Halaman

Sabtu, 17 Agustus 2013



Kejutan Tak Terduga
Mengawali tulisan ini, saya teringat perkataan Ustadz Abu Marwa dalam buku 24 Jam Sebelum Menikah: Hikmah Menikah dalam Kisah-Kisah Menggetarkan. Beliau mengatakan begini, “Perjalanan hidup ini tidak selalu dapat dihitung dengan matematika. Ada nilai dan angka yang datang secara tiba-tiba dan tak terduga.” Mendengar itu, saya tersenyum simpul. Betul sekali, adakalanya hal yang menimpa kita datang tanpa terencana dan tidak terprediksi sebelumnya. Tuhan Yang Kuasa tidak kehabisan cara untuk mendatangkan kejutan-kejutan tak terduga pada hambanya yang meminta. The big surprise dariNya, begitu saya mengistilahkannya.
Sejauh perjalanan hidup manusia, kompleksitas persoalan pasti selalu mengintai dan kerap kali datang. Biasanya, mudah sekali saat itu kita kecewa dan mengelus dada ketika yang nyata tak sesuai dengan apa yang kita pinta. Karena kecewa yang sangat, tak jarang kita menyalahkan dan “menghakimi” Tuhan sembari bertanya-tanya, kenapa jadinya harus begini Tuhan? Kenapa harus saya? Apakah saya tidak pantas mengecap bahagia? Apakah saya lebih layak berselimut duka? dan tanya-tanya lain. Jelas sekali, pertanyaan bernada satire ini menandakan keputusasaan seseorang. Putus asa pada rahmat Allah. Merasa dirinyalah yang paling berduka di dunia. …Wa lâ taiasuu min rauhillahi innahû lâ yaiasu min rauhillahi illa al-qaumul kâfirûn. (QS. Yusuf: 87)
Kalau mau berbicara duka, tentu lebih banyak orang yang lebih buruk nasibnya daripada kita. Tapi mereka tampak tenang-tenang saja. Mereka lapang dada menerima apa yang ada. Mereka bahagia. Sementara kita, tak jarang kita langsung protes pada Allah ketika menerima keputusanNya yang tak sesuai harap. Padahal, Allah selalu punya cara yang unik untuk membuat hambaNya bahagia. Di balik kesedihan yang kita hadapi, yakinilah ada kejutan yang tengah menanti. Sederhananya, kebahagiaan itu tidak terdapat di tempat-tempat yang terlihat menyenangkan. Tetapi ia ada di sini, di hati. Selama hati kita lapang, hatipun akan menjadi riang.
Suatu ketika, tanpa sengaja saya menemukan secarik kertas yang terdapat dalam buku yang saya pinjam pada seorang sahabat. Awalnya saya tampak ragu untuk membukanya, mengingat saya belum mendapatkan izin waktu itu. Lama berpikir, akhirnya tak apalah, saya coba baca dulu. Saya yakin dia tidak keberatan. Siapa tahu ada hikmah yang dapat saya pungut dari kertas yang makin lusuh itu.
Saya buka lembar pertama, kurang lebih isinya begini…
Miris memang ketika saya sendiri tidak bisa berbuat adil pada Tuhan. Bersyukur kepadaNya hanya ketika bisa tertawa, memujiNya ketika Dia berada di pihak saya, dan “mencumbuiNya” bila saya ditimpa bahagia. Tapi, keadaan ini akan berubah seketika tatkala kenyataan hidup terasa menghimpit jiwa. Sakitlah yang akan dirasa. Kecewalah yang pasti datang tiba-tiba. Maka, Tuhanpun akan “dihakimi” karena diri ini merasa tidak berarti apa-apa. Padahal, sudah ada kesadaran sebelumnya bahwa ini hanyalah ujian Tuhan untuk menguji seberapa besar kesetiaan cinta kita padaNya. Ah, dasar manusia, selalu saja ingin dimanja.
Sayang…       
Perjalanan yang kita tempuh kali ini hampir purna. Cahaya yang akan kita gapai di ujung jalan itu semakin terlihat jelas di pelupuk mata. Ada yang bahagia; saya, kau, mereka, dan orang-orang yang menyayangi kita. Pada akhirnya, rasa ini menemukan muaranya setelah sekian lama mengembara. Kenapa kau? Kenapa saya? Sesuatu yang barangkali tidak kita inginkan sebelumnya. Tapi ini nyata adanya. Kita berdua sama-sama merasakannya. Sadarkah kau? Inilah kejutan pertama bagi kita.
Saat ini saya menyadari, tidak ada yang perlu disalahkan, tidak dirimu, tidak diriku, tidak pula  Tuhan. Hidup ini adalah proses panjang yang mesti dilalui dengan tenang. Apapun rasanya. Apa yang menimpa manusia tidak akan melebihi batas kemampuan yang mereka miliki. Allah tidak mungkin tega mendhalimi. Semua sandiwara hidup kita sudah dirancang sedemikian rupa oleh Sutradara. Dialah sutradara yang paling handal, Yang begitu lihai membuat ending kehidupan. Hal itu terbukti pada kita sekarang.
           
            Lembar kedua…
            Sayang…
Malam ini saya berteman sepi. Di bawah pendar purnama, temanilah saya untuk berbagi cerita. Saya tak mau menikmati purnama sendiri. Saya perlu kamu untuk merengkuh saya di sini. Walau hanya bayangmu, tak apalah. Duduklah di samping saya. Ini kisah tentang hati saya yang pernah sepi. Tentang hati saya dahulu yang belum menempatkanmu di sini. Dari jejak awal saya menanti cinta yang tepat hingga akhirnya bagaimana petualangan saya menemukanmu.
Sebelumnya, hati ini tak berpenghuni. Sepi sekali. Pintu hati masih tertutup rapat. Belum ada yang berhasil membukanya. Selalu saja ada yang datang menawarkan kunci, tapi kunci itu sering kali tidak mampu membuka. Entah, saya tidak tahu kenapa. Bahkan, saya sendiri bertanya-tanya, kunci seperti apa yang kuasa membuka pintu hati yang masih tertutup ini? Hmm, sudahlah! Saya pasrah saja. Menunggu sang pangeran tiba pada waktunya.
Dulu, ada yang bertanya begini pada saya, “Lebih sakit mana antara dicintai dan mencintai?” saya langsung jawab, “Mencintai.” Dia lalu berkata, “Tapi bagi saya dicintai, yakni ketika yang dicintai tak mampu membalas seperti yang diberi orang yang mencintai.” Saya hanya diam. Tanpa ada respon. Barangkali dia bermaksud menyinggung saya. Dia terus saja berkata-kata, “Sudahlah, kau tak perlu berapologi. Kau tak perlu berkamuflase di balik kata-kata yang nisbi. Katakan saja, kalau kau sebenarnya menginginkan bangunan filantropi, bangunan cinta yang ingin  kau  bangun bersamanya. Kenapa kau tidak menerimanya?” Jelas saja hati saya tak terima dikatakan begitu. Segera saya menjawab, “Ah, mudah sekali kau mengatakan begitu. Siapa yang bisa memaksa hati? Siapa yang bisa mengundang cinta? Cinta akan datang dengan sendirinya tanpa perlu direkayasa. Tentu, hati saya nanti akan berlabuh pada dermaga yang tepat. Tak perlu kau yang memaksa.” Ini cerita dulu, sekitar dua tahun yang lalu. Saat  saya masih dihadapkan dengan orang-orang yang—bagi saya—belum tepat.
Ada cerita lain sebelumnya, saya berani mengambil keputusan untuk  memasang puzzle cinta dengan seseorang, puzzle yang akan menjadi saksi setelah kami berkeluarga nanti.  Tapi entahlah, belum utuh puzzle itu kami pasang, tiba-tiba dia tidak betah untuk menyempurnakan kepingan itu. Dia lebih memilih pergi tanpa ada kehendak untuk tahu bagaimana bentuk sempurna kisah kami. Saya meyakini ini adalah teguran Tuhan. Ia tak menginginkan saya menjadi miliknya, karena Dia sudah menyediakan yang lebih baik untuk saya dan yang lebih baik untuk dirinya.
Anda ingin tahu lanjutan kisahnya? Baiklah, saya bacakan lagi. Lembar ketiga…
Masa berlalu…. Ramadhan 1433 H. benar-benar mendatangkan berkah. Saya merasa cinta itu semakin dekat. Padahal masih belum ada siapa yang terlihat. Barangkali ini telepati dan chemistry yang kuat. Sekedar memberitahu bahwa sang pangeran akan tiba di waktu yang relatif singkat. Saya biarkan waktu yang mengungkap walau ia datang tanpa memberitahu dengan cepat. Saya yakini saja, bahwa cerita cinta akan mengalir dengan sendirinya, dengan bagaimanapun caranya.
            Lalu…. Benar. Ia benar-benar datang. Menawarkan secawan cinta untuk saya teguk bersamanya. Tidak seperti biasanya, saya menerima tawaran itu seketika. Aneh rasanya, cerita ini mengalir begitu cepat seperti kilat. Pintu hati ini terbuka dengan mudah. Ia berhasil menemukan kuncinya. Kunci yang sejak semula saya cari di seantero bumi. Rahasia Tuhan memang terasa sulit diterka. Ternyata, ia memang orang yang begitu dekat. Yang selalu datang menemani di malam yang pekat. Ah, mengejutkan sekali rasanya. Lagi-lagi saya katakan, ini nyata adanya.
            Mencoba bertanya pada diri sendiri, kenapa bisa rebah dalam “pelukan” cintanya? Apa pesona yang dimilikinya hingga membuat saya terpana? Entah, saya hanya mampu diam. Tidak ada jawaban pasti. Yang jelas, cinta datang dengan sendirinya. Dari mana dan bagaimana caranya, itu tidak perlu ditanya. Materi atau apapun namanya tak layak jadi pengukurnya, karena ini adalah anugerah istimewa yang Tuhan berikan pada setiap hambaNya. Malam ini, saya hanya ingin mengatakan begini padanya, terimakasih… kau berhasil menjadi dermaga, untuk layar perahu cintaku. Mengajakku melambai pasti, pada sederet ragam sakit di masa lalu.
            Sayang…       
Perjuangan kita tidak lantas berhenti di situ. Perjalanan kita masih panjang, katamu dahulu. Perjalanan yang kita tempuh amat berliku dan penuh debu. Debu halus itu bisa jadi akan mengempas kita pada jurang yang curam. Kerikil-kerikil tajam juga terlihat bengal menghalangi perjalanan cinta kita. Tinggal bagaimana kita mampu menyingkirkan itu semua. Seperti kemarin, saat kita nyaris putus asa, saat kita hampir positif membuang cinta, saat kita harus rela menahan sakit yang jumawa, tiba-tiba saja keajaiban Tuhan datang tanpa diduga. Kita ditakdirkan untuk bersama. Aah, ingin tersenyum saja kala mengingatnya. Inilah kejutan kedua kita. “Fabiayyi âlâi rabbikumâ tukadzdzibân.” (QS. Ar-Rahman: 13)
            Semua pasti akan terasa indah ketika sudah sampai waktunya. Saya berhasil mendapatkan madu setelah sebelumnya mengecap empedu. Ibrah penting yang  saya dapat adalah selalu positif thinking pada Tuhan pasti akan mendatangkan kebahagiaan. Dia tidak akan salah memberi pasangan pada hambaNya. Semua sudah ada dalam garis aturanNya. Kita sendiri juga belum tahu, siapakah di masa depan yang akan menemani hidup kita. Ini masih menjadi rahasia. Kita hanya bisa berdoa dan berusaha. Endingnya, biar Tuhan saja yang menjawabnya. Kita  tidak punya kuasa apa-apa.
Sekarang, kita boleh tersenyum bangga. Menikmati bahagia yang menimpa kita. Tapi, ini belum menjadi ujung proses. Apa yang akan terjadi esok masih belum bisa terbaca secara utuh. Sekali lagi, aral pasti akan ada di hadapan kita, seperti apapun motifnya. Mari temani saya melewati ini semua. Semoga Tuhan tetap memberi petunjuk dan rahmatNya untuk kita. Semoga langkah yang kita tetapkan adalah jawaban dari doa-doa yang kita panjatkan. Amien…
Saya tutup lembaran itu dengan rasa haru. Ternyata sahabat saya itu pernah mengalami situasi  yang membuat jiwanya berguncang. Tetapi akhirnya ia menemukan kebahagiaan yang lebih dari sekedar apa yang  ia pikirkan. Lagi-lagi ini persoalan cinta yang acap kali tidak menemukan ujung penyelesaian. Cerita di atas membuat saya malu pada Tuhan. Malu karena sering berburuk sangka padaNya tiap kali saya menyapu air mata. Lalu bagaimana dengan Anda?
Rumah FLP, 8 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar