Halaman

Sabtu, 17 Agustus 2013



Sakit Itu Berkah
Membaca judul ini, mungkin akan ada banyak orang protes. Sakit kok berkah? Tampaknya tidak tepat menyandingkan kata “sakit” dengan kata “berkah”. Yang namanya sakit, ya pasti terluka. Kalau terluka berarti tidak bahagia. Dan itu bukan sebuah keberkahan karena tidak mendatangkan kenyamanan dan kebahagiaan. Yang tepat bagi kebanyakan orang adalah sakit itu nelangsa dan musibah. Hm, benarkah selalu begitu? Eits, tunggu dulu.
            Saya rasa tidak selalu demikian faktanya. Saya sendiri kadang merasakan bahwa sakit itu memang benar-benar berkah. Tanpa melewati momen sakit terlebih dahulu, saya tak yakin bisa mencicipi keberkahan berupa kebahagiaan. Yang dirasakan tentu hanya datar-datar saja dan hambar. Tidak hanya saya, orang lain bisa jadi juga demikian. Sahabat saya juga pernah merasakan hal yang sama. Ia menyadari bahwa keputusan Allah tak pernah salah padanya. Pada awalnya memang sakit ketika apa yang diharapkan selalu tak sejalan dengan kenyataan. Tetapi di balik sakit, ada kebahagiaan yang masih Tuhan sembunyikan. Jika anda tak percaya, buktikan!
Suatu sore, saya bergegas ke kantor pesantren memenuhi panggilan. Tidak seperti biasanya saya dipanggil hari itu. Karena penasaran, saya langsung menuju kantor untuk mengetahui siapa yang membutuhkan saya. Sesampai di pintu, tiba-tiba saya kaget. Perempuan itu, sahabat sekaligus adik saya, tengah duduk manis dengan lelaki yang tidak asing saya lihat. Kemudian saya bertanya padanya, “lho, kok bisa berdua?” tanya saya penasaran. “Kami baru saja akad,” jawabnya dengan santai dan riang. “Berarti kalian sudah… menjadi sepasang suami-istri?” Tanya saya tak percaya. “Hehe… iya,” jawabnya polos. “Huh… dasar!” Lalu di kantor itu berderai tawa.
Semenjak dekat dengan saya, perempuan itu selalu bersikap transparan. Seluruh kisah hidupnya nyaris saya tahu, tak terkecuali tentang kisah cintanya. Sebelum bertunangan pun dia biasa cerita banyak hal terkait calon tunangannya. Namun tak disangka, untuk pernikahannya kali ini dia tidak cerita apa-apa. Tahu-tahunya, saya dikagetkan dengan kedatangan mereka berdua. Saya berpikir positif saja, mungkin mereka ingin membuat surprise untuk saya dengan kabar bahagia ini. Walau bagaimanapun, saya tetap bahagia melihat senyum mereka.
Tidak salah kata banyak orang, dunia ini selalu mengandung misteri yang tidak bisa kita prediksi. Kadang apa yang tak disangka, tiba-tiba menjelma nyata. Termasuk tentang jodoh manusia. Rahasia Tuhan yang satu ini kerapkali mendatangkan tanya, siapa dan dimana. Manusia hanya bisa berikhtiar dan berdo’a. Berharap, jodoh kita kelak dapat membawa kita pada sorgaNya. Seperti sahabat saya itu, siapa sangka dia akan menjadi istri lelaki yang juga kenal baik dengan saya. Padahal, dulu saya tahu mereka tidak pernah akur dan kerap saling “mengejek”. Tapi sekarang, mereka sah tidur seranjang.
Ada pula teman sekelas saya yang dulunya sekedar dijodoh-jodohkan teman-teman di kelas malah jadi beneran. Mereka hanya tersenyum ketika mengingat itu. Adakalanya jodoh kita adalah orang yang tidak disangka sebelumnya. Dari teman dekat misalnya, tiba-tiba dialah orang yang “didaulat” Tuhan sebagai partner yang akan menemani kita mengarungi hidup. Atau musuh sekalipun bisa jadi kelak akan menjadi jodoh kita. Yang tahu rahasia itu hanyalah Tuhan, karena hanya Dialah yang bisa menentukan mana yang terbaik untuk hamba-hambaNya. 
Tuhan tidak akan berhenti memberi kejutan pada hambanya yang meminta. Dia berjanji akan mendengar lengkingan do’a hamba-hambaNya yang bergantung hanya padaNya. Dia tidak akan menyalahi janji itu. Ud’uni istajib lakum, (QS. Al-Mukmin: 60) begitu firmanNya dalam al-Quran. Tapi kenapa masih ada do’a yang tak kunjung dikabulkan padahal tiap waktu sudah meminta? Itu hak otoritatif Tuhan. Siapa sih yang bisa mendikte Tuhan? Tidak ada. Di sekeliling kita, sering ditemukan orang yang berdo’a tapi bernada paksa, misalnya “ya Allah… saya ingin dia menjadi jodoh hamba. Pokoknya dia.. harus dia.. kalau tidak dia, saya tidak mau.” Lho, itu namanya do’a atau memaksa? Dipaksa bagaimanapun, kalau Tuhan tidak berkehendak ya tidak akan terjadi. Mari renungkan kembali ayat ini, wa ‘asa an takrahu sya’ian fahuwa khairun lakum wa ‘asa an tuhibbu syai’an fahuwa syarrun lakum wa allahu ya’lamu wa antum laa ta’lamun. (QS. Al-Baqarah: 216)
Untuk soal jodoh, saya angkat tangan. Sebagai manusia yang terbatas, sebaiknya kita memang serahkan urusan itu pada Dia yang lebih tahu. Tapi ingat, setelah kita berusaha dulu.  Pernah suatu ketika ustadz Fauzil ‘Adhim, penulis buku Kupinang Engkau dengan Hamdalah, berkelakar begini, “jodoh itu memang ada di tangan Tuhan, kalau tidak diambil-ambil, ya akan tetap di tangan Tuhan,” katanya. Saya tersenyum mendengar itu. Perkataan provokatif itu sebenarnya ingin mengajak kita untuk berusaha dan terlibat aktif dalam memilih jodoh. Hukum kausalitas yang terdapat di alam ini menuntut manusia untuk “bekerja sama” dengan Tuhan. Sunnatullah akan tetap berlaku sepanjang dunia ini belum tutup usia. Kalau boleh saya lanjutkan perkataan ustadz tadi, saya ingin mengatakan begini, “cepat ambil jodoh itu di tangan Tuhan sebelum akhirnya Dia simpan.” Hehehe…
Bicara tentang jodoh memang selalu menarik hati, karena tidak ada seorang pun yang ingin hidup sendiri. Tak ada yang betah dengan sepi. Makanya kita butuh orang untuk berbagi. Sebelum sahabat saya itu berpamitan pulang, saya berbisik di telinganya, ”Selamat menikmati malam zafaf nanti malam.” Lantas dia tersipu-sipu malu. Aah…

Satu Tahun Sebelumnya
            Kebahagiaan itu tidak serta merta ia dapatkan dengan mudah. Tentu ia juga melewati proses “sakit” terlebih dahulu. Sakit yang kata banyak orang relatif sulit untuk  disingkirkan. Yang ada malah terus datang dan membayang. Masih membekas seperti pecahan kaca yang coba untuk disatukan. Saya ingat betul di mana ia harus tertatih meniti hari ketika luka di hatinya semakin menganga karena dikhianati orang yang dicintainya. Tak terbayang, bagaimana ia bisa menumbuhkan sikap optimis di masa depan tanpa didampingi orang yang amat disayanginya itu.
            Bahasanya tercekat waktu menceritakan perih yang menikamnya begitu kejam. Suaranya parau. Seakan tak ada kehidupan lagi ke depan. Ia hanya bisa menangis tersedu menyesali apa yang telah terjadi. Perempuan yang sangat temperamental akan cepat terluka ketika cinta yang dimilikinya tidak diperlakukan sebagaimana mestinya oleh mereka yang menggenggamnya. Sesekali, ia memegang tangan saya erat untuk mencari kekuatan di sana. Sebagai perempuan sekaligus sahabatnya, tentu saya juga merasakan apa yang tengah melukainya. Jika menangis adalah obat mujarab untuk mengempaskan sakit itu, biarlah ia menangis tanpa mengenal waktu.
            Sempat tak ada lagi kepercayaan yang ia miliki untuk laki-laki. Trauma. Takut kembali jatuh di jurang yang sama. Siapa yang mau kembali terluka? Tidak ada. Sebagaimana orang yang trauma pada umumnya, ia sangat berhati-hati berinteraksi dengan laki-laki. Kalau perlu, ia hapus no. laki-laki yang ada di phonebook-nya. Karena ingin tenang dan stabil, untuk sementara waktu ia “menyepi”. Menjauh dari kontak dengan orang-orang yang dikenalnya.
            Beberapa bulan setelah kejadian itu, ia kembali bangkit karena telah menemukan orang yang selama ini ia cari, pemilik sah tulang rusuk yang dulu hilang. Katanya, lelaki itu mampu menghilangkan mindset buruk tentang laki-laki yang selalu ngendon di benaknya. Pada akhirnya, sakit yang dilaluinya dengan tabah berujung dengan senyum sumringah. Saat ini ia menikah dengan orang yang lebih baik dari lelaki sebelumnya. Lelaki yang pemberani dan tidak pengecut. Lelaki yang berani mempertanggungjawabkan cintanya yang tidak sekedar retorika.
Sakit itu memang berkah. Kalau saja ia tidak merasakan sakit yang seperti itu, ia tidak akan tahu seperti apa rasanya bahagia hidup berdampingan dengan orang yang betul-betul mencintainya. Saya akhirnya berkesimpulan, ketika perasaan sakit itu datang, hakikatnya itu adalah permulaan untuk meneguk kebahagiaan yang tertunda. Sakit adalah proses yang mau tidak mau harus dilalui untuk sampai pada kulminasi kebahagiaan yang dituju.


PPA. Latee II, 20 Januari 2013
Untukmu: Berbahagialah, Sayang… :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar