Bersahabat dengan Aksara
Dunia
literasi memang selalu menarik bagi mereka yang senang bergelut dengan kata. Membaca dan menulis adalah kebutuhan vital
bagi manusia. Seperti orang yang tidak makan, orang yang tidak membaca pasti akan
terasa lapar, tampaknya ada yang kurang, karena membaca menjadi makanan bagi
otak dan pikiran. Tanpa membaca, pikiran akan terus stagnan. Jika dibiarkan,
maka tidak akan ada lagi yang bisa diandalkan. Perhatikan apa yang dikatakan
Glenn Doman ini, membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting
dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca.
Sebuah peradaban akan maju jika ditunjang dengan
membaca dan menulis. Ini bukan wacana belaka. Melihat kemajuan peradaban di
Barat pasti tidak akan lepas dari peran membaca dan menulis. Atau pada masa
keemasan Islam ketika tampuk kepemimpinan dalam genggaman dinasti
Abbasiyah, kemajuan kala itu juga karena
rakyat yang suka membaca dan menulis. Lalu, tokoh-tokoh intelektual bermunculan
melahirkan terobosan baru di bidang ilmu pengetahuan. Itu tak lepas, sekali
lagi, dari aktifitas membaca dan menulis. Ribuan buku disediakan oleh khalifah
untuk rakyatnya agar mereka gemar membaca. Apresiasi yang luar biasa dari
khalifah inilah yang memulai peradaban baru dalam Islam.
Sebagai umat Islam, kita bisa bangga memiliki satu
kemajuan yang sebelumnya tidak dimiliki pihak manapun. Tetapi sekarang,
realitasnya berbanding terbalik. Orang Eropa diam-diam mencuri cara Islam
membentuk peradaban maju. Dan sekarang, peradaban yang maju itu telah dimiliki
Barat. Sementara Islam sendiri hanya bisa melihat dan memuji kemajuan itu tanpa
mewujudkan inovasi-inovasi saingan untuk mensejajarkan diri dengan mereka.
Melihat kenyataan ini, muncul beberapa tokoh muslim
yang berupaya membangunkan atau bahkan menggertak umat Islam dari lamunan
panjang agar berlari mengejar ketertinggalan. Sebutlah misalnya Moh. Arkoun
dengan teori kritik nalar Islam atau Abid al-Jabiri dengan teori kritik
nalar Arab, Moh. Iqbal, Moh. Abduh, Ali Syari’ati, dan tokoh-tokoh lainnya.
Mereka memberi warning bagi umat
Islam bahwa sekarang zaman telah berubah, zaman telah maju, zaman telah modern,
maka tak layak bagi kita hanya berleha-leha dan bangga melihat kemajuan kelompok
lain, sementara kita hanya berdiam diri. Sudah saatnya kita meraup kembali
kemajuan yang sudah hilang itu.
Itu tentang sejarah. Kita tinggalkan sejenak. Mari
kembali ke pembicaraan semula. Sering kita dengar, menulis erat kaitannya dengan
membaca. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Bila ingin membandingkan Indonesia
dengan negara-negara lain yang lebih maju, kita jelas kalah dalam bidang literasi.
Siswa-siswa di negara lain membaca puluhan buku tiap tahun. Tetapi dalam
penelitian Taufik Isma’il pada tahun 2008, siswa Indonesia malah 0 buku. Wajar
saja jika buku yang diterbitkan hanya 5.000 dalam setahun. Bandingkan dengan Malaysia
yang bisa menghasilkan 18.000 judul buku tiap tahun. Sederhananya, kalau minat
baca saja rendah, apalagi menulis. Apa yang mau ditulis kalau tidak membaca?
Mengikuti acara Diskusi Literasi oleh Eko Prasetyo,
editor bahasa harian Jawa Pos, 29 November di SMA 3 Annuqayah kemarin, membuat
hati saya tergugah kembali untuk menulis, kendatipun tulisan ringan yang
serampangan macam ini. Saya hanya terhenyak ketika melihat foto Nick Vujicic
yang diperlihatkan pak Eko waktu itu. Bayangkan saja, sosok Vujicic yang tidak
memiliki fisik sempurna seperti kita (tidak punya tangan dan kaki) masih bisa
menulis dan menginspirasi banyak orang. Kekurangan yang ada padanya tidak dijadikan
alasan untuk bergantung pada orang lain. Bahkan, ia masih bisa berenang dan
melakukan olah raga lain. Sungguh mengagumkan!
Bandingkan dengan kita yang mempunyai fisik sempurna.
Membaca dan menulis saja sudah tidak ngeh. Apalagi melakukan aktifitas
lain yang lebih manfaat? Kesempurnaan
fisik yang kita punya sejatinya tak cukup disyukuri melalui lisan saja,
melainkan harus diiringi dengan tindakan. Mensyukuri fisik yang sempurna
berarti menggunakan fisik tersebut untuk hal-hal baik dan bermanfaat.
Kebutuhan manusia yang paling esensi adalah inspirasi,
kata pak Eko. Dengan inspirasi, manusia akan tergerak untuk berusaha, tergerak
untuk menulis, dan tergerak untuk maju. Inspirasi sebenarnya bertebaran di
sekeliling kita, ada banyak hal yang bisa dijadikan inspirasi. Inspirasi itu
lalu kita jadikan pemantik semangat untuk bergerak menggapai kulminasi mimpi
yang kita inginkan.
Dunia saya adalah dunia aksara. “Berpisah ranjang”
dengan kata tampak sulit rasanya. Jelas saja, karena saat ini saya memang
berada di dunia akademik yang menuntut saya untuk terus belajar, membaca, dan
menulis. Sejalan dengan jargon Steve Jobs, stay hungry, stay foolish. Tetap
merasa lapar akan membuat kita selalu ingin makan, tetap merasa bodoh akan
menjadikan kita haus untuk selalu belajar. Akhirnya, semakin banyak ilmu
pengetahuan yang kita kantongi, spontan kita akan bertanya diri “saya kok
semakin bodoh ya?”
Guluk-guluk, 30
November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar