Halaman

Sabtu, 12 Januari 2013



Menghindari Penafsiran yang Sewenang-wenang
Saya mengenalnya tidak begitu lama. Tetapi ia cukup membuat saya kagum karena kecerdasannya menyajikan seperangkat metodologi untuk menafsirkan teks agama. Tokoh ini saya tahu ketika membaca salah satu  jurnal kampus yang di dalamnya mengulas  sepintas pemikiran briliannya.  Dialah pencetus istilah interpretif-despotism (penafsiran yang sewenang-wenang) dalam wilayah penafsiran teks al-Quran.  Sempat terlintas di benak saya sebelumnya untuk mengkaji secara mendalam pemikiran cendekiawan muslim yang menjadi guru besar hukum Islam di UCLA School of Law, Amerika Serikat, itu. Tapi sayang saya belum kunjung berhasil menemukan salah satu karyanya. Beberapa lama kemudian akhirnya saya bersyukur. Baru kemarin saya mendatangi salah satu guru menulis saya, M. Mushthafa, untuk meminjam buku, ternyata buku yang disodorkan ke hadapan saya adalah karya terjemahan dari tokoh yang saya incar tersebut.  
Melawan Tentara-tentara Tuhan dan Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fiqih Otoritatif adalah dua karya Khaled M. Abou el-Fadl yang saat ini sudah ada dalam genggaman saya.  Cukup pelik memang untuk memahami gagasan-gagasannya yang terkandung dalam dua buku tersebut. Entah, apakah ini karena status buku tersebut yang merupakan karya terjemahan karena pada umumnya karya terjemahan relatif rumit dipahami, atau apakah karena ide-ide Khaled memang sulit dijangkau akal saya yang sangat terbatas ini. Yang pasti, saya harus mengerahkan konsentrasi penuh untuk menggali maksud yang hendak disampaikan oleh  author tersebut.
Sebelum memasuki pemikiran Khaled, atas saran M. Mushthafa, terlebih dahulu saya membaca pengantar buku tersebut, Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan, yang ditulis  oleh M. Amin Abdullah, guru besar Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Pengantar yang ia paparkan cukup padat, sehingga bisa dibilang mewakili keseluruhan pemikiran Khaled yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya. Dengan kepiawaiannya, Amin Abdullah memaparkan secara rinci titik persoalan yang telah menyulut semangat Khaled untuk membangun metodologi konstruktif  sebagai kritik atas penafsiran bias gender dalam fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan  oleh ahli-ahli hukum agama Islam pada CRLO (Council for Scientific Research and Legal Opinion: Lembaga Pengkajian  dan Fatwa) yang berpusat di Arab Saudi.
Fatwa-fatwa keagamaan Islam tentang perempuan yang dianggap sangat problematis oleh Khaled antara lain fatwa keagamaan tentang pelarangan perempuan mengunjungi makam suaminya, perempuan mengeraskan suara dalam berdo’a, perempuan mengendarai atau mengemudikan kendaraan sendiri, perempuan harus berdo’a atau melakukan shalat di tempat yang tersembunyi dan tak tampak pandangan mata, dan seterusnya. Fatwa tersebut dinilai olehnya sebagai tindakan merendahkan—untuk tidak menyebutnya menindas—perempuan yang tidak dapat ditoleransi pada era sekarang ini. Fatwa yang berlindung di bawah teks (nash) mengklaim bahwa itulah yang sebenarnya “dikehendaki Tuhan.”
Berangkat dari kegelisahan Khaled atas realitas yang dihadapi waktu itu, ia merasa berat hati ketika teks agama (dalam hal ini al-Quran atau hadis) yang terkait dengan fikih ditafsirkan berdasarkan subjektifitas pembaca. Penafsiran semacam itu cenderung menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Tradisi penafsiran demikian sebenarnya tidak lepas dari budaya patriarkhis yang kerap kali menonjolkan superioritas diri dan menganggap inferior pihak lain. Tentu ini tidak fair meski pada dasarnya tak ada seorangpun yang mampu melepaskan diri dari unsur subjektifitasnya.
Khaled menilai, tak ada seorang mufassir pun yang berhak mengakui dirinya sebagai pemilik otoritas penuh dalam menafsirkan suatu teks, sehingga mengklaim produk tafsirnya sebagai hasil paten dan final, karena hal tersebut akan berimbas pada sikap menafikan “kebenaran” penafsiran lain yang bisa jadi lebih representatif. “Siapapun” sejatinya berhak memiliki paradigma yang berbeda ketika membaca dan memahami suatu teks (nash) dalam rangka menyesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman yang terus berubah-rubah. Kecenderungan umat beragama, termasuk Islam, terkadang mengambil alih begitu saja otoritas Pengarang (author) untuk membenarkan tindakan (penafsiran) sewenang-wenang dengan mengklaim bahwa pemahaman yang paling relevan dan benar sesuai “keinginan Pengarang” adalah produk tafsirnya sendiri. Maka dengan mudah pembaca menggantikan posisi Pengarang dan menempatkan dirinya sebagai satu-satunya pemilik absolut otoritas kebenaran.
Khaled berulang kali menjelaskan dalam bukunya bahwa hal tersebut sama artinya dengan menggantikan secara halus kekuasan Tuhan yang merupakan tindakan despotisme dan sekaligus bentuk penyelewengan yang tidak bisa dibenarkan begitu saja. Maka untuk menghindari tindakan sewenang-wenang tersebut, Khaled menawarkan solusi metodologi yang mekanismenya tidak jauh beda dengan sistem kerja hermeneutika. Pendekatan hermeneutik yang ia tawarkan berbeda dengan hermeneutika ala Fazlur Rahman, Nashr hamid Abu Zaid, atau bahkan Farid Esack. Kajian hermeneutik yang ia tawarkan bersifat multidisipliner karena melibatkan berbagai pendekatan ilmu: linguistik, sosial, literary criticism, dan ilmu keislaman yang telah baku seperti mushthalah hadis, fiqih, ilmu kalam, ushul fiqh, yang kemudian diintegrasikan dengan kondisi kontemporer.  
Berbicara ihwal penafsiran dalam konteks hermeneutika, tentu tidak akan luput dari tiga komponen yang saling terkait, yakni author, text, dan reader. Di wilayah inilah Khaled menginstruksikan penafsir melibatkan ketiganya secara aktif dan holistik. Pemahaman teks semestinya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang, teks, dan pembaca. Ijtihad, menurut Amin Abdullah, sebenarnya terkandung arti adanya peran aktif dan interaksi yang hidup dan dinamis antara ketiga elemen tersebut. Jika pembaca mencoba menutup rapat teks dalam pangkuan makna tertentu atau memaksa tafsiran tunggal, maka tindakan ini beresiko untuk melanggar integritas pengarang dan bahkan integritas teks itu sendiri.
Di samping itu, Khaled juga mengusulkan lima persyaratan yang bisa dijadikan pengendali agar tidak melakukan tindakan despotisme dalam menentukan fatwa-fatwa keagaman, pertama, kemampuan dan keharusan seseorang, kelompok, atau lembaga untuk mengontrol dan mengendalikan diri. Kedua, bersungguh-sungguh. Ketiga, mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait. Keempat, mendahulukan tindakan yang rasional dan mengesampingkan yang irasional. Kelima, kejujuran. Kelima syarat ini adalah pengaman yang harus dipakai seseorang sebelum akhirnya menyebut penafsiran yang dihasilkannya sebagai produk yang “dikehendaki Tuhan.” Yang mesti kita garisbawahi saat ini adalah pernyataan tegas Allah dalam surat Yusuf ayat 76, wa fauqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim, di atas orang yang alim ada yang lebih alim. Kebenaran absolut itu hanyalah milik Allah. Wallahu a’lam…


Annuqayah, 10 Januari 2013