Halaman

Sabtu, 17 Agustus 2013



Menyusun Mimpi
Berawal dari Mimpi
Meski tidak punya bakat dalam tulis-menulis, saya berani bermimpi menjadi penulis. Mimpi itu saya rangkai ketika masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Saya tak tahu pasti kenapa kala itu keinginan untuk menjadi penulis menjulang tinggi di hati saya, padahal di lingkungan tempat saya tinggal tidak mendukung sama sekali untuk menggapai keinginan tersebut. Tapi saya apatis tentang itu. Yang terpenting, saat itu saya tengah memeluk mimpi. Dan mimpi itu harus saya kejar dengan kesungguhan.
Yang bisa saya lakukan sebagai manifestasi mimpi menjadi penulis adalah menulis buku harian. Saya rajin menulis buku harian meski isinya sangat amatiran. Mungkin, saya akan tersenyum simpul bila membacanya kembali saat ini. Orang-orang bilang, terlalu lucu.
Berangkat ke Annuqayah sekitar tahun 2006, saya hempaskan mimpi itu jauh-jauh. Kenapa? Saya punya mimpi lain yang—saat itu—terlihat lebih heroik dan menantang (tak perlu saya sebutkan di sini). Akhirnya, menulis bukan aktifitas yang menarik lagi sehingga tidak menjadi hobi kembali. Selama kurang lebih 2 tahun, saya memilih untuk meninggalkan dunia kepenulisan. Oleh karena pindah haluan, saya jadi jarang menulis walau sekedar buku harian. Buku harian pun saya tak punya.  
Akan tetapi, ceritanya berbeda ketika menduduki kelas akhir XII MAK. Saat itu saya menjadi utusan sekolah untuk mengikuti lomba mading 3 dimensi tingkat Regional di PP. Al-Amin Prenduan. Beruntung, saya bergabung dengan kelompok orang-orang hebat yang tidak diragukan kredibelitas tulisannya. Bergabung dengan mereka, menjadikan tim kami jebol sebagai salah satu juaranya. Tentu saya dan teman-teman sangat girang dengan prestasi tersebut. Sebab prestasi itulah, saya memeluk kembali mimpi yang saya hempaskan tadi, saya kembali gemar menulis.
Menduduki bangku kuliah, semangat menulis saya semakin terpacu. Obor spirit saya disulut oleh seseorang yang belakangan menjadi motivator sekaligus inspirator menulis saya (Ssst… of the record yah J).  Saya makin rajin mengirim-ngirim tulisan ke media. Awalnya saya coba-coba dulu ke media lokal Annuqayah. Setelah itu saya tingkatkan ke media yang nilai gengsinya lebih prestisius. Eits, jangan kira tulisan saya banyak dimuat, yang terjadi justru sebaliknya. Meski tulisan yang ditolak oleh media tak terhitung jumlahnya, saya sendiri tidak begitu peduli. Yah, paling tidak redaksi sudah membaca tulisan-tulisan saya yang serampangan itu.
Pramoedya Ananta Toer pernah menulis begini, “Apapun memang harus dituliskan. Bagaimana pun bentuknya. Dengan demikian Anda telah mengambil satu peran merekam kenyataan di selingkungan. Mestinya anak muda seperti itu, berani menulis! Jangan takut tidak dibaca atau dibuang orang…  yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti akan ada yang membacanya dan menerbitkannya.”
Bergabung Dengan LPM
Setahun saya kuliah, saya mencari network yang lebih luas untuk menunjang kreatifitas menulis saya. Untung saja, di kampus ada salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang dapat mewadahi mahasiswa yang berminat di dunia kepenulisan. Lembaga tersebut adalah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Beberapa kegiatan LPM saya coba ikuti setiap kali libur kuliah (meski kadang agak malas. Hehe..). Tak lama setelah itu, entah bagaimana ceritanya, saya diangkat menjadi Kru Dinamika, satu-satunya majalah kampus yang ada di bawah koordinasi LPM Putri. Dan  pada akhirnya, saya juga dipercaya menjadi salah satu penggerak lembaga ini.
Ada keberuntungan tersendiri yang saya dapatkan ketika berada di lembaga LPM. Selain menemukan senior-senior yang getol menulis, di sana saya juga dapat melebarkan sayap pengalaman di bidang kepenulisan. Apalagi LPM Instika  bergabung dengan ILP2MI (Ikatan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa Indonesia) yang menawarkan kegiatan-kegiatan bermutu. Di lembaga Nasional itu, saya dipertemukan dengan penulis-penulis andal dari berbagai kampus di Indonesia. Belajar bersama mereka, semakin membuka kesadaran saya bahwa menulis adalah harga mati bagi mahasiswa.
Berkat sejumlah kegiatan yang digelar LPM, saya bisa mengenal penulis-penulis kesohor yang biasa dijadikan fasilitator dalam kegiatan tersebut. Sebut saja misalnya Akhmadi Yasid, Tin Mayya, Ibnu Hajar, Zainul Ubbadi, Ghozi, K. M. Mushthafa, dan penulis-penulis lain yang kerap menjadi wartawan media massa. Lalu siapa yang tak merasa beruntung menjadi bagian organ dari tubuh LPM ini?
Hingga detik terakhir kuliah di kampus putih Instika, saya masih mengabdikan diri di LPM sembari berproses dengan koki-koki cantik di dalamnya. Sebagaimana umumnya penulis, semangat menulis saya pasang-surut bak laut. Benar, di tahun-tahun awal semangat menulis saya meluap sekali, melimpah ruah. Maklum, saya pernah berkomitmen untuk mengabdikan hidup hanya dengan menulis. Tapi jangan tanya untuk tahun terakhir ini. Stok semangat saya kian terkikis perlahan. Tidak tahu  pasti alasannya apa. Tiba-tiba malas begitu saja.
Saya sadar, belakangan saya jarang sekali memberi stimulasi pada kader-kader LPM. Bahkan nyaris tak pernah. Barangkali mereka bertanya-tanya, kenapa saya demikian? Kenapa semangat menulis saya tumbang dari waktu ke waktu? Menanggapi itu, saya sudah sampaikan ketika evaluasi pengurus bahwa ini murni karena saya tengah malas menulis. Buktinya, saya tak pernah menulis kalau tidak karena tuntutan, katakanlah menulis karena untuk lomba, tugas makalah, dan permintaan tulisan. Selain itu, tidak ada. Saya semakin tidak produktif, beda dengan pengurus LPM lain yang belakangan saya lihat sering menulis.   
Namun, penyakit akut ini tidak akan berlangsung lama. Saya akan berusaha mengembalikan eksistensi saya yang nyaris hilang tertelan bumi. Sebab dengan menulis, saya dianggap ada, eksistensi saya semakin nyata. Yah, terus terang untuk menjaga keistiqamahan dalam menulis, terlebih dahulu saya harus berpikir pragmatis. Dengan begitu, semangat menulis saya kian terpacu. Mengkin, bagi kita, tidak layak ketika tugas mulia seperti menulis diintervensi dengan tujuan-tujuan destruktif  karena pola pikir pragmatis. Tapi bagi saya tidak demikian. Siapapun tidak bisa memungkiri bahwa tujuan pragmatis itulah yang memang kita kejar. Manusia (siapa pun itu) memang menyukai kenikmatan-kenikmatan. Tidak apa, awalnya kita memang harus mengecoh setan si pemilik pikiran pragmatis itu untuk akhirnya mencapai tujuan yang idealis.
Passion Itu… Dunia Literasi
Sekian lama, sejak masih berstatus siswa hingga mahasiswa, saya mencari passion yang nantinya akan berjodoh dengan saya. Kerap kali saya bertanya-tanya sendiri, potensi apa yang saya miliki? Kreatifitas apa yang akan saya dalami? Cukup sulit memang untuk menjawab itu, bak mencari jarum dalam jerami. Sulitnya bukan main. Saya pikir, ketika akhirnya saya memilih Instika sebagai tempat saya belajar, saya harus memiliki potensi di luar akademik yang akan menjadi identitas saya. Saya pernah menjelajahi semua lembaga di Latee II (tempat saya menetap di Annuqayah), termasuk Aphrodite English Club (AEC) dan Jam’iyah Qiraatul Kutub (JQK) selama dua tahun berturut-turut. Betul, saya menemukan chemistry di sana, karena saya memang menyukai bahasa Inggris dan gramatika Arab semenjak Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD). Tetapi itu tidak berlangsung lama. Hingga akhirnya, pilihan terakhir, saya jatuhkan di lembaga Forum Lingkar Pena (FLP).
Passion itu akhirnya saya temukan di dunia tulis menulis, dunia literasi. Di lembaga kepenulisan (FLP dan LPM) saya menemukan kenyamanan yang luar biasa, sebab saya mendapatkan apa yang saya cari; saya punya partner untuk berdiskusi, saya punya perpustakaan mini dan harian Kompas di FLP, dan harian Jawa Pos di LPM. Semua saya dapatkan. Aktifitas membaca, menulis, dan berdiskusi yang menjadi hobi saya dapat terwadahi secara simultan.
Memilih untuk menjadi penulis, bukan pilihan sembarangan. Menulis—kata Muhidin M. Dahlan—adalah aktifitas yang luar biasa mulianya. Menulis tak lagi sekedar corat-coret di atas kertas, tetapi ia semacam penanda tugas. Menjadi beban yang harus dipikul untuk tujuan besar. Tujuan agung untuk pencerahan, untuk masa depan kemanusiaan yang lebih bermartabat. Maka tidak salah ketika Sapardi Djoko Damono, Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Adjidarma, dan D. Zawawi Imron hingga di usia senja tetap mengabdikan hidupnya untuk menulis.
Hingga saat ini, saya masih bermimpi menjadi penulis. LPM telah memberikan pengaruh besar untuk mewujudkan mimpi itu. Pengabdian saya untuk LPM selama ini rasanya tidak mampu membayar segala hal yang diberikan LPM untuk saya. Saya ingat betul pleidoi senior saat kali pertama saya diangkat menjadi bagian LPM, “Jangan berpikir, apa yang akan diberikan LPM untuk kita. Tetapi berpikirlah, apa yang akan diberikan kita untuk LPM”. Saya terperangah mendengarkan petuah itu. Memang tidak baik rasanya ketika kita mendapatkan banyak kebaikan dari seseorang, namun kita tidak mampu membalasnya dengan kebaikan pula. Maka, pengabdian saya di LPM bisa dikatakan semacam bentuk balas budi yang sebetulnya tidak seberapa.
Tiga tahun berproses di LPM, menggerakkan jemari saya saat ini untuk menyampaikan pesan terakhir kepada kader-kader LPM, “Mengabdilah dan menulislah karena keterpanggilan hati, bukan karena keterpaksaan! Akhirnya, sebagai pamungkas dari tulisan ini, saya juga ingin menyampaikan pesan Pramoedya Ananta Toer, “Menulislah! Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah.”

2 komentar: