Kejutan Tak Terduga
Mengawali tulisan ini, saya
teringat perkataan Ustadz Abu Marwa dalam buku 24 Jam Sebelum Menikah: Hikmah Menikah dalam Kisah-Kisah Menggetarkan.
Beliau mengatakan begini, “Perjalanan hidup ini tidak selalu dapat dihitung
dengan matematika. Ada nilai dan angka yang datang secara tiba-tiba dan tak
terduga.” Mendengar itu, saya
tersenyum simpul. Betul sekali, adakalanya hal yang menimpa kita datang tanpa
terencana dan tidak terprediksi sebelumnya. Tuhan Yang Kuasa tidak kehabisan cara
untuk mendatangkan kejutan-kejutan tak terduga pada hambanya yang meminta. The big surprise dariNya, begitu saya
mengistilahkannya.
Sejauh perjalanan hidup
manusia, kompleksitas persoalan pasti selalu mengintai dan kerap kali datang. Biasanya,
mudah sekali saat itu kita kecewa dan mengelus dada ketika yang nyata tak
sesuai dengan apa yang kita pinta. Karena kecewa yang sangat, tak jarang kita
menyalahkan dan “menghakimi” Tuhan sembari bertanya-tanya, kenapa jadinya harus
begini Tuhan? Kenapa harus saya? Apakah saya tidak pantas mengecap bahagia?
Apakah saya lebih layak berselimut duka? dan tanya-tanya lain. Jelas sekali,
pertanyaan bernada satire ini menandakan keputusasaan seseorang. Putus asa pada
rahmat Allah. Merasa dirinyalah yang paling berduka di dunia. …Wa lâ taiasuu min rauhillahi innahû lâ yaiasu min rauhillahi illa al-qaumul kâfirûn.
(QS. Yusuf: 87)
Kalau mau berbicara duka,
tentu lebih banyak orang yang lebih buruk nasibnya daripada kita. Tapi mereka
tampak tenang-tenang saja. Mereka lapang dada menerima apa yang ada. Mereka
bahagia. Sementara kita, tak jarang kita langsung protes pada Allah ketika
menerima keputusanNya yang tak sesuai harap. Padahal, Allah selalu punya cara yang
unik untuk membuat hambaNya bahagia. Di balik kesedihan yang kita hadapi,
yakinilah ada kejutan yang tengah menanti. Sederhananya, kebahagiaan itu tidak
terdapat di tempat-tempat yang terlihat menyenangkan. Tetapi ia ada di sini, di
hati. Selama hati kita lapang, hatipun akan menjadi riang.
Suatu ketika, tanpa sengaja
saya menemukan secarik kertas yang terdapat dalam buku yang saya pinjam pada
seorang sahabat. Awalnya saya tampak ragu untuk membukanya, mengingat saya
belum mendapatkan izin waktu itu. Lama berpikir, akhirnya tak apalah, saya coba
baca dulu. Saya yakin dia tidak keberatan. Siapa tahu ada hikmah yang dapat
saya pungut dari kertas yang makin lusuh itu.
Saya buka lembar pertama,
kurang lebih isinya begini…
Miris
memang ketika saya sendiri tidak bisa berbuat adil pada Tuhan. Bersyukur
kepadaNya hanya ketika bisa tertawa, memujiNya ketika Dia berada di pihak saya,
dan “mencumbuiNya” bila saya ditimpa bahagia. Tapi, keadaan ini akan berubah
seketika tatkala kenyataan hidup terasa menghimpit jiwa. Sakitlah yang akan
dirasa. Kecewalah yang pasti datang tiba-tiba. Maka, Tuhanpun akan “dihakimi”
karena diri ini merasa tidak berarti apa-apa. Padahal, sudah ada kesadaran
sebelumnya bahwa ini hanyalah ujian Tuhan untuk menguji seberapa besar
kesetiaan cinta kita padaNya. Ah, dasar manusia, selalu saja ingin dimanja.
Sayang…
Perjalanan
yang kita tempuh kali ini hampir purna. Cahaya yang akan kita gapai di ujung
jalan itu semakin terlihat jelas di pelupuk mata. Ada yang bahagia; saya, kau,
mereka, dan orang-orang yang menyayangi kita. Pada akhirnya, rasa ini menemukan
muaranya setelah sekian lama mengembara. Kenapa kau? Kenapa saya? Sesuatu yang
barangkali tidak kita inginkan sebelumnya. Tapi ini nyata adanya. Kita berdua
sama-sama merasakannya. Sadarkah kau? Inilah kejutan pertama bagi kita.
Saat
ini saya menyadari, tidak ada yang perlu disalahkan, tidak dirimu, tidak
diriku, tidak pula Tuhan. Hidup ini
adalah proses panjang yang mesti dilalui dengan tenang. Apapun rasanya. Apa
yang menimpa manusia tidak akan melebihi batas kemampuan yang mereka miliki.
Allah tidak mungkin tega mendhalimi. Semua sandiwara hidup kita sudah dirancang
sedemikian rupa oleh Sutradara. Dialah sutradara yang paling handal, Yang
begitu lihai membuat ending kehidupan. Hal itu terbukti pada kita sekarang.
Lembar
kedua…
Sayang…
Malam
ini saya berteman sepi. Di bawah pendar purnama, temanilah saya untuk berbagi
cerita. Saya tak mau menikmati purnama sendiri. Saya perlu kamu untuk merengkuh
saya di sini. Walau hanya bayangmu, tak apalah. Duduklah di samping saya. Ini
kisah tentang hati saya yang pernah sepi. Tentang hati saya dahulu yang belum
menempatkanmu di sini. Dari jejak awal saya menanti cinta yang tepat hingga
akhirnya bagaimana petualangan saya menemukanmu.
Sebelumnya,
hati ini tak berpenghuni. Sepi sekali. Pintu hati masih tertutup rapat. Belum
ada yang berhasil membukanya. Selalu saja ada yang datang menawarkan kunci,
tapi kunci itu sering kali tidak mampu membuka. Entah, saya tidak tahu kenapa.
Bahkan, saya sendiri bertanya-tanya, kunci seperti apa yang kuasa membuka pintu
hati yang masih tertutup ini? Hmm, sudahlah! Saya pasrah saja. Menunggu sang
pangeran tiba pada waktunya.
Dulu,
ada yang bertanya begini pada saya, “Lebih sakit mana antara dicintai dan
mencintai?” saya langsung jawab, “Mencintai.” Dia lalu berkata, “Tapi bagi saya
dicintai, yakni ketika yang dicintai tak mampu membalas seperti yang diberi
orang yang mencintai.” Saya hanya diam. Tanpa ada respon. Barangkali dia
bermaksud menyinggung saya. Dia terus saja berkata-kata, “Sudahlah, kau tak
perlu berapologi. Kau tak perlu berkamuflase di balik kata-kata yang nisbi.
Katakan saja, kalau kau sebenarnya menginginkan bangunan filantropi, bangunan
cinta yang ingin kau bangun bersamanya. Kenapa kau tidak
menerimanya?” Jelas saja hati saya tak terima dikatakan begitu. Segera saya
menjawab, “Ah, mudah sekali kau mengatakan begitu. Siapa yang bisa memaksa
hati? Siapa yang bisa mengundang cinta? Cinta akan datang dengan sendirinya
tanpa perlu direkayasa. Tentu, hati saya nanti akan berlabuh pada dermaga yang
tepat. Tak perlu kau yang memaksa.” Ini cerita dulu, sekitar dua tahun yang
lalu. Saat saya masih dihadapkan dengan
orang-orang yang—bagi saya—belum tepat.
Ada
cerita lain sebelumnya, saya berani mengambil keputusan untuk memasang puzzle cinta dengan seseorang,
puzzle yang akan menjadi saksi setelah kami berkeluarga nanti. Tapi entahlah, belum utuh puzzle itu kami
pasang, tiba-tiba dia tidak betah untuk menyempurnakan kepingan itu. Dia lebih
memilih pergi tanpa ada kehendak untuk tahu bagaimana bentuk sempurna kisah
kami. Saya meyakini ini adalah teguran Tuhan. Ia tak menginginkan saya menjadi
miliknya, karena Dia sudah menyediakan yang lebih baik untuk saya dan yang
lebih baik untuk dirinya.
Anda ingin tahu lanjutan
kisahnya? Baiklah, saya bacakan lagi. Lembar ketiga…
Masa
berlalu…. Ramadhan 1433 H. benar-benar mendatangkan berkah. Saya merasa cinta
itu semakin dekat. Padahal masih belum ada siapa yang terlihat. Barangkali ini
telepati dan chemistry yang kuat. Sekedar memberitahu bahwa sang
pangeran akan tiba di waktu yang relatif singkat. Saya biarkan waktu yang
mengungkap walau ia datang tanpa memberitahu dengan cepat. Saya yakini saja,
bahwa cerita cinta akan mengalir dengan sendirinya, dengan bagaimanapun
caranya.
Lalu…. Benar. Ia benar-benar datang.
Menawarkan secawan cinta untuk saya teguk bersamanya. Tidak seperti biasanya,
saya menerima tawaran itu seketika. Aneh rasanya, cerita ini mengalir begitu
cepat seperti kilat. Pintu hati ini terbuka dengan mudah. Ia berhasil menemukan
kuncinya. Kunci yang sejak semula saya cari di seantero bumi. Rahasia Tuhan
memang terasa sulit diterka. Ternyata, ia memang orang yang begitu dekat. Yang
selalu datang menemani di malam yang pekat. Ah, mengejutkan sekali rasanya.
Lagi-lagi saya katakan, ini nyata adanya.
Mencoba bertanya pada diri sendiri,
kenapa bisa rebah dalam “pelukan” cintanya? Apa pesona yang dimilikinya hingga
membuat saya terpana? Entah, saya hanya mampu diam. Tidak ada jawaban pasti.
Yang jelas, cinta datang dengan sendirinya. Dari mana dan bagaimana caranya,
itu tidak perlu ditanya. Materi atau apapun namanya tak layak jadi pengukurnya,
karena ini adalah anugerah istimewa yang Tuhan berikan pada setiap hambaNya.
Malam ini, saya hanya ingin mengatakan begini padanya, terimakasih… kau berhasil
menjadi dermaga, untuk layar perahu cintaku. Mengajakku melambai pasti, pada
sederet ragam sakit di masa lalu.
Sayang…
Perjuangan
kita tidak lantas berhenti di situ. Perjalanan kita masih panjang, katamu
dahulu. Perjalanan yang kita tempuh amat berliku dan penuh debu. Debu halus itu
bisa jadi akan mengempas kita pada jurang yang curam. Kerikil-kerikil tajam
juga terlihat bengal menghalangi perjalanan cinta kita. Tinggal bagaimana kita
mampu menyingkirkan itu semua. Seperti kemarin, saat kita nyaris putus asa,
saat kita hampir positif membuang cinta, saat kita harus rela menahan sakit
yang jumawa, tiba-tiba saja keajaiban Tuhan datang tanpa diduga. Kita
ditakdirkan untuk bersama. Aah, ingin tersenyum saja kala mengingatnya. Inilah
kejutan kedua kita. “Fabiayyi âlâi rabbikumâ
tukadzdzibân.” (QS. Ar-Rahman: 13)
Semua pasti akan terasa indah ketika
sudah sampai waktunya. Saya berhasil mendapatkan madu setelah sebelumnya
mengecap empedu. Ibrah penting yang saya
dapat adalah selalu positif thinking pada Tuhan pasti akan mendatangkan
kebahagiaan. Dia tidak akan salah memberi pasangan pada hambaNya. Semua sudah
ada dalam garis aturanNya. Kita sendiri juga belum tahu, siapakah di masa depan
yang akan menemani hidup kita. Ini masih menjadi rahasia. Kita hanya bisa
berdoa dan berusaha. Endingnya, biar Tuhan saja yang menjawabnya. Kita tidak punya kuasa apa-apa.
Sekarang, kita boleh tersenyum bangga. Menikmati bahagia yang
menimpa kita. Tapi, ini belum menjadi ujung proses. Apa yang akan terjadi esok
masih belum bisa terbaca secara utuh. Sekali lagi, aral pasti akan ada di
hadapan kita, seperti apapun motifnya. Mari temani saya melewati ini semua.
Semoga Tuhan tetap memberi petunjuk dan rahmatNya untuk kita. Semoga langkah
yang kita tetapkan adalah jawaban dari doa-doa yang kita panjatkan. Amien…
Saya tutup lembaran itu
dengan rasa haru. Ternyata sahabat saya itu pernah mengalami situasi yang membuat jiwanya berguncang. Tetapi
akhirnya ia menemukan kebahagiaan yang lebih dari sekedar apa yang ia pikirkan. Lagi-lagi ini persoalan cinta
yang acap kali tidak menemukan ujung penyelesaian. Cerita di atas membuat saya
malu pada Tuhan. Malu karena sering berburuk sangka padaNya tiap kali saya
menyapu air mata. Lalu bagaimana dengan Anda?
Rumah FLP, 8 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar