Sakit Itu Berkah
Membaca judul ini, mungkin
akan ada banyak orang protes. Sakit kok berkah?
Tampaknya tidak tepat menyandingkan kata “sakit” dengan kata “berkah”. Yang
namanya sakit, ya pasti terluka. Kalau terluka berarti tidak bahagia. Dan itu
bukan sebuah keberkahan karena tidak mendatangkan kenyamanan dan kebahagiaan.
Yang tepat bagi kebanyakan orang adalah sakit itu nelangsa dan musibah. Hm,
benarkah selalu begitu? Eits, tunggu dulu.
Saya rasa tidak selalu demikian faktanya. Saya sendiri
kadang merasakan bahwa sakit itu memang benar-benar berkah. Tanpa melewati
momen sakit terlebih dahulu, saya tak yakin bisa mencicipi keberkahan berupa
kebahagiaan. Yang dirasakan tentu hanya datar-datar saja dan hambar. Tidak
hanya saya, orang lain bisa jadi juga demikian. Sahabat saya juga pernah
merasakan hal yang sama. Ia menyadari bahwa keputusan Allah tak pernah salah
padanya. Pada awalnya memang sakit ketika apa yang diharapkan selalu tak
sejalan dengan kenyataan. Tetapi di balik sakit, ada kebahagiaan yang masih
Tuhan sembunyikan. Jika anda tak percaya, buktikan!
Suatu sore, saya bergegas
ke kantor pesantren memenuhi panggilan. Tidak seperti biasanya saya dipanggil
hari itu. Karena penasaran, saya langsung menuju kantor untuk mengetahui siapa
yang membutuhkan saya. Sesampai di pintu, tiba-tiba saya kaget. Perempuan itu,
sahabat sekaligus adik saya, tengah duduk manis dengan lelaki yang tidak asing
saya lihat. Kemudian saya bertanya padanya, “lho, kok bisa berdua?” tanya saya
penasaran. “Kami baru saja akad,” jawabnya dengan santai dan riang. “Berarti
kalian sudah… menjadi sepasang suami-istri?” Tanya saya tak percaya. “Hehe…
iya,” jawabnya polos. “Huh… dasar!” Lalu di kantor itu berderai tawa.
Semenjak dekat dengan saya,
perempuan itu selalu bersikap transparan. Seluruh kisah hidupnya nyaris saya
tahu, tak terkecuali tentang kisah cintanya. Sebelum bertunangan pun dia biasa
cerita banyak hal terkait calon tunangannya. Namun tak disangka, untuk
pernikahannya kali ini dia tidak cerita apa-apa. Tahu-tahunya, saya dikagetkan
dengan kedatangan mereka berdua. Saya berpikir positif saja, mungkin mereka
ingin membuat surprise untuk saya
dengan kabar bahagia ini. Walau bagaimanapun, saya tetap bahagia melihat senyum
mereka.
Tidak salah kata banyak
orang, dunia ini selalu mengandung misteri yang tidak bisa kita prediksi.
Kadang apa yang tak disangka, tiba-tiba menjelma nyata. Termasuk tentang jodoh
manusia. Rahasia Tuhan yang satu ini kerapkali mendatangkan tanya, siapa dan
dimana. Manusia hanya bisa berikhtiar dan berdo’a. Berharap, jodoh kita kelak
dapat membawa kita pada sorgaNya. Seperti sahabat saya itu, siapa sangka dia
akan menjadi istri lelaki yang juga kenal baik dengan saya. Padahal, dulu saya
tahu mereka tidak pernah akur dan kerap saling “mengejek”. Tapi sekarang,
mereka sah tidur seranjang.
Ada pula teman sekelas saya
yang dulunya sekedar dijodoh-jodohkan teman-teman di kelas malah jadi beneran. Mereka hanya tersenyum ketika
mengingat itu. Adakalanya jodoh kita adalah orang yang tidak disangka
sebelumnya. Dari teman dekat misalnya, tiba-tiba dialah orang yang “didaulat”
Tuhan sebagai partner yang akan
menemani kita mengarungi hidup. Atau musuh sekalipun bisa jadi kelak akan
menjadi jodoh kita. Yang tahu rahasia itu hanyalah Tuhan, karena hanya Dialah
yang bisa menentukan mana yang terbaik untuk hamba-hambaNya.
Tuhan tidak akan berhenti
memberi kejutan pada hambanya yang meminta. Dia berjanji akan mendengar
lengkingan do’a hamba-hambaNya yang bergantung hanya padaNya. Dia tidak akan
menyalahi janji itu. Ud’uni istajib
lakum, (QS. Al-Mukmin: 60) begitu firmanNya dalam al-Quran. Tapi kenapa
masih ada do’a yang tak kunjung dikabulkan padahal tiap waktu sudah meminta?
Itu hak otoritatif Tuhan. Siapa sih yang
bisa mendikte Tuhan? Tidak ada. Di sekeliling kita, sering ditemukan orang yang
berdo’a tapi bernada paksa, misalnya “ya Allah… saya ingin dia menjadi jodoh
hamba. Pokoknya dia.. harus dia.. kalau tidak dia, saya tidak mau.” Lho, itu
namanya do’a atau memaksa? Dipaksa bagaimanapun, kalau Tuhan tidak berkehendak ya
tidak akan terjadi. Mari renungkan kembali ayat ini, wa ‘asa an takrahu sya’ian fahuwa khairun lakum wa ‘asa an tuhibbu
syai’an fahuwa syarrun lakum wa allahu ya’lamu wa antum laa ta’lamun. (QS.
Al-Baqarah: 216)
Untuk soal jodoh, saya
angkat tangan. Sebagai manusia yang terbatas, sebaiknya kita memang serahkan
urusan itu pada Dia yang lebih tahu. Tapi ingat, setelah kita berusaha
dulu. Pernah suatu ketika ustadz Fauzil
‘Adhim, penulis buku Kupinang Engkau
dengan Hamdalah, berkelakar begini, “jodoh itu memang ada di tangan Tuhan,
kalau tidak diambil-ambil, ya akan tetap di tangan Tuhan,” katanya. Saya
tersenyum mendengar itu. Perkataan provokatif itu sebenarnya ingin mengajak
kita untuk berusaha dan terlibat aktif dalam memilih jodoh. Hukum kausalitas yang
terdapat di alam ini menuntut manusia untuk “bekerja sama” dengan Tuhan.
Sunnatullah akan tetap berlaku sepanjang dunia ini belum tutup usia. Kalau
boleh saya lanjutkan perkataan ustadz tadi, saya ingin mengatakan begini,
“cepat ambil jodoh itu di tangan Tuhan sebelum akhirnya Dia simpan.” Hehehe…
Bicara tentang jodoh memang
selalu menarik hati, karena tidak ada seorang pun yang ingin hidup sendiri. Tak
ada yang betah dengan sepi. Makanya kita butuh orang untuk berbagi. Sebelum
sahabat saya itu berpamitan pulang, saya berbisik di telinganya, ”Selamat
menikmati malam zafaf nanti malam.”
Lantas dia tersipu-sipu malu. Aah…
Satu Tahun Sebelumnya
Kebahagiaan itu tidak serta merta ia dapatkan dengan
mudah. Tentu ia juga melewati proses “sakit” terlebih dahulu. Sakit yang kata
banyak orang relatif sulit untuk
disingkirkan. Yang ada malah terus datang dan membayang. Masih membekas
seperti pecahan kaca yang coba untuk disatukan. Saya ingat betul di mana ia
harus tertatih meniti hari ketika luka di hatinya semakin menganga karena
dikhianati orang yang dicintainya. Tak terbayang, bagaimana ia bisa menumbuhkan
sikap optimis di masa depan tanpa didampingi orang yang amat disayanginya itu.
Bahasanya tercekat waktu menceritakan perih yang
menikamnya begitu kejam. Suaranya parau. Seakan tak ada kehidupan lagi ke
depan. Ia hanya bisa menangis tersedu menyesali apa yang telah terjadi.
Perempuan yang sangat temperamental akan cepat terluka ketika cinta yang
dimilikinya tidak diperlakukan sebagaimana mestinya oleh mereka yang
menggenggamnya. Sesekali, ia memegang tangan saya erat untuk mencari kekuatan
di sana. Sebagai perempuan sekaligus sahabatnya, tentu saya juga merasakan apa
yang tengah melukainya. Jika menangis adalah obat mujarab untuk mengempaskan
sakit itu, biarlah ia menangis tanpa mengenal waktu.
Sempat tak ada lagi kepercayaan yang ia miliki untuk
laki-laki. Trauma. Takut kembali jatuh di jurang yang sama. Siapa yang mau
kembali terluka? Tidak ada. Sebagaimana orang yang trauma pada umumnya, ia
sangat berhati-hati berinteraksi dengan laki-laki. Kalau perlu, ia hapus no.
laki-laki yang ada di phonebook-nya.
Karena ingin tenang dan stabil, untuk sementara waktu ia “menyepi”. Menjauh
dari kontak dengan orang-orang yang dikenalnya.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, ia kembali bangkit
karena telah menemukan orang yang selama ini ia cari, pemilik sah tulang rusuk
yang dulu hilang. Katanya, lelaki itu mampu menghilangkan mindset buruk tentang laki-laki yang selalu ngendon di benaknya. Pada akhirnya, sakit yang dilaluinya dengan
tabah berujung dengan senyum sumringah. Saat ini ia menikah dengan orang yang
lebih baik dari lelaki sebelumnya. Lelaki yang pemberani dan tidak pengecut.
Lelaki yang berani mempertanggungjawabkan cintanya yang tidak sekedar retorika.
Sakit itu memang berkah.
Kalau saja ia tidak merasakan sakit yang seperti itu, ia tidak akan tahu
seperti apa rasanya bahagia hidup berdampingan dengan orang yang betul-betul
mencintainya. Saya akhirnya berkesimpulan, ketika perasaan sakit itu datang,
hakikatnya itu adalah permulaan untuk meneguk kebahagiaan yang tertunda. Sakit
adalah proses yang mau tidak mau harus dilalui untuk sampai pada kulminasi
kebahagiaan yang dituju.
PPA. Latee II, 20 Januari 2013
Untukmu: Berbahagialah,
Sayang… :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar