasannya.
Namun, tampaknya ada yang keliru dari pemahaman saya tersebut. Kesalahan itu terlihat ketika saya berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Saya melupakan kecerdasan emosional yang justru menjadi hal terpenting dalam membangun relasi dengan orang lain. Sebagai mahluk zoon politicon, tak ditampik bahwa kita saling membutuhkan satu sama lain. Kita butuh orang lain untuk bekerja sama, untuk berbagi cinta, untuk mendengarkan keluh kesah kita, yang muaranya adalah untuk mencipta kehidupan.
Kita tidak bisa mengenyampingkan orang lain dalam hal kesuksesan. Dalam artian, orang lain juga turut andil dalam menyukseskan impian-impian kita. Lihat saja orang yang tengah berbisnis. Pembisnis sangat memerlukan kecakapan berbicara ketika mempengaruhi konsumen  agar tertarik pada bisnis yang digelutinya. Saya percaya bahwa kesuksesan itu sangat ditentukan oleh sejauh mana kita bisa berinteraksi dengan orang lain. Bahkan ada pernyataan satir, orang yang tidak mengenyam pendidikan sekalipun bisa lebih sukses daripada orang yang menyandang banyak gelar. Alasannya, orang pintar kadang tidak memiliki kecakapan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sementara orang bodoh terkadang bisa melakukan hal sebaliknya.
Terlepas dari obrolan tentang kesuksesan sebagaimana di atas, orang yang loyal dan punya kemampuan berinteraksi yang baik ternyata lebih dicintai daripada orang yang sebaliknya. Biasanya, orang yang memiliki kecerdasan emosional lebih memiliki kepedulian terhadap sesamanya. Kepedulian tersebut akan menggerakkan hatinya untuk menolong orang lain. Ia bisa membuat hati orang lain senang dan merasa nyaman sehingga nantinya ia bisa dicintai.
Saya ingat waktu saya masih di pesantren.  Teman-teman saya bilang, saya tipe orang yang kurang peduli lingkungan dan terkesan cuek. Kata mereka, saya sibuk dengan dunia sendiri. Saya kerap kali ditegur ketika hanya sibuk membaca buku tanpa peduli apa yang sedang terjadi di sekeliling. Saya menyadari, itu adalah sebuah kekurangan, di mana saya malah sibuk mencerdaskan otak daripada meningkatkan kepedulian (kecerdasan emosional) yang justru lebih penting. Akibatnya, jika kepedulian kita kurang pada orang lain, orang lain pun juga akan bersikap kurang peduli pada kita. Orang bilang, “sikapmu akan menentukan sikap orang lain terhadapmu”.
Saya juga menyadari akan pentingnya kecerdasan emosional waktu saya kembali ke masyarakat. Masyarakat desa tentu akan memperhatikan tingkah laku dan tindakan kita sehari-hari. Dalam Ta’limul Muta’allim memang disebutkan bahwa Ilmul Hal (Madura: elmo tengka) sangat penting dipelajari. Hal itu dirasakan pentingnya ketika nanti bermasyarakat. Kadang saya merasa teori-teori “elitis” yang saya pelajari di bangku pendidikan tidak ada apa-apanya ketika sampai di masyarakat. Yang sangat diperlukan ketika bermasyarakat adalah kecerdasan emosional, kemampuan berinteraksi yang dapat mengantarkan kita pada kecintaan mereka.
Dalam bincang-bincang santai dengan tetangga, saya merasa malu ketika mereka mengatakan kalau mahasiswa saat ini hanya bisa berteori dan saling menunjukkan kemampuan berorasi. Tapi dalam hal tengka dan berafiliasi dengan masyarakat, bisa dibilang mereka masih kurang. Tak apalah saya tersinggung, toh, kenyataannya memang seperti itu.
Coba saja perhatikan bagaimana gaya bicara mahasiswa dalam sebuah forum atau dalam kelas kuliah. Sebagai mahasiswa, saya tahu betul tentang itu. Akan tetapi ketika terjun ke dunia yang “sebenarnya” di masyarakat, mereka malah merasakan ada sekat antara dirinya dan masyarakat. Ada tabir penghalang yang sepertinya menghalangi interaksi di antara mereka. Sekat ini boleh jadi disebabkan karena teori-teori yang selama ini dipelajari tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebab demikian, penilaian masyarakat terhadap mahasiswa menjadi “min” walaupun mereka memiliki kecerdasan yang luar biasa.
Namun bukan berarti saya menampik kalau kecerdasan intelektual itu juga penting. Hanya saja, jika kecerdasan intelektual tidak berjalan seiring dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain, maka cerdas otak itu tidak bernilai apa-apa. Hanya omong kosong belaka. Contoh konkritnya adalah pejabat-pejabat kita. Mereka memang pintar-pintar, cerdas-cerdas, dan punya banyak gelar. Tapi, kenapa mereka biasa bersinggungan dengan KPK? Kenapa mereka selalu dipandang sinis oleh rakyatnya? Kenapa mereka sering terjerat mafia hukum? Ya, kenapa? Kenapa? Nah, hal inilah yang mengindikasikan bahwa kecerdasan intelektual saja tak cukup. Ada kecerdasan lain yang mereka lupakan, yakni kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Saya kemudian berkesimpulan bahwa kecerdasan emosional itu lebih dibutuhkan daripada kecerdasan intelektual dalam kehidupan kita sehari-hari. Kesimpulan ini saya dapatkan ketika sudah sama-sama merasakan menjadi seorang pelajar dan bagian dari masyarakat.
Akhirnya saya katakan, catatan ini hanyalah buah kegelisahan saya terhadap pelajar yang hanya bisa berlomba-lomba menonjolkan kemampuan intelektual, namun di waktu yang bersamaan mereka malah melupakan kecerdasan-kecerdasan lain yang juga dinilai penting. Bisa juga, catatan ini dikatakan sebagai teguran dan peringatan untuk saya sendiri agar lebih memperhatikan kecerdasan emosional ketimbang kecerdasan intelektual, agar lebih peka dan peduli terhadap lingkungan masyarakat daripada menyibukkan diri untuk mencerdaskan otak dan abai sekitar.

Lenteng Barat, 22 Oktober 2013