Halaman

Sabtu, 14 Desember 2013

Bosan



Ketika bosan mulai menyerang, apa yang akan Anda lakukan? Jawabannya tentu bermacam-macam. Mungkin ada yang akan menjawab begini; jalan-jalan, ngumpul bersama teman, mendengarkan musik, shopping, menonton TV, facebook-an, teleponan, masak, menulis, membaca buku, dan masih banyak lagi jawaban lainnya. Rasa bosan memang sering menghinggapi siapa saja dan kapan saja. Tidak tahu waktu. Ketika bosan itu mulai datang, maka tentunya kita akan berusaha menghilangkannya dengan cara bagaimanapun. Karena bosan itu rasanya tidak enak. Menusuk-nusuk perasaan. 

Pekerjaan, aktivitas, dan rutinitas yang kita jalani setiap hari tak jarang mengundang rasa bosan. Bahkan tidak punya aktivitas pun bisa jadi akan menjadi pemicu bosan. Ternyata, bosan itu hadir dalam keadaan bagaimanapun saja, tidak tentu karena kesibukan (semoga kita tidak bosan dengan rutinitas matahari yang terbit dari timur). 

Bosan memang perasaan yang kerap mengganggu dan membikin tak enak perasaan. Ia datang mengganggu pikiran manusia. Semua pekerjaan bisa jadi tidak selesai sesuai rencana gara-gara bosan. Dalam hubungan persahabatan, kekeluargaan, dan hubungan-hubungan lainnya juga bisa berakhir tidak baik gara-gara bosan. Kalau rasa bosan terus dibiarkan, pada tahapan selanjutnya bisa mengakibatkan pikiran stress dan depresi. Bosan benar-benar membawa petaka. 

Pertanyaannya sekarang, kenapa ada perasaan bosan? Saya yakin Anda akan sepakat dengan jawaban saya, karena bosan itu adalah manusiawi. Dalam kitab Minahus Saniyah, buah tangan Imam al-Ghazali, disebutkan bahwa bosan adalah fitrah manusia. Maka dari itu, Allah sengaja menciptakan hiburan dan kesenangan-kesenangan sebagai antisipasi menghilangkan rasa bosan itu. 

Bosan itulah yang kerap kali menghinggapi diri saya belakangan ini. Ia tak jemu menemani hari-hari saya. Kadang saya bosan menjalani aktivitas saya sebagai tenaga pengajar dan kadang saya juga bosan dengan kekosongan aktivitas. Bagi saya, bosan tak ubahnya dengan penyakit akut semacam serangan jantung, stroke, ginjal, dan penyakit berbahaya lainnya. Ia bisa saja mematikan kreativitas-kreativitas saya. Bagaimana tidak, ketika saya akan mengoptimalkan potensi diri atau melakukan aktivitas untuk mengembangkan diri kadang saya merasa bosan. Benar-benar mengganggu, bukan? 

Ketika bosan ini datang di waktu senggang, maka salah satu cara yang bisa saya lakukan adalah melakukan kegiatan yang saya minati. Dengan cara begitulah, kebosanan yang sering kali mendera saya bisa sedikit sirna. Pagi hari, misalnya, saya mencoba menghirup udara di luar rumah sambil menikmati terbitnya matahari di sawah. Atau kalau tidak, saya mengajak sahabat saya untuk bermain badminton agar peluh bisa keluar dari tubuh. Memang terkesan biasa-biasa saja, tapi kadang hal kecil dan biasa itulah yang bisa menghibur pikiran dan hati saya. Setelah jalan-jalan pagi atau bermain badminton pikiran saya bisa sedikit lebih segar dan cemerlang, sehingga siap memulai aktivitas harian. Benar sekali kata Ali bin Abi Thalib, hati dan pikiran manusia butuh hiburan. 

Ketika lama saya renungkan, ternyata bosan akan cepat datang ketika kita tidak menikmati dan mencintai aktifitas yang kita lakukan. Saya sering mengeluh dan jenuh ketika mengajar di sekolah bilamana saya tidak menikmati dan mencintai aktifitas tersebut. Yang terbayang di benak saya ketika itu adalah saya hanya akan berceramah di depan kelas dan murid-murid hanya mendengarkan. Namun, akan berbeda ceritanya ketika saya menikmati aktivitas mengajar bersama murid-murid tercinta. Saya bisa memunculkan inovasi-inovasi baru untuk membuat suasana belajar tampak lebih menyenangkan. Di sana, saya akan menemukan keceriaan, lebih enjoy, dan lebih dekat dengan jiwa anak didik saya. 

Yang tak kalah penting untuk mengusir rasa bosan adalah bersyukur dengan apa yang kita miliki. Nah, cara ini mungkin lebih ampuh dari cara-cara yang disebut sebelumnya. Ini bukan cara yang utopis lho. Dengan mensyukuri nikmat berarti kita telah berusaha menerima apa pun yang ada di hadapan mata, baik itu posisi yang sangat nyaman ataupun keadaan yang tidak nyaman sekalipun. Benar saja jika cara seperti ini bisa menyempitkan keluhan-keluhan dan perasaan merasa kurang yang sering hinggap di pikiran. 

Saya tahu kalau rasa bosan yang menusuk-nusuk perasaan ini tidak segera dilenyapkan, hari-hari yang saya lalui akan terasa hambar dan tidak akan mendatangkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Waktu saya tentu akan terbuang sia-sia. Maka dari itulah, saya mengambil laptop, berpikir, dan menuliskan apa yang saya rasakan sekarang. Setidaknya, hal itu bisa memelihara keistiqamahan saya untuk menulis, meski tulisan ini abal-abal dan terhidang ala kadarnya. Yang penting saat ini saya terhindar dari perasaan bosan dan tetap bisa menulis.


Lenteng Barat, 14 Desember 2013

Mendung di Momen Bersejarah


Menjadi pengantin dan bersanding dengan orang yang kita cintai di  pelaminan adalah impian setiap orang. Memakai pakaian anggun, ditambah untaian melati dan juga minyak wangi. Lalu mendapatkan ucapan selamat dari kerabat dan orang-orang terdekat.  Kado-kado bertumpuk sebagai kenang-kenangan dan dibuka bersama suami. Ah, betapa indahnya! Begitulah yang sering aku bayangkan tentang hari persandingan. Lalu kapan lagi akan dimanja, dilayani, dirias bak permaisuri, dan semua kebutuhan dipenuhi kalau bukan di hari pernikahan? Rasanya tak sabar menghadapi hari yang ditunggu-tunggu itu.
Beberapa minggu, aku sudah persiapkan jiwa raga menyambut hari bersejarah itu. Hari yang akan mengubah kehidupanku selanjutnya. Aku sadar, menyandang status istri akan jauh berbeda dengan saat di mana aku masih menjadi gadis. Hak dan kewajibanku akan berubah dengan sendirinya, karena aku tidak lagi hidup sendiri, melainkan berdua. Maka sudah sepantasnya aku mempersiapkan mental dan segalanya jauh-jauh hari sebelum momen itu benar-benar datang.  

Saudara-saudaraku menggandeng tanganku dan mengarakku ke masjid menuju penghulu. Hari ini adalah hari di mana aku akan dinikahkan. Terlihat orangtuaku bangga melihat anaknya yang sudah didandani cantik dengan melati harum yang melilit tubuhnya. Wajah mereka tampak bersinar seperti sudah menelan rembulan dan sinarnya pecah ke segala arah. Sudah lama orangtuaku menginginkan aku segera bersanding dengan sosok pangeran di pelaminan. Dan keinginan itu sudah terjawab saat ini. 

Pernikahan ini merupakan pilihanku sendiri. Pilihan yang dijatuhkan karena desakan keadaan. Lelaki yang sebentar lagi akan sah menjadi suamiku tampak gugup di sampingku. Keringat dingin perlahan bercucuran dari keningnya. Beberapa detik lagi ia akan mengucapkan perjanjian agung yang mendebarkan. Jantungku semakin berdegup kencang. Benar sekali kata orang, pernikahan adalah momen yang begitu sakral. 

Kekhawatiran hati tidak bisa lagi aku kendalikan. Kekhawatiran yang pada umumnya dirasakan oleh calon istri. Bagaimana jika nanti calon suamiku tidak mampu mengucapkan qabul dengan fasih? Bagaimana nanti jika tidak sah? “Qabiltu nikahawa Najmatul Jannah Binti Abdullah bimahri aalatisshalaati haalan!” Calon suamiku mengatakannya dengan lancar. “Bagaimana? Sah?” “Saaah…” “Alhamdulillah….” Aku mulai lemas. Inilah yang disebut dengan mitsaqan ghalidzan, perjanjian sekuat perjanjian Nabi. Kuatkan hamba, Rabbiii…

Ibuku. Ia tampak cantik sekali hari ini. Dengan kebaya berwarna cokelat yang dikenakannya, ia terlihat begitu anggun. Dari kejauhan aku melihatnya tersenyum sumringah sembari menyalami tamu-tamu yang datang. Inilah mungkin momen yang ibu tunggu-tunggu sejak dulu. Sesekali ia melihatku dan melemparkan senyum kepadaku, isyarat bahwa aku harus bahagia dengan anugerah besar ini. Aku bangga sekali memiliki ibu semulia dia. I love you, Mom. 

Sementara Ayah, ia tak kalah tampannya dengan calon suamiku. Lelaki yang setiap harinya bekerja di sawah itu, disulap tampan seperti masa mudanya dulu. Ayah menghampiriku, mengusap kepalaku berkali-kali dengan senyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ya, aku tahu, ia ingin menguatkanku. Kebahagiaan benar-benar terpancar dari aura wajah kedua orangtuaku. Aku adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Satu-satunya anak perempuan. Aku-lah anak yang paling dimanja dan disayang, meski bukan dengan harta. 

Lalu bagaimana dengan perasaanku saat ini? Dunia mendadak kelabu di mataku. Seperti aku melihat cahaya, dan sebentar cahaya itu hilang ditelan kegelapan. Remang-remang. Kadang bahagia datang, dan tak lama setelah itu gundah menghadang. Setidaknya begitulah yang aku rasakan sekarang. Ucapan selamat dari sahabat-sahabatku, senyuman dari orang-orang yang aku cintai, dan bunga-bunga yang menghias penjuru kamarku tak mampu menghibur hatiku yang sedari tadi bergelombang kencang. Ada apa ini? Astaghfirullahal ‘adzim… buanglah jauh-jauh keraguan ini, Rabbi!

Aku berusaha meredam gejolak batin ini dengan keyakinan bahwa aku pasti hidup bahagia dengan suamiku. Aku buang asa yang telah aku kubur lima hari yang lalu. Namun, aku tak berdaya. Malah aku semakin dikejar-kejar perasaan bersalah yang tak berkesudahan. “Pergilah, kawan! Jangan ganggu aku dengan bayangmu. Berikan aku waktu sebentar saja untuk meneguk kebahagiaan ini. Pergilah bersama mimpimu, dan jangan pernah kembali lagi. Jalan hidup kita berbeda. Kita harus menjalani hidup kita masing-masing.”

Namun, bayangan itu semakin kuat. Ia tak jera menghantui pikiranku. Setiap kali mata ini memandang, di situlah bayangan itu datang. Memandangku dengan sorot mata tajam dan penuh penyesalan. Aku semakin bingung tak karuan. Seolah ia ingin mengatakan, “Kau tega sekali, Najma. Kau khianati cintaku. Di saat aku berusaha membujuk orangtuaku, kau malah menghancurkan impian kita dengan pernikahanmu ini. Tidakkah kau pedulikan perasaanku? Puaskah engkau sekarang?”.

Kata-kata itu seolah mendengung di telingaku. Ingin sekali aku berlari dan menjelaskan semuanya kepadanya. Tapi, ah… sudahlah! Mungkin takdirlah yang memintaku begini. Bagiku, sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup bersamanya. Orangtuanya melarang keras aku menjadi istrinya dengan satu alasan bahwa aku bukan keturunan darah biru. Sementara lelaki itu akan ditunangkan dengan kerabatnya sendiri yang juga keturunan darah biru. Ini masalah kelas sosial. Aku hanyalah perempuan biasa keturunan dari keluarga sederhana. Aku harus tahu diri. Dan pilihan yang menyakitkan ini mungkin akan mengantarkannya pada kebahagiaan di masa mendatang. Tak apalah untuk saat ini kita sama-sama terluka. Tapi aku yakin, ini adalah pilihan tepat yang akan berbuah manis. Suatu saat nanti. 

Para tamu dan kerabat mulai pulang satu persatu. Hari pun semakin beranjak malam. Aku ingin menenangkan hati dan pikiran dengan cara menghadapNya. Aku menangis dan mengadu pada yang Maha Kuasa tentang apa yang mendera hatiku saat ini. Aku meminta petunjuknya agar Dia memberi kebahagiaan padaku dan suamiku saat ini dan seterusnya. Aku ingin menjadi istri yang shalihah untuknya. Air mata ini sudah terkuras habis sejak tadi. 

Suamiku? Mana suamiku? Ternyata dia masih berbincang santai dengan orangtuaku di luar. Entah apa yang mereka bicarakan. Beberapa menit kemudian dia masuk kamar. Deg, jantungku mulai berdegub tak karuan. Aku sengaja menyibukkan diri dengan membaca buku, tanpa melihatnya, tanpa menyapanya. Ia rebahkan tubuhnya di sampingku. Satu menit, tiga menit, lima menit, masih belum ada percakapan. Kami sama-sama terdiam. Malam pertama yang kata banyak orang begitu berkesan, tampaknya tidak berlaku pada kami sekarang. 

Ia mulai bangkit. Menatapku dan menyentuh pipiku dengan mesra. Aku segera berpaling ketika ia mulai menciumku. “Maafkan aku, Mas. Aku belum siap kau sentuh,” bisik hatiku pilu. Mungkin ia paham, bahwa malam ini aku butuh ketenangan. Ia tampak kecewa dan memilih untuk tidur. 

Ah, malam pertama harus kami lewatkan dengan sendu. Suamiku memilih untuk tidur di bawah dan meninggalkanku sendiri di ranjang. Hingga pagi tiba, aku terbangun. Kulihat suamiku duduk di serambi menatap fajar. Ia harus menanggung duka di saat ia seharusnya bahagia bersama istrinya. “Maafkan aku, Mas. Aku akan berusaha mencintaimu dan membahagiakanmu. Aku akan berusaha menjadi istri yang terbaik untukmu,” batinku. Aku terus menepis masa lalu dan menatap masa depan. Sekarang aku sudah sah menjadi istri Ihsan al-Faruqi. Kewajiban sebagai seorang istri harus aku jalani mulai hari ini. Aku melangkah menghampirinya, “Ini kopinya, Mas”. Ia hanya tersenyum menatapku.

Aku menarik napas panjang mengingat semua kejutan-kejutan tak terduga dalam hidup yang aku jalani sekarang. Mungkin ada yang mengatakan adalah hal bodoh ketika aku harus memilih lelaki yang menjadi suamiku saat ini. 

Ihsan al-Faruqi adalah masa laluku sebelum lelaki berdarah biru itu. Dia adalah tunanganku tiga tahun yang lalu. Kami bertunangan sekitar sepuluh tahun lamanya, sejak aku masih mengenyam pendidikan SMA. Rentang waktu bertunangan yang begitu lama tidak menjamin untuk tetap bertahan sampai ke pelaminan. 

Setelah pendidikan S1 selesai, aku pulang ke kampung halaman untuk dinikahkan. Sepanjang perjalan menuju Pulau Madura, tak ada yang bisa aku lakukan kecuali bersyukur dengan nikmat yang tak henti Tuhan limpahkan kepadaku. Setelah diwisuda oleh lembaga pendidikan, dua hari lagi aku akan diwisuda menjadi istri lelaki yang aku cintai. Bukankah itu sebuah kejutan yang tak boleh disia-siakan? 

Orangtua dan semua kerabat sudah mempersiapkan segalanya untuk meyambut hari pernikahanku yang semakin di depan mata. Orangtuaku mengurusi jamuan yang akan disuguhkan pada tamu dan undangan. Kakak-kakakku mengurusi bagian dekorasi dan bunga-bunga. Sementara aku sendiri mengurusi bagian undangan. 

Namun kabar yang tak diduga datang tiba-tiba seolah menghantam kepala dan merobek jiwaku. “Apa? Mas Ihsan pergi ke luar negeri?” hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari mulutku setelah membaca email yang Mas Ihsan kirimkan beberapa jam yang lalu. Terlalu kejam rasanya dunia ini mempermainkanku. Luluh lantak hatiku. Tak terurai rasa dalam kata-kata. Separuh kebahagiaan yang menempati hatiku perlahan mulai terusir waktu. Kuncup bunga yang nyaris mekar di taman hatiku kini mulai layu. Tega sekali dia pergi tanpa memberi alasan yang jelas setelah persiapan pernikahan kami separuh kelar. Kenapa tidak sejak dulu dia memberitahukan keberangkatannya?  

Saat itu mungkin tidak ada wanita malang yang mendapatkan cobaan seberat yang aku rasakan. Semua harapan yang sudah kususun rapi untuk hidup bersama suami yang aku cintai luntur seiring waktu yang menusuk tajam. Sungguh aku tak tega memberitahukan kabar ini pada orangtua dan semua kerabatku yang masih menelan madu kebahagiaan. Biarlah waktu yang akan menyingkapnya. 

Setelah semua harapan dijatuhkan oleh calon suamiku sendiri, aku memilih untuk merantau ke kota. Mencari kesibukan dan menghibur diri dari kepenatan-kepenatan yang meradang. Di kota, aku memulai hidup baru dengan pekerjaan baru yang aku miliki.  Seiring berjalannya waktu, ditambah kesibukanku yang mulai padat, kenangan tentang Mas Ihsan perlahan hilang ditelan waktu. Di sanalah aku bertemu dengan Elhan, lelaki berdarah biru itu. 

Aku mulai merasakan kebahagian bersama Fatih El-Hanin sekitar enam bulan lamanya. Waktu yang bisa dibilang sebentar, namun cukup mampu membuatku yakin bahwa lelaki itulah yang selama ini aku cari untuk menjadi imam dan ayah dari anak-anakku. Sebagaimana lelaki berdarah biru pada umumnya, dia adalah seorang yang Hafidzun, Alimun, Qawiyyun, Azizun. Aku tahu dia hafidzun, karena dia senantiasa menjaga hubungannya dengan baik pada Allah dan sesama manusia. Dia alimun, cukup berilmu dan berwawasan luas sehingga kerap menjadi orang penting yang dibutuhkan masyarakat. Dia qawiyyun, meski secara fisik kurang kuat, namun pendirian dan prinsipnya amat teguh. Dan dia azizun, Elhan memiliki karakter yang simpatik dan karismatik. Lalu siapa yang tak merasa beruntung mendapatkan suami seperti dia?

Elhan memberikan kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan dari Mas Ihsan. Aku seperti menjadi perempuan yang seutuhnya ketika Elhan selalu meyakinkan bahwa aku perempuan yang memiliki segalanya meski kenyataannya aku hanyalah perempuan sederhana. Perhatiannya dan rasa sayangnya yang begitu mendalam mengikat erat hatiku untuk tidak beranjak sedikitpun dari ruang hatinya yang lapang. Di mataku, saat itu dunia berubah sangat terang dan penuh sinar. 

Waktu enam bulan, bagi Elhan, adalah waktu yang cukup untuk mempersuntingku. Aku pun semakin yakin bahwa dia lah pemilik tulang rusuk ini. Aku tak bisa membayangkan, betapa bahagianya hidup dengan lelaki yang sesuai dengan apa yang kuimpi-impikan. Elhan segera menyampaikan keinginan untuk mempersunting perempuan sederhana pada keluarganya. Mengingat, usia kami sudah bisa dibilang cukup matang untuk membina biduk rumah tangga. Di waktu ia berusaha mengetuk pintu hati orangtuanya untuk menerimaku, aku pun tak berhenti meminta petunjuk dan berharap padaNya agar jalan kami selalu dimudahkan. 

Siang itu, Elhan datang ke kontrakanku untuk memberitahu jawaban orangtuanya.
“Najma….”
“Ya?”
“Beritahu aku bagaimana cara memulai cerita ini,” katanya penuh harap. Wajahnya pucat. Suasana tampak pekat. Aku sudah menduga bahwa kabar yang sebentar lagi akan kudengar pasti memasung harapanku.
“Katakan saja. Apa pun jawaban itu.” Aku mencoba meyakinkan meski nyatanya sampai kapanpun aku tak akan pernah siap mendengarnya.
“Orangtuaku… orangtuaku… akan mempersunting adik sepupuku satu  minggu lagi. Ternyata, pamanku sudah sejak dulu menyampaikan pada orangtuaku tentang keinginannya untuk mempersatukan kami. Namun, saat itu kami masih sama-sama anak kecil. Dalam keluargaku, penyatuan antarkeluarga sangatlah kental. Orangtua sulit menerima keluarga di luar keluarganya sendiri. Aku tak pernah diberitahu mengenai hal ini. Meski begitu, aku mohon, beri aku waktu untuk memperjuangkan hubungan kita.” 

Aku tertunduk lesu. Tidak ada restu dari orangtuanya. Bagaimana mungkin kami akan menikah tanpa restu orangtua? Mereka sangat berharap Elhan bisa menerima sepupunya. Satu minggu lagi. Ya, satu minggu lagi. Bagaimana mana mungkin aku tega menjatuhkan harapan orangtuanya? Sementara aku sadar, aku perempuan sederhana yang tidak ada apa-apanya dibanding perempuan itu. Aku sadar keluargaku hanyalah keluarga yang apa adanya. Allah… lagi-lagi aku jatuh untuk yang kedua kali. 

Dalam situasi dilematik itulah, lelaki yang pernah menyakitiku sekaligus mempermalukan keluargaku tiba-tiba muncul di hadapanku. Ia kembali menawarkan mimpi yang dulu pernah ia hempaskan sendiri. Ia meminta hatiku kembali setelah setengah mati aku berusaha mengenyahkannya. Dan tanpa sepengetahuanku, ia juga menyatakan keinginan menikahiku pada orangtua di kampung. 

Setelah cukup lama aku berbincang dengan orangtua, aku sudah bisa mengambil keputusan terbaik untuk menerima lelaki itu kembali. Jangan tanya kenapa. Ini semua aku lakukan demi orangtuaku. Mereka ingin segera melihat anaknya menikah. Mengingat usiaku yang sudah menginjak usia 37 tahun. “Nak, semua keputusan ada di tanganmu. Bapak Ibu tidak akan memaksamu. Tapi kami sangat berharap kamu bisa mempertimbangkan harapan orangtuamu. Jika kamu menerimanya, segera pulanglah. Kami tetap menantimu di sini.” 

Dan beginilah akhirnya jalan hidupku, menjadi istri sah Ihsan al-Faruqi. Sempat dulu aku menyalahkan Tuhan, kenapa Dia tidak memenuhi harapanku untuk meneguk kebahagiaan bersama Elhan. Tetapi ternyata, saat aku terlalu berharap sosok Fatih El-Hanin menjadi suamiku, aku lupa melihat diriku sendiri bahwa aku perempuan yang jauh dari sempurna. Bukan, bukan maksudku untuk mengatakan suamiku saat ini jauh dari sempurna seperti halnya diriku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa Tuhan pasti akan memberikan jodoh yang terbaik untuk kita. Siapapun dia. Tuhan tidak akan pernah salah memberi pasangan pada setiap hamba-hambaNya. Ihsan al-Faruqi adalah lelaki yang diutus Tuhan untuk menemani hidupku. 

Mas Ihsan tahu bahwa sampai sekarang aku masih mengingat luka tiga tahun yang lalu. Saat ia sudah merasa menebus kesalahannya, saat ia sudah merasa telah mengangkat kembali harga diri keluargaku, ia tidak pernah tahu bahwa aku menangis bukan hanya karena luka itu. Aku menangis karena separuh hatiku hilang, setengah asaku terbang. Aku menangis ketika aku tak mampu membayar hutang perjuangan pada dia yang aku sayang.
Namun, satu hal yang harus aku sadari saat ini bahwa masa laluku hanyalah impian dan suamiku saat ini adalah  kenyataan. Kenyataan yang ada di hadapanku inilah yang harus aku hadapi dan patut disyukuri. Ternyata, aku baru tahu, Mas Ihsan tidak seperti yang aku kira sebelumnya. Rasa sayang dan perhatiannya yang lebih padaku semakin tampak ketika aku menjadi istrinya. Mendung akhirnya menjelma hujan yang menyegarkan hatiku yang gersang ketika aku melapangkan hati untuk menerimanya. 

“Sayang, masuklah! Waktu semakin larut malam.”
“Oh… iya, Mas.”
Aku bangkit dari renungan panjang.

Lenteng Barat, 13 Desember 2013