Menghindari
Penafsiran yang Sewenang-wenang
Saya mengenalnya tidak begitu lama. Tetapi ia cukup
membuat saya kagum karena kecerdasannya menyajikan seperangkat metodologi untuk menafsirkan
teks agama. Tokoh ini saya tahu ketika membaca salah satu jurnal kampus yang di dalamnya mengulas sepintas pemikiran briliannya. Dialah pencetus istilah interpretif-despotism
(penafsiran yang sewenang-wenang) dalam wilayah penafsiran teks
al-Quran. Sempat terlintas di benak saya
sebelumnya untuk mengkaji secara mendalam pemikiran cendekiawan muslim yang menjadi
guru besar hukum Islam di UCLA School of Law, Amerika Serikat, itu. Tapi sayang
saya belum kunjung berhasil menemukan salah satu karyanya. Beberapa lama
kemudian akhirnya saya bersyukur. Baru kemarin saya mendatangi salah satu guru
menulis saya, M. Mushthafa, untuk meminjam buku, ternyata buku yang disodorkan
ke hadapan saya adalah karya terjemahan dari tokoh yang saya incar tersebut.
Melawan Tentara-tentara Tuhan dan Atas
Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fiqih Otoritatif adalah dua karya Khaled
M. Abou el-Fadl yang saat ini sudah ada dalam genggaman saya. Cukup pelik memang untuk memahami
gagasan-gagasannya yang terkandung dalam dua buku tersebut. Entah, apakah ini
karena status buku tersebut yang merupakan karya terjemahan karena pada umumnya
karya terjemahan relatif rumit dipahami, atau apakah karena ide-ide Khaled memang
sulit dijangkau akal saya yang sangat terbatas ini. Yang pasti, saya harus
mengerahkan konsentrasi penuh untuk menggali maksud yang hendak disampaikan
oleh author tersebut.
Sebelum memasuki pemikiran Khaled, atas saran
M. Mushthafa, terlebih dahulu saya membaca pengantar buku tersebut, Pendekatan
Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan, yang ditulis oleh M. Amin Abdullah, guru besar Filsafat
Islam UIN Sunan Kalijaga. Pengantar yang ia paparkan cukup padat, sehingga bisa
dibilang mewakili keseluruhan pemikiran Khaled yang akan dibahas pada bab-bab
berikutnya. Dengan kepiawaiannya, Amin Abdullah memaparkan secara rinci titik
persoalan yang telah menyulut semangat Khaled untuk membangun metodologi
konstruktif sebagai kritik atas penafsiran
bias gender dalam fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh ahli-ahli hukum agama Islam pada CRLO
(Council for Scientific Research and Legal Opinion: Lembaga Pengkajian dan Fatwa) yang berpusat di Arab Saudi.
Fatwa-fatwa keagamaan Islam tentang perempuan yang
dianggap sangat problematis oleh Khaled antara lain fatwa keagamaan tentang
pelarangan perempuan mengunjungi makam suaminya, perempuan mengeraskan suara
dalam berdo’a, perempuan mengendarai atau mengemudikan kendaraan sendiri, perempuan
harus berdo’a atau melakukan shalat di tempat yang tersembunyi dan tak tampak
pandangan mata, dan seterusnya. Fatwa tersebut dinilai olehnya sebagai tindakan
merendahkan—untuk tidak menyebutnya menindas—perempuan yang tidak dapat
ditoleransi pada era sekarang ini. Fatwa yang berlindung di bawah teks (nash)
mengklaim bahwa itulah yang sebenarnya “dikehendaki Tuhan.”
Berangkat dari kegelisahan Khaled atas realitas
yang dihadapi waktu itu, ia merasa berat hati ketika teks agama (dalam hal ini
al-Quran atau hadis) yang terkait dengan fikih ditafsirkan berdasarkan
subjektifitas pembaca. Penafsiran semacam itu cenderung menguntungkan satu
pihak dan merugikan pihak lain. Tradisi penafsiran demikian sebenarnya tidak
lepas dari budaya patriarkhis yang kerap kali menonjolkan superioritas diri dan
menganggap inferior pihak lain. Tentu ini tidak fair meski pada dasarnya
tak ada seorangpun yang mampu melepaskan diri dari unsur subjektifitasnya.
Khaled menilai, tak ada seorang mufassir pun
yang berhak mengakui dirinya sebagai pemilik otoritas penuh dalam menafsirkan suatu
teks, sehingga mengklaim produk tafsirnya sebagai hasil paten dan final, karena
hal tersebut akan berimbas pada sikap menafikan “kebenaran” penafsiran lain
yang bisa jadi lebih representatif. “Siapapun” sejatinya berhak memiliki paradigma
yang berbeda ketika membaca dan memahami suatu teks (nash) dalam rangka
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman yang terus berubah-rubah. Kecenderungan
umat beragama, termasuk Islam, terkadang mengambil alih begitu saja otoritas
Pengarang (author) untuk membenarkan tindakan (penafsiran) sewenang-wenang
dengan mengklaim bahwa pemahaman yang paling relevan dan benar sesuai
“keinginan Pengarang” adalah produk tafsirnya sendiri. Maka dengan mudah
pembaca menggantikan posisi Pengarang dan menempatkan dirinya sebagai
satu-satunya pemilik absolut otoritas kebenaran.
Khaled berulang kali menjelaskan dalam bukunya
bahwa hal tersebut sama artinya dengan menggantikan secara halus kekuasan Tuhan
yang merupakan tindakan despotisme dan sekaligus bentuk penyelewengan yang
tidak bisa dibenarkan begitu saja. Maka untuk menghindari tindakan sewenang-wenang
tersebut, Khaled menawarkan solusi metodologi yang mekanismenya tidak jauh beda
dengan sistem kerja hermeneutika. Pendekatan hermeneutik yang ia tawarkan
berbeda dengan hermeneutika ala Fazlur Rahman, Nashr hamid Abu Zaid, atau bahkan
Farid Esack. Kajian hermeneutik yang ia tawarkan bersifat multidisipliner
karena melibatkan berbagai pendekatan ilmu: linguistik, sosial, literary
criticism, dan ilmu keislaman yang telah baku seperti mushthalah hadis, fiqih,
ilmu kalam, ushul fiqh, yang kemudian diintegrasikan dengan kondisi
kontemporer.
Berbicara ihwal penafsiran dalam konteks
hermeneutika, tentu tidak akan luput dari tiga komponen yang saling terkait,
yakni author, text, dan reader. Di wilayah inilah Khaled menginstruksikan
penafsir melibatkan ketiganya secara aktif dan holistik. Pemahaman teks
semestinya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang, teks, dan
pembaca. Ijtihad, menurut Amin Abdullah, sebenarnya terkandung arti adanya
peran aktif dan interaksi yang hidup dan dinamis antara ketiga elemen tersebut.
Jika pembaca mencoba menutup rapat teks dalam pangkuan makna tertentu atau
memaksa tafsiran tunggal, maka tindakan ini beresiko untuk melanggar integritas
pengarang dan bahkan integritas teks itu sendiri.
Di samping itu, Khaled juga mengusulkan lima
persyaratan yang bisa dijadikan pengendali agar tidak melakukan tindakan
despotisme dalam menentukan fatwa-fatwa keagaman, pertama, kemampuan dan
keharusan seseorang, kelompok, atau lembaga untuk mengontrol dan mengendalikan
diri. Kedua, bersungguh-sungguh. Ketiga, mempertimbangkan
berbagai aspek yang terkait. Keempat, mendahulukan tindakan yang
rasional dan mengesampingkan yang irasional. Kelima, kejujuran. Kelima syarat
ini adalah pengaman yang harus dipakai seseorang sebelum akhirnya menyebut penafsiran
yang dihasilkannya sebagai produk yang “dikehendaki Tuhan.” Yang mesti kita
garisbawahi saat ini adalah pernyataan tegas Allah dalam surat Yusuf ayat 76, wa
fauqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim, di atas orang yang alim ada yang lebih alim.
Kebenaran absolut itu hanyalah milik Allah. Wallahu a’lam…
Annuqayah,
10 Januari 2013