Si
Kecil dan Si Ucil
Mereka berdua sama-sama bertubuh
mungil. Satu saya panggil Si Kecil dan satu lagi saya sebut Si Ucil. Mereka
memang memiliki kepribadian yang tak sama. Satunya melankolis dan satunya
phlegmatis. Namun, perbedaan karakter itu
malah menarik tubuh saya untuk selalu duduk bersama mereka. Bersama si Kecil,
saya merasa ada kedekatan karena persamaan karakter yang kami miliki. Demikian
pula dengan si Ucil. Ada sisi kepribadian saya yang nyaris sama dengan
keduanya. Wajar saja ketika saya butuh orang untuk sekedar bercerita, muaranya adalah
memilih bersama mereka.
Kedekatan kami berawal saat kami
sama-sama “didaulat” menjadi generasi mujahidah pena di lembaga kepenulisan pesantren.
Kesempatan untuk selalu bersama pun semakin terbuka lebar. Pagi, siang, sore,
malam, selalu saja saya bertemu keduanya. Ya tentu lah, kami kan berada di
gubuk yang sama. Gubuk yang kata banyak orang menyimpan bibit-bibit penulis handal
(Ah, bener gak ya? Semoga saja).
Si Kecil yang Tangguh
Si Kecil terkesan pendiam waktu kali pertama
saya bertemu dengannya. Dia jarang sekali ngomong dengan saya kecuali untuk
hal-hal penting yang terkait dengan kepenulisan. Entah, saya juga tak tahu
alasannya. Apakah itu memang karena karakternya atau karena baru pertama kali
kami hidup seatap. Yang jelas, saya sering melihat dia tampak malas untuk
sekedar menyapa saya. Emang saya serupa batu ya?
Sebenarnya sudah tiga tahun yang lalu
saya mengetahui Si Kecil. Ia termasuk salah seorang siswa yang cukup familiar di
telinga santri. Orang-orang mengenalnya sebagai siswa yang berhasil dan
berprestasi. Kalau tidak percaya, lihat saja sertifikat dan piagam penghargaan yang
ia simpan di Bag Folder-nya (sssttt… jangan bilang-bilang ya. Curi saja
di lacinya). Saya pastikan kalian akan menemukan berlembar-lembar sertifikat
dari berbagai macam lomba dan kejuaraan, mulai dari sertifikat tingkat lokal
hingga tingkat nasional. Hebat, bukan?
Tanpa saya duga, Tuhan akhirnya menakdirkan
kami untuk tinggal bersama di lembaga kepenulisan, sehingga menjadikan intensitas
kebersamaan semakin besar. Di tempat itulah kami menyusun mimpi untuk menjadi
penulis sekaliber Kahlil Gibran. Di tempat itulah kami terseok-seok menggapai
apa yang kami impikan. Di tempat itu pula kami melabuhkan ragam rasa yang terus
datang. Si Kecil akhirnya saya anggap sebagai saudara saya sendiri, tepatnya
adik saya.
Ia memang orang yang gigih. Pemimpi
besar. Pantang menyerah dan putus asa. Sekali berkeinginan, ia tak ragu untuk
mengerahkan tenaga dan pikiran penuh untuk meraih apa yang diimpikan tersebut.
Mencoba dan terus mencoba. Inilah yang membuat saya terkagum-kagum padanya. Padahal
saya tahu betul bagaimana keadaan lingkungan sekitanya yang kerap kali menghalangi
dan mengempaskan mimpi yang ingin dicapainya tersebut. Si Kecil tidak menyerah,
apalagi pasrah.
Setahun saya bersamanya, jarang sekali
saya mendengar keluhan-keluhan yang keluar dari mulutnya karena beban hidup
yang ia tanggung atau kegagalan yang sesekali datang. Ia juga terlihat
baik-baik saja dengan situasi hidupnya yang kadang tak nyaman dan mengganggu
pikiran. Satu prinsip yang selalu ia pegang, “All is well…”
Masih terekam jelas kisah yang sempat
ia ceritakan malam itu. Di serambi kamar, sepenggal kisah itu perlahan mengalir
perihal keluarga kecilnya, Abah dan Umminya. Si Abah yang terkesan apatis pada
pendidikan anaknya dan si Ummi yang tertatih memperjuangkan nafkah keluarganya.
Belum lagi, kisah-kisah pahit yang lain yang kerap ia rasakan bersama keluarganya.
Seperti biasa, saya tak mendengar keluhan sedikitpun dari lapisan kisah yang ia
ceritakan, meski wajahnya sebenarnya sudah tak mampu membohongi saya tentang
bayang kepedihan yang berkelindan di sana.
Diam-diam, saya banyak belajar tentang
hidup pada si Kecil, bahwa hidup yang keras ini memang layak diperjuangkan. Hidup
ini tidak untuk diratapi, tetapi untuk disyukuri. Tahapan peristiwa yang kita
hadapi sebetulnya hanya ujian-ujian kecil untuk membuktikan kesetiaan cinta kita
pada Dia yang telah memberi hidup. Berkeluh-kesah tidak akan menyelesaikan
masalah, tetapi malah menambah frekuensi perih yang menyiksa dada.
Walaupun tampak kecil (seperti anak
“TK”. Hehehe…), saya rasa si Kecil lebih dewasa dari saya dalam hal menyikapi
hidup. Ia bukan anak yang temperamental, apalagi banal. Tidak manja, juga tidak pemaksa. Sikap
tangguh itulah yang membuat saya merasa nyaman bersama si Kecil. Berbagi
cerita, share pengetahuan dan pengalaman, beraktivitas yang sama, adalah
kegiatan yang biasa kami lakukan di lembaga kepenulisan.
Cerita-cerita si Kecil sering kali
mengundang tawa. Ada saja kekonyolan yang sering ia kisahkan. Tentang kakak, tentang ummi, tentang adik, apalagi
tentang Anom yang menurutnya adalah lelaki paling “aneh” daripada lelaki lain
yang pernah dikenalnya. Kalau lagi geram pada si Kecil yang menggemaskan,
tangan saya akan cepat mendarat pada pipinya untuk mencubit. Kalau masih tetap
konyol, saya cubit lagi anggota tubuhnya yang lain. Kalau sudah begitu,
langsung ia menjerit, “Aaaah, jangan, Mbak. Awas ya. Tak balas nanti.”
Begitulah Si Kecil. Ia adalah satu di
antara sekian ribu perempuan yang dewasa. Tak pernah saya melihatnya menyeka
air mata karena problem hidup yang dihadapinya kecuali memang benar-benar merasa
tertekan. Itu pun ia simpan sendiri. Tidak pernah ia ceritakan pada siapapun,
termasuk pada saya yang bisa dibilang sangat dekat dengannya. Kalau saya
singgung tentang hal itu, ia akan menjawab, “Saya tidak suka membagi kesedihan
dengan orang lain, Mbak. Kalau tentang yang “senang-senang” justru saya sering
berbagi meski tidak diminta. Hehehe…”
Saya hanya tersenyum mendengar itu.
Saya lantas bertanya-tanya pada diri saya sendiri, kenapa saya malah senang
membagi luka dengan orang lain? Padahal belum tentu orang yang mendengarkan
cerita saya suka dengan cara saya tersebut. Atau bisa jadi sebenarnya mereka
tidak ngeh melihat saya yang sering berbagi kesedihan, karena secara
manusiawi, semua orang tentu lebih senang dengan cerita-cerita kebahagiaan
daripada kepedihan. Terima kasih, kau telah mengajariku banyak hal, Cil….
Belakangan
ini, ia dekat sekali dengan Anom, lelaki yang begitu istimewa di mata saya.
Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja ia kenal Anom yang juga dekat dengan saya.
Kalau lagi cerita si Anom yang humoris, pasti akan muncul tawa kami yang tak
berkesudahan. Lelaki itu diam-diam berhasil mengundang perhatian kami. Dan secara tak langsung, ia telah membentuk
keakraban baru di antara kami dan mencairkan kebekuan yang sebelumnya ada pada
kami. We love u eternally, Nom!
“Saya
sebal, Mbak. Masak Anom selalu bilang saya kayak anak kecil? Secara fisik sih
memang iya. Tapi secara pemikiran, eh tunggu dulu. Bisa jadi saya lebih dewasa
daripada Anom lho…” katanya bersungut-sungut.
“Nggak.
Kamu memang kayak anak kecil. Bahkan masih cocok lho jadi anak SD. Saya setuju
dengan Anom,” timpal saya mengguyon.
“Ah, Mbak
sama saja dengan Anom. Selalu kompromian.”
“Lha,
pasti lah. Kami kan se-hati. Hahahaa…”
“Hadeeeh,
lebay amat lu.”
“Bukan
lebay. Tapi ini ekspresi cinta, Kecil. Kamu tahu cinta gak? Anak kecil seperti
kamu gak yakin deh bakalan tahu cinta. Ingat, cinta itu bukan permen, lho.
Hihihi…”
“Ah,
siapa bilang? Kecil-kecil gini, saya juga merasakan cinta kok. Cinta itu layaknya
permen. Permen, rasanya manis di lidah. Kalau cinta, manis di hati. Bener, kan?”
“Kalau
udah ngidam permen, bilang aja, Kecil. Ntar saya belikan sebungkus khusus buat
kamu. Mau?”
“Tuh
kan. Sama saja dengan Anom. Nyebelin!”
“Hahahaa…”
Begitulah… sosok Anom sering kali hadir di tengah-tengah cerita
kami. Ujung-ujungnya, guyonan kami berakhir dengan tawa.
Oh, ya… Ada yang lupa. Kami punya kesukaan yang sama dan sulit
untuk ditinggalkan. Kami sama-sama demam jejaring sosial, Facebook. Kalau lagi ngomong
yang satu ini, dijamin deh seminggu gak bakalan selesai-selesai.
Si Ucil yang Gigih
Perempuan
ini juga bertubuh mungil. Makanya saya punya sebutan khusus untuknya, Ucil. Si Kecil
dan si Ucil, apa bedanya? Tentu beda sekali. Kalau Kecil masih belum tahu seluk
beluk cinta, beda lagi dengan si Ucil. Untuk soal cinta, Ucil sudah bisa
dibilang pengalaman. Suka duka cinta sudah pernah ia rasakan.
Jangan
kira si Ucil ini masih siswa. Dia sudah berstatus mahasiswa lho. Cuma postur
tubuhnya saja yang mengesankan dia seperti anak SD. Peace, Cil... Tapi
jangan salah sangka dulu. Meski kecil, si Ucil sangat menarik, ia cantik dan
elegan. Ditambah lagi dengan kemampuan kognitifnya yang lumayan tinggi. Pantas
saja banyak pangeran yang harap-harap cemas menunggu uluran tangannya karena ingin
membangun cinta bersamanya.
Saya
cukup tahu kisah pahit yang pernah ia rasakan. Ini persoalan hati. Kalau hati
sudah tertambat, maka sulit baginya untuk melepas. Saat sedang galau, biasanya
Ucil mencari ketenangan dengan mendengarkan kisah-kisah saya. Kisah yang nyaris
sama dengan kisahnya. Kisah dahulu yang barangkali bisa ia petik hikmahnya.
“Ayolah,
Mbak… cerita lagi. Beri saya penerangan dan penyadaran,” pintanya malam itu.
“Apa
yang mesti saya ceritakan lagi, Cil? Sering sekali saya cerita itu, kan? Trus
apalagi? Sudahlah, yakini saja sakit itu hanya sementara. Kalau sudah bertemu
dengan orang yang tepat, saya yakin kamu pasti lebih bahagia daripada
sebelumnya. Justru kamu akan bersyukur tidak jadi dengan lelaki sebelumnya. Kata
Anom, cinta sejati itu mengembara. Ia akan berpetualang dari hati yang satu
pada hati yang lain. Dalam perjalanannya, tak jarang akan menemukan kesakitan-kesakitan
karena perpisahan yang tak diinginkan. Tetapi itu hanya sementara. Karena
perjalanan masih akan terus dilanjutkan untuk kemudian menemukan muara yang
tepat. Dan di sanalah cinta akan berdiam dengan nyaman,” saya bicara panjang
lebar layaknya orang yang sudah mahir dalam soal cinta.
“Sulit
banget ya melupakan orang yang disayang. Andai saja ada obat penghilang ingatan
pada seseorang, mungkin saya adalah orang pertama yang akan membelinya.
Tersiksa banget soalnya. Huft…”
“Sakit
ya, Cil? Hehe… nikmati saja dulu. Itu hanya tahapan awal buat kamu untuk
meneguk kebahagiaan. Kalau gak sakit dulu, mana mungkin kamu akan merasakan
nikmatnya bahagia.”
“Hm,
Bener juga sih. Saya sudah lelah dengan keadaan begini, Mbak. Menyesal, pasti
ada. Tapi kayaknya ini tak layak disesali, karena pastinya juga memberi
pelajaran bagi saya. Jalan untuk lebih mendewasakan diri lah.”
“Nah,
itu baru betul. Ambil hikmahnya saja, Cil. Mungkin dengan begitu, kamu akan
lebih hati-hati mengambil keputusan untuk bercinta. Atau bisa jadi, itu teguran
dari Allah bahwa bukan dia yang terbaik untukmu, karena Allah sudah menyediakan
lelaki yang jauh lebih baik untukmu. Penasaran yah? Nunggunya yang sabar ya.”
“He’em,
penasaran banget. Hehe.. Makasih banyak ya, Mbak,” katanya sambil tersenyum
manis.
Begitulah
si Ucil. Dia melankolis amat. Perasaannya yang lembut tidak bisa dipaksa untuk
melupakan orang yang dicinta. Terlalu berat baginya untuk berpindah hati meski
dalam kurun waktu yang relatif lama. Maklum, perempuan memang cenderung begitu.
Sekali mencinta, maka sulit baginya untuk lupa.
Saya
punya kesamaan dengan si Ucil, sama-sama punya daya sensitivitas tinggi. Kalau lagi
males bicara, jangan harap kami akan ikut nimbrung bercerita dengan teman-teman
yang lain. Bawaannya selalu ingin sendiri. Atau kalau tidak, hanya berteman
dengan diary dan pen saja. Lalu curhat. Dear
Diary…
Tetapi
di balik melankolisnya, Ucil juga termasuk orang yang simpatik. Dia memiliki
kepedulian besar terhadap sahabat-sahabatnya. Dalam istilah teori pendidikan,
dia punya soft skill yang relatif tinggi. Kalau melihat sahabatnya
sakit, ia segera datang untuk merawatnya. Kalau mendapati saya tengah menangis,
tanpa ragu ia mendekap saya dengan erat untuk menyumbangkan kekuatan. Kepedulian
itulah yang akhirnya membuat saya memilih untuk menghabiskan waktu banyak
bersamanya.
Selain itu, kekaguman saya pada Ucil juga
saat dia gigih untuk menekuni bidang ilmu yang dia sukai. Kegigihan itu pada
akhirnya mengantarkannya menjadi santri yang berprestasi dan cukup
diperhitungkan di pesantren. Kemampuan baca kitab kuning-nya tidak perlu
diragukan. Buktinya, ia sekarang duduk bersama saya di kelas Mumtaz, kelas
yang dihuni oleh santri pilihan yang berminat di bidang kitab kuning.
Sudah sejak dulu (saat MAK) dia
berproses bersama saya untuk menjadi orang yang mahir di bidang kitabiyah. Banyak
guru-guru berjasa yang berperan besar dalam hal ini. Ustadz Dangker, Ustadz
Rofiq, K. Hasbullah, K. Wadud Munir, dan Ustadz Dedi, mereka adalah orang-orang
hebat yang selalu menemani dan membimbing kami belajar kitab ketika akan
mengikuti kompetisi. Terima kasih, Ustadz. Karena kalian-lah kami bisa
mengeja abjad dalam kitab yang tak berharakat itu. Masih segar dalam ingatan
kami “tragedi” di Jember waktu itu. Hehehe…
Cukup
langka menemukan orang yang gigih seperti Ucil. Tak jarang saya menemukan ia tertidur
dengan kitab Ibnu Katsir dan kamus Munawwir-nya. Beda dengan
saya, sebelum masuk kelas, Ucil pasti mempelajari terlebih dahulu materi yang
akan kami ikuti di kelas. Buka kitab dan buka kamus berkali-kali. Karena itulah
dia enteng saja nanti ketika ustadz memintanya untuk membaca teks Ibnu
Katsir itu. I proud of u, Cil…
Tidak
puas dengan kitab kuning, Ucil juga menekuni dunia literasi. Masih sama, ia
berproses bersama saya di lembaga kepenulisan pesantren. Ketertarikannya pada
dunia tulis-menulis dimulai saat ia senang mengisi buku harian. Di sudut kamar,
saya sering melihatnya menulis buku harian. Saya yang usil kadang mencuri buku
hariannya untuk mengetahui apa yang telah ia tulis. Aduh, sudah kebuka, nih.
Maaf, Cil…
Berkat
kesungguhannya, tulisan-tulisan Ucil juga sering nongol di media. Maka tak
salah ketika ia dipercaya untuk menahkodai bulletin FLP yang umurnya kini hampir
mendekati empat tahun. Selamat, yah.
Di tanganmu, hidup-mati bulletin itu dipertaruhkan.
Gubuk
LPM, 09 Maret 2013
Untuk Kecil dan Ucil:
Sengaja memang saya tak meminta izin
pada kalian untuk mengekspose cerita ini.
Maaf yah kalau dalam deskripsinya
terdapat distorsi. Itu di luar pengetahuan saya. :)
Bak, benarkah si kecil itu saya? hahaha
BalasHapusjadi malu dech.
hahaha... iya, betul. itu rencananya yang mau diantologikan dengan ELsanie. Gak jadi deh....
BalasHapusDuh, kok gak jadi sich...
BalasHapus