Halaman

Sabtu, 17 Agustus 2013



Si Kecil dan Si Ucil
Mereka berdua sama-sama bertubuh mungil. Satu saya panggil Si Kecil dan satu lagi saya sebut Si Ucil. Mereka memang memiliki kepribadian yang tak sama. Satunya melankolis dan satunya phlegmatis. Namun, perbedaan karakter  itu malah menarik tubuh saya untuk selalu duduk bersama mereka. Bersama si Kecil, saya merasa ada kedekatan karena persamaan karakter yang kami miliki. Demikian pula dengan si Ucil. Ada sisi kepribadian saya yang nyaris sama dengan keduanya. Wajar saja ketika saya butuh orang untuk sekedar bercerita, muaranya adalah memilih bersama mereka.
Kedekatan kami berawal saat kami sama-sama “didaulat” menjadi generasi mujahidah pena di lembaga kepenulisan pesantren. Kesempatan untuk selalu bersama pun semakin terbuka lebar. Pagi, siang, sore, malam, selalu saja saya bertemu keduanya. Ya tentu lah, kami kan berada di gubuk yang sama. Gubuk yang kata banyak orang menyimpan bibit-bibit penulis handal (Ah, bener gak ya? Semoga saja).

Si Kecil yang Tangguh
Si Kecil terkesan pendiam waktu kali pertama saya bertemu dengannya. Dia jarang sekali ngomong dengan saya kecuali untuk hal-hal penting yang terkait dengan kepenulisan. Entah, saya juga tak tahu alasannya. Apakah itu memang karena karakternya atau karena baru pertama kali kami hidup seatap. Yang jelas, saya sering melihat dia tampak malas untuk sekedar menyapa saya. Emang saya serupa batu ya?
Sebenarnya sudah tiga tahun yang lalu saya mengetahui Si Kecil. Ia termasuk salah seorang siswa yang cukup familiar di telinga santri. Orang-orang mengenalnya sebagai siswa yang berhasil dan berprestasi. Kalau tidak percaya, lihat saja sertifikat dan piagam penghargaan yang ia simpan di Bag Folder-nya (sssttt… jangan bilang-bilang ya. Curi saja di lacinya). Saya pastikan kalian akan menemukan berlembar-lembar sertifikat dari berbagai macam lomba dan kejuaraan, mulai dari sertifikat tingkat lokal hingga tingkat nasional. Hebat, bukan?
Tanpa saya duga, Tuhan akhirnya menakdirkan kami untuk tinggal bersama di lembaga kepenulisan, sehingga menjadikan intensitas kebersamaan semakin besar. Di tempat itulah kami menyusun mimpi untuk menjadi penulis sekaliber Kahlil Gibran. Di tempat itulah kami terseok-seok menggapai apa yang kami impikan. Di tempat itu pula kami melabuhkan ragam rasa yang terus datang. Si Kecil akhirnya saya anggap sebagai saudara saya sendiri, tepatnya adik saya.
Ia memang orang yang gigih. Pemimpi besar. Pantang menyerah dan putus asa. Sekali berkeinginan, ia tak ragu untuk mengerahkan tenaga dan pikiran penuh untuk meraih apa yang diimpikan tersebut. Mencoba dan terus mencoba. Inilah yang membuat saya terkagum-kagum padanya. Padahal saya tahu betul bagaimana keadaan lingkungan sekitanya yang kerap kali menghalangi dan mengempaskan mimpi yang ingin dicapainya tersebut. Si Kecil tidak menyerah, apalagi pasrah.
Setahun saya bersamanya, jarang sekali saya mendengar keluhan-keluhan yang keluar dari mulutnya karena beban hidup yang ia tanggung atau kegagalan yang sesekali datang. Ia juga terlihat baik-baik saja dengan situasi hidupnya yang kadang tak nyaman dan mengganggu pikiran. Satu prinsip yang selalu ia pegang, “All is well…”
Masih terekam jelas kisah yang sempat ia ceritakan malam itu. Di serambi kamar, sepenggal kisah itu perlahan mengalir perihal keluarga kecilnya, Abah dan Umminya. Si Abah yang terkesan apatis pada pendidikan anaknya dan si Ummi yang tertatih memperjuangkan nafkah keluarganya. Belum lagi, kisah-kisah pahit yang lain yang kerap ia rasakan bersama keluarganya. Seperti biasa, saya tak mendengar keluhan sedikitpun dari lapisan kisah yang ia ceritakan, meski wajahnya sebenarnya sudah tak mampu membohongi saya tentang bayang kepedihan yang berkelindan di sana.
Diam-diam, saya banyak belajar tentang hidup pada si Kecil, bahwa hidup yang keras ini memang layak diperjuangkan. Hidup ini tidak untuk diratapi, tetapi untuk disyukuri. Tahapan peristiwa yang kita hadapi sebetulnya hanya ujian-ujian kecil untuk membuktikan kesetiaan cinta kita pada Dia yang telah memberi hidup. Berkeluh-kesah tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah frekuensi perih yang menyiksa dada.
Walaupun tampak kecil (seperti anak “TK”. Hehehe…), saya rasa si Kecil lebih dewasa dari saya dalam hal menyikapi hidup. Ia bukan anak yang temperamental, apalagi  banal. Tidak manja, juga tidak pemaksa. Sikap tangguh itulah yang membuat saya merasa nyaman bersama si Kecil. Berbagi cerita, share pengetahuan dan pengalaman, beraktivitas yang sama, adalah kegiatan yang biasa kami lakukan di lembaga kepenulisan.
Cerita-cerita si Kecil sering kali mengundang tawa. Ada saja kekonyolan yang sering ia kisahkan.  Tentang kakak, tentang ummi, tentang adik, apalagi tentang Anom yang menurutnya adalah lelaki paling “aneh” daripada lelaki lain yang pernah dikenalnya. Kalau lagi geram pada si Kecil yang menggemaskan, tangan saya akan cepat mendarat pada pipinya untuk mencubit. Kalau masih tetap konyol, saya cubit lagi anggota tubuhnya yang lain. Kalau sudah begitu, langsung ia menjerit, “Aaaah, jangan, Mbak. Awas ya. Tak balas nanti.”
Begitulah Si Kecil. Ia adalah satu di antara sekian ribu perempuan yang dewasa. Tak pernah saya melihatnya menyeka air mata karena problem hidup yang dihadapinya kecuali memang benar-benar merasa tertekan. Itu pun ia simpan sendiri. Tidak pernah ia ceritakan pada siapapun, termasuk pada saya yang bisa dibilang sangat dekat dengannya. Kalau saya singgung tentang hal itu, ia akan menjawab, “Saya tidak suka membagi kesedihan dengan orang lain, Mbak. Kalau tentang yang “senang-senang” justru saya sering berbagi meski tidak diminta. Hehehe…”
Saya hanya tersenyum mendengar itu. Saya lantas bertanya-tanya pada diri saya sendiri, kenapa saya malah senang membagi luka dengan orang lain? Padahal belum tentu orang yang mendengarkan cerita saya suka dengan cara saya tersebut. Atau bisa jadi sebenarnya mereka tidak ngeh melihat saya yang sering berbagi kesedihan, karena secara manusiawi, semua orang tentu lebih senang dengan cerita-cerita kebahagiaan daripada kepedihan. Terima kasih, kau telah mengajariku banyak hal, Cil….
            Belakangan ini, ia dekat sekali dengan Anom, lelaki yang begitu istimewa di mata saya. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja ia kenal Anom yang juga dekat dengan saya. Kalau lagi cerita si Anom yang humoris, pasti akan muncul tawa kami yang tak berkesudahan. Lelaki itu diam-diam berhasil mengundang perhatian kami.  Dan secara tak langsung, ia telah membentuk keakraban baru di antara kami dan mencairkan kebekuan yang sebelumnya ada pada kami. We love u eternally, Nom!
            “Saya sebal, Mbak. Masak Anom selalu bilang saya kayak anak kecil? Secara fisik sih memang iya. Tapi secara pemikiran, eh tunggu dulu. Bisa jadi saya lebih dewasa daripada Anom lho…” katanya bersungut-sungut.
            “Nggak. Kamu memang kayak anak kecil. Bahkan masih cocok lho jadi anak SD. Saya setuju dengan Anom,” timpal saya mengguyon.
            “Ah, Mbak sama saja dengan Anom. Selalu kompromian.”
            “Lha, pasti lah. Kami kan se-hati. Hahahaa…”
            “Hadeeeh, lebay amat lu.”
            “Bukan lebay. Tapi ini ekspresi cinta, Kecil. Kamu tahu cinta gak? Anak kecil seperti kamu gak yakin deh bakalan tahu cinta. Ingat, cinta itu bukan permen, lho. Hihihi…”
            “Ah, siapa bilang? Kecil-kecil gini, saya juga merasakan cinta kok. Cinta itu layaknya permen. Permen, rasanya manis di lidah. Kalau cinta, manis di hati. Bener, kan?”
            “Kalau udah ngidam permen, bilang aja, Kecil. Ntar saya belikan sebungkus khusus buat kamu. Mau?”
            “Tuh kan. Sama saja dengan Anom. Nyebelin!”
            “Hahahaa…”
            Begitulah… sosok Anom sering kali hadir di tengah-tengah cerita kami. Ujung-ujungnya, guyonan kami berakhir dengan tawa. 
            Oh, ya… Ada yang lupa. Kami punya kesukaan yang sama dan sulit untuk ditinggalkan. Kami sama-sama demam jejaring sosial, Facebook. Kalau lagi ngomong yang satu ini, dijamin deh seminggu gak bakalan selesai-selesai.

Si Ucil yang Gigih
            Perempuan ini juga bertubuh mungil. Makanya saya punya sebutan khusus untuknya, Ucil. Si Kecil dan si Ucil, apa bedanya? Tentu beda sekali. Kalau Kecil masih belum tahu seluk beluk cinta, beda lagi dengan si Ucil. Untuk soal cinta, Ucil sudah bisa dibilang pengalaman. Suka duka cinta sudah pernah ia rasakan.
            Jangan kira si Ucil ini masih siswa. Dia sudah berstatus mahasiswa lho. Cuma postur tubuhnya saja yang mengesankan dia seperti anak SD. Peace, Cil... Tapi jangan salah sangka dulu. Meski kecil, si Ucil sangat menarik, ia cantik dan elegan. Ditambah lagi dengan kemampuan kognitifnya yang lumayan tinggi. Pantas saja banyak pangeran yang harap-harap cemas menunggu uluran tangannya karena ingin membangun cinta bersamanya.
            Saya cukup tahu kisah pahit yang pernah ia rasakan. Ini persoalan hati. Kalau hati sudah tertambat, maka sulit baginya untuk melepas. Saat sedang galau, biasanya Ucil mencari ketenangan dengan mendengarkan kisah-kisah saya. Kisah yang nyaris sama dengan kisahnya. Kisah dahulu yang barangkali bisa ia petik hikmahnya.
            “Ayolah, Mbak… cerita lagi. Beri saya penerangan dan penyadaran,” pintanya malam itu.
            “Apa yang mesti saya ceritakan lagi, Cil? Sering sekali saya cerita itu, kan? Trus apalagi? Sudahlah, yakini saja sakit itu hanya sementara. Kalau sudah bertemu dengan orang yang tepat, saya yakin kamu pasti lebih bahagia daripada sebelumnya. Justru kamu akan bersyukur tidak jadi dengan lelaki sebelumnya. Kata Anom, cinta sejati itu mengembara. Ia akan berpetualang dari hati yang satu pada hati yang lain. Dalam perjalanannya, tak jarang akan menemukan kesakitan-kesakitan karena perpisahan yang tak diinginkan. Tetapi itu hanya sementara. Karena perjalanan masih akan terus dilanjutkan untuk kemudian menemukan muara yang tepat. Dan di sanalah cinta akan berdiam dengan nyaman,” saya bicara panjang lebar layaknya orang yang sudah mahir dalam soal cinta.
            “Sulit banget ya melupakan orang yang disayang. Andai saja ada obat penghilang ingatan pada seseorang, mungkin saya adalah orang pertama yang akan membelinya. Tersiksa banget soalnya. Huft…”
            “Sakit ya, Cil? Hehe… nikmati saja dulu. Itu hanya tahapan awal buat kamu untuk meneguk kebahagiaan. Kalau gak sakit dulu, mana mungkin kamu akan merasakan nikmatnya bahagia.”
            “Hm, Bener juga sih. Saya sudah lelah dengan keadaan begini, Mbak. Menyesal, pasti ada. Tapi kayaknya ini tak layak disesali, karena pastinya juga memberi pelajaran bagi saya. Jalan untuk lebih mendewasakan diri lah.”
            “Nah, itu baru betul. Ambil hikmahnya saja, Cil. Mungkin dengan begitu, kamu akan lebih hati-hati mengambil keputusan untuk bercinta. Atau bisa jadi, itu teguran dari Allah bahwa bukan dia yang terbaik untukmu, karena Allah sudah menyediakan lelaki yang jauh lebih baik untukmu. Penasaran yah? Nunggunya yang sabar ya.”
            “He’em, penasaran banget. Hehe.. Makasih banyak ya, Mbak,” katanya sambil tersenyum manis.
            Begitulah si Ucil. Dia melankolis amat. Perasaannya yang lembut tidak bisa dipaksa untuk melupakan orang yang dicinta. Terlalu berat baginya untuk berpindah hati meski dalam kurun waktu yang relatif lama. Maklum, perempuan memang cenderung begitu. Sekali mencinta, maka sulit baginya untuk lupa.
            Saya punya kesamaan dengan si Ucil, sama-sama punya daya sensitivitas tinggi. Kalau lagi males bicara, jangan harap kami akan ikut nimbrung bercerita dengan teman-teman yang lain. Bawaannya selalu ingin sendiri. Atau kalau tidak, hanya berteman dengan diary dan pen saja. Lalu curhat.  Dear Diary…
            Tetapi di balik melankolisnya, Ucil juga termasuk orang yang simpatik. Dia memiliki kepedulian besar terhadap sahabat-sahabatnya. Dalam istilah teori pendidikan, dia punya soft skill yang relatif tinggi. Kalau melihat sahabatnya sakit, ia segera datang untuk merawatnya. Kalau mendapati saya tengah menangis, tanpa ragu ia mendekap saya dengan erat untuk menyumbangkan kekuatan. Kepedulian itulah yang akhirnya membuat saya memilih untuk menghabiskan waktu banyak bersamanya.
Selain itu, kekaguman saya pada Ucil juga saat dia gigih untuk menekuni bidang ilmu yang dia sukai. Kegigihan itu pada akhirnya mengantarkannya menjadi santri yang berprestasi dan cukup diperhitungkan di pesantren. Kemampuan baca kitab kuning-nya tidak perlu diragukan. Buktinya, ia sekarang duduk bersama saya di kelas Mumtaz, kelas yang dihuni oleh santri pilihan yang berminat di bidang kitab kuning.  
Sudah sejak dulu (saat MAK) dia berproses bersama saya untuk menjadi orang yang mahir di bidang kitabiyah. Banyak guru-guru berjasa yang berperan besar dalam hal ini. Ustadz Dangker, Ustadz Rofiq, K. Hasbullah, K. Wadud Munir, dan Ustadz Dedi, mereka adalah orang-orang hebat yang selalu menemani dan membimbing kami belajar kitab ketika akan mengikuti kompetisi. Terima kasih, Ustadz. Karena kalian-lah kami bisa mengeja abjad dalam kitab yang tak berharakat itu. Masih segar dalam ingatan kami “tragedi” di Jember waktu itu. Hehehe…
            Cukup langka menemukan orang yang gigih seperti Ucil. Tak jarang saya menemukan ia tertidur dengan kitab Ibnu Katsir dan kamus Munawwir-nya. Beda dengan saya, sebelum masuk kelas, Ucil pasti mempelajari terlebih dahulu materi yang akan kami ikuti di kelas. Buka kitab dan buka kamus berkali-kali. Karena itulah dia enteng saja nanti ketika ustadz memintanya untuk membaca teks Ibnu Katsir itu. I proud of u, Cil…
            Tidak puas dengan kitab kuning, Ucil juga menekuni dunia literasi. Masih sama, ia berproses bersama saya di lembaga kepenulisan pesantren. Ketertarikannya pada dunia tulis-menulis dimulai saat ia senang mengisi buku harian. Di sudut kamar, saya sering melihatnya menulis buku harian. Saya yang usil kadang mencuri buku hariannya untuk mengetahui apa yang telah ia tulis. Aduh, sudah kebuka, nih. Maaf, Cil…
            Berkat kesungguhannya, tulisan-tulisan Ucil juga sering nongol di media. Maka tak salah ketika ia dipercaya untuk menahkodai bulletin FLP yang umurnya kini hampir mendekati empat tahun.  Selamat, yah. Di tanganmu, hidup-mati bulletin itu dipertaruhkan.


Gubuk LPM, 09 Maret 2013
Untuk Kecil dan Ucil:
Sengaja memang saya tak meminta izin pada kalian untuk mengekspose cerita ini.
Maaf yah kalau dalam deskripsinya terdapat distorsi. Itu di luar pengetahuan saya. :)


           

3 komentar:

  1. Bak, benarkah si kecil itu saya? hahaha
    jadi malu dech.

    BalasHapus
  2. hahaha... iya, betul. itu rencananya yang mau diantologikan dengan ELsanie. Gak jadi deh....

    BalasHapus