Halaman

Sabtu, 17 Agustus 2013



Pengalaman Cinta Para Filsuf Dunia
“Aku tidak mau berpisah.”
“Aku juga.”
“Aku tidak mau.”
“Aku juga tidak mau.”
“Tidak mau. Pokoknya tidak mau.”
“Jangan mau. Pokoknya jangan mau.”
            Cuplikan dialog yang bernada agresif di atas adalah potongan kisah Seperseribu Detik Sebelum Pukul 16.00 yang ditulis Seno Gumira Ajidarma (SGA) di harian Kompas edisi 9 Desember 2012. Lalu pada dialog selanjutnya, SGA menulis:
“Kenapa kamu menghilang begitu saja, ketika aku selalu menantimu sebelumnya?”
“Aku tak tahu kamu selalu menantiku, tak pernah tahu. Dan tidak akan pernah pergi kalau tahu kamu selalu menantiku, tak akan pernah…”
“Bagaimana kamu bisa tidak tahu aku selalu menantimu seperti itu?”
“Bagaimana aku bisa tahu kamu selalu menantiku seperti itu?”
“Aku selalu menantimu, menunggu seperti perempuan dalam dogeng, sampai aku tahu harus menghadapi kenyataan dan melupakanmu…”
“Tidak. Tidak mungkin. Tidak mau…”
Saya tidak akan berbicara panjang lebar perihal cerpen di atas. Apa yang saya cuplik tersebut hanyalah untuk membuktikan bahwa kekuatan cinta memang luar biasa dampaknya. Ada sikap agresif, posesif, dan protektif terhadap seseorang ketika cinta sudah memenjara jiwa. Seperti kisah di atas, sepasang kekasih yang sudah mencapai usia senja masih sempat-sempat saling berbagi rasa di tengah-tengah sempitnya waktu yang akan memisahkan mereka. Bahkan karena tidak mau kehilangan, mereka berhasil memasung waktu agar berhenti bergerak sehingga kebersamaan tetap selalu mengalir di antara keduanya. Aneh memang. Tapi begitulah sketsanya..… ada-ada saja, kan?
Persoalan cinta sangat beragam macam dan coraknya. Saya sendiri bingung ketika bercakap tentang term yang satu ini. Bingung harus menyikapi bagaimana, toh hakikat cinta yang sebenarnya hanya dapat dirasakan dan dinikmati saja. Tampaknya tidak ada bahasa atau definisi yang tepat untuk mengidentifikasikannya. Apalagi, pengalaman bercinta setiap orang tidak mungkin sama. Maka, mendefinisikannya pun pasti akan berbeda. Banyak kemudian yang muncul definisi beragam, bahwa cinta itu luka, cinta itu nestapa, cinta itu bahagia, cinta itu nikmat, cinta itu laknat, dan masih banyak lagi yang tentunya sesuai dengan pengalaman cinta yang mereka hadapi.
Pernah suatu ketika Plato dengan wajah bersungguh-sungguh bertanya pada gurunya, “apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya?” Dengan bijak sang guru menjawab, “Ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah lurus kamu ke sana tanpa boleh mundur sedikitpun. Kemudian, ambil satu saja ranting itu. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta.” Dari jawaban itu tiba-tiba muncul pertanyaan di benak saya, apa sebenarnya makna filosofis yang ingin disampaikan sang guru tentang cinta pada muridnya itu? Jawabannya, biar saya serahkan pada masing-masing orang saja. Biarlah masing-masing kita menafsirkannya secara berbeda.
Saya menyadari, tidak ada hal menarik dari tulisan ini, karena cinta memang lumrah dan lazim dibicarakan di mana saja dan oleh siapa saja. Lalu apa yang sekarang membuat saya tertarik untuk menulis tema cinta? Kisah-Kisah Cinta Penuh Drama Para Filsuf Dunia sempat menyita banyak waktu saya akhir-akhir ini. Buku inilah yang memancing gairah menulis saya untuk mengintroduksikan sejumlah kisah cinta yang mengharu biru pada diri filsuf terkemuka. Setelah membaca buku itu saya jadi tahu ternyata para filsuf yang selalu dikonotasikan dengan logika tidak mesti melupakan cinta. Mereka tidak melulu berkutat dengan ide dan pemikiran-pemikiran progresif. Jauh di kedalaman hatinya, ada cinta yang selalu menuntut untuk diekspresikan. Tak dinyana, perjalanan kisah cinta mereka justru lebih dramatis, mengharukan, dan menggetarkan.
Cobalah sekali-kali kita intip kisah cinta  Karl Marx yang dirinya telah dibaptis sebagai nabi orang-orang komunis. Dalam aktivitasnya, kelakuan Marx membuat resah sebagian besar kalangan pemerintah. Ia tidak hanya mengkritik pemerintah melalui tulisan, melainkan juga memiliki kontak dengan organisasi kiri Prancis, kaum sosialis, komunis, dan kalangan politikus Rusia atau sebangsanya yang sefaham. Gerakan yang dibangunnya itu makar terhadap sistem pemerintah, gereja, dan kalangan borjuis. Namun siapa sangka, di balik sikap keras Marx ternyata ada sisi kelembutan yang ia simpan untuk perempuan yang dicintainya. Untuk mengekspresikan cintanya itu, ia menuliskan sejumlah puisi retoris untuk pujaan hatinya, Jenny Von Westphalen. Perempuan yang usianya empat tahun lebih tua dari Marx itu sukses menggetarkan hatinya karena memiliki sejuta pesona. 
Perjalanan cinta mereka penuh tantangan dan sempat tersandung restu orangtua Jenny yang merupakan kalangan aristokrat. Mereka tidak ingin menyatukan putrinya dengan lelaki yang berbeda secara kelas sosial. Alasan inilah yang disinyalir menjadi embrio lahirnya gagasan antikelas yang diusung Marx karena rasa sakit hatinya pada golongan aristokrat, di samping juga memberi jarak pada hubungannya dengan Jenny. Namun, ia tidak patah arang untuk mencapai keinginan hidup bersama kekasihnya itu sehingga restu orangtua Jenny benar-benar akan ia dapatkan. Sikap ambisius Marx ini membenarkan adagium pemuda sekarang yang terjebak jaring-jaring asmara, dunia akan kukelilingi, puncak gunung akan kudaki, lautan akan kuseberangi, untuk memenjarakanmu di sini, bersamaku. Atau, apapun, akan aku lakukan, hanya karenamu. Hingga  akhirnya, cinta mereka bersatu karena restu.
Kita tinggalkan Marx, mari tilik juga kisah cinta filsuf dari Jerman yang lebih “menggila.” Namanya Martin Heidegger. Siapa yang tidak kenal tokoh yang sangat familiar ini? Pamornya sempat menggelembung ketika ia berhasil menyumbangkan ide fenomenologi, hermeneutika, eksistensialisme, dekonstruksi, dan postmodernisme.
Kisah cintanya bermula saat ia menjadi profesor dan dosen di Universitas Marburg. Kepiawaiannya menyampaikan gagasan-gagasan brilian diam-diam menarik hati Hannah Arendt yang waktu itu menjadi mahasiswa cerdas dan kelak juga menjadi filsuf kesohor. Cinta buta Arendt pada Heidegger tidak jarang memunculkan tindakan-tindakan konyol dari Arendt untuk patuh pada kekasihnya itu. Bayangkan saja, karena dimabuk cinta, Arendt bersedia menjadi selingkuhan Heidegger yang sudah berkeluarga itu. Ia mau saja disubordinasi oleh Heidegger. Yang lebih memprihatinkan, Heidegger tidak hanya selingkuh dengan satu dua perempuan saja, tetapi banyak perempuan. Meski demikian, Arendt tetap membela dan menyelamatkan sang kekasih dari beberapa persoalan yang membelenggunya tanpa mempersoalkan tindakan Heidegger yang semena-mena padanya. Kenapa? Lagi-lagi ini karena satu alasan, cinta.
Saya sendiri merasa risih dengan tindakan Heidegger yang sangat despotis itu. Ah, sudahlah, tidak perlu mempersoalkan itu. Mari pindah saja pada kisah cinta yang lebih “unik” dan menyayat hati. Yang ini cerita cinta si “Pembunuh Tuhan” alias Friedrich Nietzsche. Sekuat-kuat mentalnya Nietzsche, ternyata ia masih bisa menumpahkan air mata. Ada apa dengannya? Ia terjebak cinta segi tiga antara dirinya, sahabatnya (Paul Ree), dan kekasihnya (Lou Salome). Sosok Lou Salome memang bukan perempuan biasa. Wajar saja banyak kumbang yang berlomba-lomba ingin menghisap madunya. Selain berparas cantik, ia adalah sosok yang bersahaja dan cerdas. Tidak hanya Nietzsche dan sahabatnya itu yang terpikat, gurunya sendiri rela menceraikan istrinya hanya untuk mempersunting Lou. Untung saja, Lou bukan tipe wanita yang gampang menerima tawaran cinta laki-laki.
Sebagai laki-laki yang punya popularitas cukup tinggi waktu itu, Nietzsche merasa sakit hati ketika tahu cintanya bertepuk sebelah tangan. Si perempuan tidak menaruh hati padanya. Padahal cinta yang ia miliki bukan cinta picisan yang mudah tumbuh dan tumbang. Karena cinta yang mengakar kuat, Nietzsche tidak berhenti begitu saja untuk mengejar Lou. Bahkan tak segan ia mendatangi kediaman Lou sebanyak tiga kali untuk melamarnya dalam kurun waktu tujuh bulan. Tapi upaya itu tak berhasil. Hati Lou masih tertutup rapat untuknya. Dan yang lebih memukul hati Nietzsche, Lou lebih memilih hidup bersama Paul Ree, sahabatnya sendiri. Pada saat itulah, kekecewaan yang bertubi menggelayuti hidupnya.
Beragam kisah cinta tersebut sedikit banyak memberi pemahaman pada kita bahwa cinta berpotensi melahirkan kebahagiaan dan kesengsaraan tergantung bagaimana kita menyikapinya. Ibarat segenggam garam, rasa asin akan sangat terasa ketika garam itu dilarutkan ke dalam segelas air. Tapi akan beda rasanya ketika garam itu kita lemparkan ke dalam luasnya samudera. Apa yang akan dirasakan? Tidak ada. Nah, begitulah cinta. Kendatipun gagal bercita, jika kita mampu menetralisir jiwa, maka hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Kita mesti meluaskan hati untuk menerima apapun yang terjadi, termasuk gagalnya menyatukan cinta.
Belajar dari kisah cinta filsuf tadi, ketulusan mencintai kerap kali tidak menuntut banyak terhadap orang yang dicintai. Melihatnya bahagia, itu sudah cukup. Meski banyak orang yang meyakini bahwa cinta selalu menuntut untuk memiliki (bukan menguasai), tetapi saya meyakini cinta platonik itu ada meski hanya terjadi pada beberapa orang saja. Pengalaman seperti itu pernah saya temui. Cinta Hannah Arendt pada Heidegger bisa dijadikan contoh dalam hal ini. Ia rela melakukan apa saja untuk kekasihnya meski balasannya sangat buruk dan membuatnya terpedaya. Ia hanya ingin mencintai saja, hanya ingin melihat kekasihnya bahagia meski ia tidak bisa hidup bersamanya.
Pengalaman kisah cinta kita bisa jadi lebih  menarik dari kisah para filsuf tadi. Saya dan Anda sebenarnya bisa mengabadikannya dalam beragam bentuk tulisan agar bisa terus dikenang. Dan itu, menurut saya, lebih baik karena semakin menjadikan kita produktif menulis. Menurut Ariev Syauqi dalam bukunya, Karena Aku Rindu Kamu, cinta yang mendatangkan kebermanfaatan bagi kita adalah cinta yang produktif, yang menjadikan kita semakin lebih baik. Seperti apa kisah cinta Anda? Saya tunggu. The last, selamat menulis…


Rumah FLP, 12 Januari 2013

2 komentar: