Pengalaman Cinta Para
Filsuf Dunia
“Aku tidak mau berpisah.”
“Aku juga.”
“Aku tidak mau.”
“Aku juga tidak mau.”
“Tidak mau. Pokoknya tidak
mau.”
“Jangan mau. Pokoknya
jangan mau.”
Cuplikan dialog yang bernada agresif di atas adalah
potongan kisah Seperseribu Detik Sebelum
Pukul 16.00 yang ditulis Seno Gumira Ajidarma (SGA) di harian Kompas edisi 9 Desember 2012. Lalu pada
dialog selanjutnya, SGA menulis:
“Kenapa kamu menghilang
begitu saja, ketika aku selalu menantimu sebelumnya?”
“Aku tak tahu kamu selalu
menantiku, tak pernah tahu. Dan tidak akan pernah pergi kalau tahu kamu selalu
menantiku, tak akan pernah…”
“Bagaimana kamu bisa tidak
tahu aku selalu menantimu seperti itu?”
“Bagaimana aku bisa tahu
kamu selalu menantiku seperti itu?”
“Aku selalu menantimu,
menunggu seperti perempuan dalam dogeng, sampai aku tahu harus menghadapi
kenyataan dan melupakanmu…”
“Tidak. Tidak mungkin.
Tidak mau…”
Saya tidak akan berbicara
panjang lebar perihal cerpen di atas. Apa yang saya cuplik tersebut hanyalah
untuk membuktikan bahwa kekuatan cinta memang luar biasa dampaknya. Ada sikap
agresif, posesif, dan protektif terhadap seseorang ketika cinta sudah memenjara
jiwa. Seperti kisah di atas, sepasang kekasih yang sudah mencapai usia senja
masih sempat-sempat saling berbagi rasa di tengah-tengah sempitnya waktu yang
akan memisahkan mereka. Bahkan karena tidak mau kehilangan, mereka berhasil memasung
waktu agar berhenti bergerak sehingga kebersamaan tetap selalu mengalir di
antara keduanya. Aneh memang. Tapi begitulah sketsanya..… ada-ada saja, kan?
Persoalan cinta sangat
beragam macam dan coraknya. Saya sendiri bingung ketika bercakap tentang term
yang satu ini. Bingung harus menyikapi bagaimana, toh hakikat cinta yang sebenarnya hanya dapat dirasakan dan
dinikmati saja. Tampaknya tidak ada bahasa atau definisi yang tepat untuk
mengidentifikasikannya. Apalagi, pengalaman bercinta setiap orang tidak mungkin
sama. Maka, mendefinisikannya pun pasti akan berbeda. Banyak kemudian yang muncul
definisi beragam, bahwa cinta itu luka, cinta itu nestapa, cinta itu bahagia,
cinta itu nikmat, cinta itu laknat, dan masih banyak lagi yang tentunya sesuai
dengan pengalaman cinta yang mereka hadapi.
Pernah suatu ketika Plato
dengan wajah bersungguh-sungguh bertanya pada gurunya, “apa itu cinta? Bagaimana
saya menemukannya?” Dengan bijak sang guru menjawab, “Ada ladang gandum yang
luas di depan sana. Berjalanlah lurus kamu ke sana tanpa boleh mundur
sedikitpun. Kemudian, ambil satu saja ranting itu. Jika kamu menemukan ranting
yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta.” Dari
jawaban itu tiba-tiba muncul pertanyaan di benak saya, apa sebenarnya makna
filosofis yang ingin disampaikan sang guru tentang cinta pada muridnya itu?
Jawabannya, biar saya serahkan pada masing-masing orang saja. Biarlah
masing-masing kita menafsirkannya secara berbeda.
Saya menyadari, tidak ada
hal menarik dari tulisan ini, karena cinta memang lumrah dan lazim dibicarakan
di mana saja dan oleh siapa saja. Lalu apa yang sekarang membuat saya tertarik
untuk menulis tema cinta? Kisah-Kisah
Cinta Penuh Drama Para Filsuf Dunia sempat menyita banyak waktu saya
akhir-akhir ini. Buku inilah yang memancing gairah menulis saya untuk
mengintroduksikan sejumlah kisah cinta yang mengharu biru pada diri filsuf
terkemuka. Setelah membaca buku itu saya jadi tahu ternyata para filsuf yang
selalu dikonotasikan dengan logika tidak mesti melupakan cinta. Mereka tidak
melulu berkutat dengan ide dan pemikiran-pemikiran progresif. Jauh di kedalaman
hatinya, ada cinta yang selalu menuntut untuk diekspresikan. Tak dinyana,
perjalanan kisah cinta mereka justru lebih dramatis, mengharukan, dan
menggetarkan.
Cobalah sekali-kali kita
intip kisah cinta Karl Marx yang dirinya
telah dibaptis sebagai nabi orang-orang komunis. Dalam aktivitasnya, kelakuan
Marx membuat resah sebagian besar kalangan pemerintah. Ia tidak hanya
mengkritik pemerintah melalui tulisan, melainkan juga memiliki kontak dengan
organisasi kiri Prancis, kaum sosialis, komunis, dan kalangan politikus Rusia
atau sebangsanya yang sefaham. Gerakan yang dibangunnya itu makar terhadap
sistem pemerintah, gereja, dan kalangan borjuis. Namun siapa sangka, di balik
sikap keras Marx ternyata ada sisi kelembutan yang ia simpan untuk perempuan yang
dicintainya. Untuk mengekspresikan cintanya itu, ia menuliskan sejumlah puisi
retoris untuk pujaan hatinya, Jenny Von Westphalen. Perempuan yang usianya
empat tahun lebih tua dari Marx itu sukses menggetarkan hatinya karena memiliki
sejuta pesona.
Perjalanan cinta mereka
penuh tantangan dan sempat tersandung restu orangtua Jenny yang merupakan
kalangan aristokrat. Mereka tidak ingin menyatukan putrinya dengan lelaki yang
berbeda secara kelas sosial. Alasan inilah yang disinyalir menjadi embrio lahirnya
gagasan antikelas yang diusung Marx karena rasa sakit hatinya pada golongan
aristokrat, di samping juga memberi jarak pada hubungannya dengan Jenny. Namun,
ia tidak patah arang untuk mencapai keinginan hidup bersama kekasihnya itu sehingga
restu orangtua Jenny benar-benar akan ia dapatkan. Sikap ambisius Marx ini
membenarkan adagium pemuda sekarang yang terjebak jaring-jaring asmara, dunia akan kukelilingi, puncak gunung akan
kudaki, lautan akan kuseberangi, untuk memenjarakanmu di sini, bersamaku. Atau,
apapun, akan aku lakukan, hanya karenamu.
Hingga akhirnya, cinta mereka
bersatu karena restu.
Kita tinggalkan Marx, mari
tilik juga kisah cinta filsuf dari Jerman yang lebih “menggila.” Namanya Martin
Heidegger. Siapa yang tidak kenal tokoh yang sangat familiar ini? Pamornya
sempat menggelembung ketika ia berhasil menyumbangkan ide fenomenologi,
hermeneutika, eksistensialisme, dekonstruksi, dan postmodernisme.
Kisah cintanya bermula saat
ia menjadi profesor dan dosen di Universitas Marburg. Kepiawaiannya
menyampaikan gagasan-gagasan brilian diam-diam menarik hati Hannah Arendt yang
waktu itu menjadi mahasiswa cerdas dan kelak juga menjadi filsuf kesohor. Cinta
buta Arendt pada Heidegger tidak jarang memunculkan tindakan-tindakan konyol dari
Arendt untuk patuh pada kekasihnya itu. Bayangkan saja, karena dimabuk cinta,
Arendt bersedia menjadi selingkuhan Heidegger yang sudah berkeluarga itu. Ia
mau saja disubordinasi oleh Heidegger. Yang lebih memprihatinkan, Heidegger
tidak hanya selingkuh dengan satu dua perempuan saja, tetapi banyak perempuan.
Meski demikian, Arendt tetap membela dan menyelamatkan sang kekasih dari beberapa
persoalan yang membelenggunya tanpa mempersoalkan tindakan Heidegger yang
semena-mena padanya. Kenapa? Lagi-lagi ini karena satu alasan, cinta.
Saya sendiri merasa risih
dengan tindakan Heidegger yang sangat despotis itu. Ah, sudahlah, tidak perlu
mempersoalkan itu. Mari pindah saja pada kisah cinta yang lebih “unik” dan
menyayat hati. Yang ini cerita cinta si “Pembunuh Tuhan” alias Friedrich
Nietzsche. Sekuat-kuat mentalnya Nietzsche, ternyata ia masih bisa menumpahkan
air mata. Ada apa dengannya? Ia terjebak cinta segi tiga antara dirinya,
sahabatnya (Paul Ree), dan kekasihnya (Lou Salome). Sosok Lou Salome memang
bukan perempuan biasa. Wajar saja banyak kumbang yang berlomba-lomba ingin
menghisap madunya. Selain berparas cantik, ia adalah sosok yang bersahaja dan
cerdas. Tidak hanya Nietzsche dan sahabatnya itu yang terpikat, gurunya sendiri
rela menceraikan istrinya hanya untuk mempersunting Lou. Untung saja, Lou bukan
tipe wanita yang gampang menerima tawaran cinta laki-laki.
Sebagai laki-laki yang
punya popularitas cukup tinggi waktu itu, Nietzsche merasa sakit hati ketika
tahu cintanya bertepuk sebelah tangan. Si perempuan tidak menaruh hati padanya.
Padahal cinta yang ia miliki bukan cinta picisan yang mudah tumbuh dan tumbang.
Karena cinta yang mengakar kuat, Nietzsche tidak berhenti begitu saja untuk
mengejar Lou. Bahkan tak segan ia mendatangi kediaman Lou sebanyak tiga kali
untuk melamarnya dalam kurun waktu tujuh bulan. Tapi upaya itu tak berhasil.
Hati Lou masih tertutup rapat untuknya. Dan yang lebih memukul hati Nietzsche,
Lou lebih memilih hidup bersama Paul Ree, sahabatnya sendiri. Pada saat itulah,
kekecewaan yang bertubi menggelayuti hidupnya.
Beragam kisah cinta
tersebut sedikit banyak memberi pemahaman pada kita bahwa cinta berpotensi
melahirkan kebahagiaan dan kesengsaraan tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Ibarat segenggam garam, rasa asin akan sangat terasa ketika garam itu
dilarutkan ke dalam segelas air. Tapi akan beda rasanya ketika garam itu kita
lemparkan ke dalam luasnya samudera. Apa yang akan dirasakan? Tidak ada. Nah, begitulah cinta. Kendatipun gagal
bercita, jika kita mampu menetralisir jiwa, maka hal itu tidak akan berpengaruh
apa-apa. Kita mesti meluaskan hati untuk menerima apapun yang terjadi, termasuk
gagalnya menyatukan cinta.
Belajar dari kisah cinta
filsuf tadi, ketulusan mencintai kerap kali tidak menuntut banyak terhadap
orang yang dicintai. Melihatnya bahagia, itu sudah cukup. Meski banyak orang
yang meyakini bahwa cinta selalu menuntut untuk memiliki (bukan menguasai),
tetapi saya meyakini cinta platonik itu ada meski hanya terjadi pada beberapa
orang saja. Pengalaman seperti itu pernah saya temui. Cinta Hannah Arendt pada
Heidegger bisa dijadikan contoh dalam hal ini. Ia rela melakukan apa saja untuk
kekasihnya meski balasannya sangat buruk dan membuatnya terpedaya. Ia hanya
ingin mencintai saja, hanya ingin melihat kekasihnya bahagia meski ia tidak
bisa hidup bersamanya.
Pengalaman kisah cinta kita
bisa jadi lebih menarik dari kisah para
filsuf tadi. Saya dan Anda sebenarnya bisa mengabadikannya dalam beragam bentuk
tulisan agar bisa terus dikenang. Dan itu, menurut saya, lebih baik karena
semakin menjadikan kita produktif menulis. Menurut Ariev Syauqi dalam bukunya, Karena Aku Rindu Kamu, cinta yang
mendatangkan kebermanfaatan bagi kita adalah cinta yang produktif, yang
menjadikan kita semakin lebih baik. Seperti apa kisah cinta Anda? Saya tunggu. The last, selamat menulis…
Rumah FLP, 12 Januari 2013
Okkkee... Semangat
BalasHapusHahaha...
BalasHapus