Jauh
sebelum manusia diciptakan, Allah telah memberi tahu malaikat tentang rencana
penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi untuk membangun dan mengelola
dunia. Allah menyebutnya dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 30 dan dipertegas
dalam surat al-An’am ayat 165. Informasi Allah tersebut ternyata mendatangkan
kekhawatiran malaikat dan dugaan terhadap khalifah yang akan diciptakan Allah
Swt. ini adalah makhluk yang akan membuat kerusakan di muka bumi dan
menumpahkan darah karena perselisihan. Dugaan ini berdasarkan pengalaman mereka
sebelum terciptanya manusia, di mana ada makhluk yang berlaku demikian, atau
bisa juga berdasarkan asumsi bahwa yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan
malaikat, maka pasti makhluk tersebut berbeda dengan mereka yang selalu
bertasbih dan menyucikan Allah Swt.
Kekhawatiran
malaikat ini langsung dijawab oleh Allah pada pernyataan selanjutnya, sesungguhnya
Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Para ulama’tafsir berbeda
pendapat tentang dikeluarkannya pertanyaan tersebut, apakah pertanyaan itu
merupakan bentuk protes atau bukan. Muncul juga pertanyaan, mengapa malaikat
sudah mengetahui bahwa khalifah (manusia) yang akan diciptakan Allah akan merusak
bumi dan menumpahkan darah di bumi tersebut, sementara sang khalifah belum
diciptakan? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan kritis lain yang
terkait dengan surat al-Baqarah ayat 30 ini. Untuk itulah, penulis merasa perlu
untuk meneliti ayat ini dari berbagai sumber kitab tafsir guna mendapatkan
keterangan komprehensif dan objektif tentang ayat yang mengandung sejumlah
persoalan tersebut, sehingga menemukan jawaban yang bisa dinilai representatif.
Dalam
al-Quran Allah Swt. berfirman: “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Quraish
Shihab dalam al-Mishbah (Lentera hati: 2000) mengatakan, kelompok ayat
ini dimulai dengan penyampaian keputusan Allah kepada para malaikat tentang
rencanaNya menciptakan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka penting,
karena malaikat akan dibebani sekian tugas yang akan terkait dengan manusia.
Ada yang bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya,
ada yang membimbingnya, dan lain sebagainya.
Penyampaian
itu juga, kelak ketika diketahui manusia, akan mengantarnya bersyukur kepada
Allah atas anugerahNya yang tersimpul dalam dialog Allah dengan para malaikat, sesungguhnya
Aku akan menjadikan khalifah di dunia. Penyampaian ini bisa jadi setelah
proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama (Adam)
dengan nyaman.
Dalam ayat 28 surat Al-Baqarah, Allah menjelaskan asal-usul
manusia beserta alam-alam yang menjadi destinasi-destinasi eksistensialnya,
yang berakhir pada: ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (kemudian
(pada akhirnya) kepada-Nya-lah kalian dikembalikan). Sementara di
ayat 29, Allah menjelaskan perjalan ruhani yang sejatinya dilewati oleh tiap
individu manusia, yang bermula dari bumi, dari dunia material, dari tubuh
biologis, untuk selanjutnya beranjak menuju ke ‘langit’ dengan melintasi tujuh
lapis ‘langit’. Seluruh kandungan al-Qur’an bermuara ke kedua jenis perjalanan
ini: perjalanan eksistensial (ayat 28) dan perjalanan spiritual (ayat 29).
Artinya, seluruh gagasan sosial, ideologi, dan politik manusia harus sejalan
(dan sekaligus menjadi bagian) dari kedua jenis perjalanan tersebut. Dan agar
tidak menyimpang dan tetap berada pada shirathal mustaqim, manusia
mutlak membutuhkan petunjuk.
Dalam rangka memberi petunjuk inilah Allah menciptakan
khalifah di bumi untuk membawa risalah-risalahNya. Dalam ayat 30 ini Allah
mengemukakan dan sekaligus memaklumatkan ‘gagasan-besar’ ini kepada para
malaikat:"Sungguh Aku akan menjadikan di
bumi seorang khalifah". Isi maklumat ini sangat jelas, tegas,
dan gamblang: seorang khalifah,
bukan dua atau banyak orang. Jabatannya juga jelas: khalifah, bukan Nabi bukan Rasul. Tempat dan wilayah
kekuasaannya juga jelas: di bumi,
dan bukan di planet, di galaksi atau di semesta lain. Hal yang sama juga
terjadi pada pelaku yang punya prerogatif mengangkat khalifah tersebut; bentuk katanya
jelas dan terang benderang, yaitu إِنِّي (sungguh Aku)
dan bukan إِنَّا (sungguh Kami).
Semua itu menunjukkan dengan sangat tegas—tanpa membuka peluang lain—bahwa
penentuan dan penunjukan khalifah adalah
murni otoritas dan prerogatif tunggal Allah.
Ada yang mengatakan bahwa kata khalifah di ayat ini adalah berkenaan
dengan manusia secara keseluruhan. Sehingga, bagi mereka, maklumat Allah kepada
para malaikat tersebut adalah pemberitahuan tentang akan diciptakannya makhluk
baru yang bernama “manusia” yang akan melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di bumi. Tetapi akan
berbeda maknanya ketika dibandingkan
dengan dua ayat berikut ini:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ
إِنِّي خَالِقٌ بَشَراً مِّن صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَإٍ مَّسْنُون (الحجر: 28)
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي خَالِقٌ بَشَراً مِن طِينٍ (ص: 71)
Pada surat al-Baqarah: 30 objeknya disebut dengan
tegas: khalifah; sementara
dalam surat al-Hijr: 28 dan Shaat: 71 objeknya juga disebut dengan tegas: basyar. Sedangkan asal-usul basyar dengan gamblang disebut
berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk dan dari tanah. Ayat 30 menyebut keterangan
tempat, di bumi, sebagai wilayah efektivitas kekuasaan Sang khalifah, sedangkan dalam surat al-Hijr: 28 dan Shaat: 71 tidak
menyebutkannya sama sekali.
Dari perbedaan itu, bisa disimpulkan bahwa keduanya juga
mempunyai maksud yang bebeda. Dalam surat al-Hijr: 28 dan Shaat: 70, Allah mendeklarasikan
penciptaan manusia, makhluk baru yang berkedudukan lebih tinggi dari malaikat.
Sementara dalam al-Baqarah: 30 Allah memaklumatkan pucuk pimpinan dari manusia
tersebut agar mereka tidak tersesat. Karena manakala nanti tidak mengakui dan
mengikuti khalifah pilihan
Allah ini, niscaya mereka (basyar)
akan dipimpin oleh pemimpin duniawi yang
hanya akan mengejar kepentingan sesaat.
Dari
ayat ini bisa dipahami bahwa khalifah adalah
bentuk takhsis `(pengkhususan)
dari manusia basyar, setelah
Allah memilihnya secara ekslusif, dengan tugas yang juga ekslusif, yaitu
memandu manusia mengerjakan amal saleh dan menghindarkan mereka dari
perbuatan syirik. Al-Qurtubi dalam Tafsir al-Qurthubi menukil dari
Zaid Ibnu Ali, yang dimaksud dengan khalifah dalam ayat ini bukan hanya
Nabi Adam ‘alaihis salam saja
seperti yang dikatakan oleh sejumlah ahli tafsir. Al-Qurtubi menisbatkan
pendapat ini kepada Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan semua ahli takwil. Akan tetapi
apa yang dikatakan oleh Al-Qurtubi ini masih perlu dipertimbangkan. Bahkan
perselisihan dalam masalah ini masih banyak, menurut riwayat ar-Razi dalam
kitab tafsirnya, juga oleh yang lainnya.
Ucapan para malaikat ini bukan
dimaksudkan untuk menentang atau
memprotes Allah, bukan pula karena dorongan dengki terhadap manusia,
sebagaimana yang diduga oleh banyak orang. Sesungguhnya
Allah Swt. menyifati para malaikat, mereka tidak pernah mendahului firman
Allah, yakni tidak pernah menanyakan sesuatu kepada-Nya yang tidak diizinkan
bagi mereka mengemukakannya. Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tafsirul Bayan berkata,
”Sebagian ulama mengatakan, ’Sesungguhnya malaikat mengatakan hal seperti itu,
karena Allah mengizinkan mereka untuk bertanya ihwal itu setelah diberitahukan
kepada mereka bahwa khalifah itu terdiri atas keturunan Adam.
Dalam ayat ini, ketika Allah Swt. memberitahukan
kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan di bumi suatu makhluk, menurut
Qatadah, para malaikat telah mengetahui sebelumnya bahwa makhluk-makhluk
tersebut gemar menimbulkan kerusakan padanya (di bumi), maka mereka
mengatakan :
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah ?"
Dalam
Tafsir Ibnu Katsir (Dar al-Kutub: 2008: halaman 67)
dikatakan, sesungguhnya kalimat itu merupakan pertanyaan meminta
informasi dan pengetahuan tentang hikmah yang terkandung di dalam penciptaan
itu. Mereka mengatakan, “Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang terkandung dalam
penciptaan mereka, padahal diantara mereka ada orang-orang yang suka membuat
kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah? Jikalau yang dimaksudkan agar
Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih memuji dan menyucikan Engkau,”
yakni kami selalu beribadah kepad-Mu, sebagaimana yang akan disebutkan nanti.
Dengan kata lain seakan-akan para malaikat mengatakan), “Kami tidak pernah
melakukan sesuatupun dari hal itu (kerusakan dan mengalirkan darah), maka
mengapa Engkau tidak cukup hanya dengan kami para malaikat saja?
Allah Swt. berfirman menjawab pertanyaan tersebut: اني أعلم ما لاتعلمون
.
Dengan kata lain, seakan-akan Allah bermaksud bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui menyangkut
kemaslahatan yang jauh lebih kuat dalam penciptaan jenis makhluk ini daripada
kerusakan-kerusakan yang kalian sebut itu. Karena sesungguhnya Aku akan
menjadikan dari kalangan mereka nabi-nabi dan rasul-rasul, diantara mereka ada
para shiddiqin, para syuhada, orang-orang saleh, ahli ibadah, ahli zuhud, para
wali, orang-orang bertaqwa, para muqarrabin, para ulama yang mengamalkan
ilmunya, orang-orang yang khusyu’ dan orang-orang yang cinta kepada Allah
Swt. dan mengikuti jejak rasul-rasulNya.
Quraish Shihab mengatakan penyampaian Allah kepada malaikat
tentang rencana penciptan manusia boleh jadi ketika proses kejadian Adam sedang
dimulai, seperti halnya seorang yang sedang menyelesaikan satu karya sambil
berkata “ini saya buat untuk si A”. ini menunjukan bahwa Allah tidak meminta
pendapat malaikat apakah Dia mencipta atau tidak.
Penyampaian ini, menurut Ibnu Asyur, agaknya untuk mengantar
para malaikat bertanya sehingga mengetahui keutaman jenis makhluk yang akan
diciptakanNya itu dan dengan demikian dapat juga terkikis kesan ketidakmampuan
manusia, yang diketahui Allah terdapat dalam benak para malaikat. Kemudian ia
melanjutkan bahwa ayat ini oleh banyak mufassir dipahami sebagai semacam
“permintaan pendapat” sehingga ia merupakan pengajaran dalam bentuk
penghormatan, seperti halnya keadaan seorang guru yang mengajar muridnya dalam
bentuk tanya jawab, dan agar mereka membiasakan diri untuk melakukan dialog
menyangkut aneka persoalan.
Setelah
menguraikan pendapat banyak mufassir sebagaimana dikutip di atas, Ibnu Asyur
mengemukakan pendapatnya bahwa istisyarah/permintaan pendapat itu
dijadikan demikian supaya ia menjadi satu substansi yang bersamaan dalam
wujudnya dengan penciptaan manusia pertama, agar ia menjadi bawaan dalam jiwa
anak cucunya, karena situasi dan ide-ide yang menyertai wujud sesuatu dapat
berbekas dan menyatu antara sesuatu yang wujud itu dengan situasi tersebut.
Afwan, kholifah di bahasa arab kan dinyatakan sebagai pemimpin. Lah apakah yg telah di jelaskan dalam surat Al-Baqoroh ayat 30 tersebut, setiap-tiap manusia adalah pemimpin ?? Memimpin dalam hal apa ?? Syukron kastir :)
BalasHapusNb: minta pendapat saja. Agar banyak pandangan yg bisa saya simpulkan.
Assalamu'alaikum
BalasHapussy berpendapat: (pertama) yang dimaksud dg kholifah itu pemimpin karena hingga sekarang yang jadi pemimpin adalah manusia tidak mahluk lain. (kedua) kholifah adalah penguasa karena hingga saat ini yang menguasai bumi hanya manusia tidak ada mahluk lain yang mengubah bumi sekalipun jin tidak ada karya jin dibumi ini. dari mulai sandal jepit rumah mewah hingga pesawat terbang semuanya adalah hasil karya manusia.
seorang khalifah di muka bumi maksudnya nabi Muhammad SAW..
BalasHapusseorang khalifah di muka bumi maksudnya nabi Muhammad SAW..
BalasHapuskalau menurut saya iya, tiap-tiap manusia adalah pemimpin namun tergantung manusia nya karna apa? karna sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sempurna yang mana manusia di ciptakan dengan adanya akal dan yg sesngguhnya hewan dan tumbuhan atau bahkan malaikat pun tak mempunyainya. dan Allah memberikan akal kepda manusia untuk menjadikan manusia sebagai pemimpin d bumi ini namun itu semua bergantung pada tiap-tiap induvidu manusia itu sendiri apakah ia bisa mengelola akal nya dengan baik atau tidak...
BalasHapussekian pendapat saya kak :-) jika ada salah dan kekurangan mohon di luruskan
hehe..telat niih
Khalifah adalah pemimpin (manusia), mulai dari nabi Adam hingga seluruh keturunannya. Pemimpin siapa?, setidaknya memimpin diri sendiri, karenanya setiap diri akan dimintai pertanggung-jawabannya sebagai khalifah sesuai dengan tingkatan kepemimpinannya, apakah hanya memimpin diri sendiri, keluarga, masyarakat tingkat RT, RW, dan seterusnya.
BalasHapusTrus contoh dari posisinya manusia itu apa?
BalasHapus