Halaman

Jumat, 30 November 2012


Bersahabat dengan Aksara
Dunia literasi memang selalu menarik bagi mereka yang senang bergelut dengan kata.  Membaca dan menulis adalah kebutuhan vital bagi manusia. Seperti orang yang tidak makan, orang yang tidak membaca pasti akan terasa lapar, tampaknya ada yang kurang, karena membaca menjadi makanan bagi otak dan pikiran. Tanpa membaca, pikiran akan terus stagnan. Jika dibiarkan, maka tidak akan ada lagi yang bisa diandalkan. Perhatikan apa yang dikatakan Glenn Doman ini, membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca.
Sebuah peradaban akan maju jika ditunjang dengan membaca dan menulis. Ini bukan wacana belaka. Melihat kemajuan peradaban di Barat pasti tidak akan lepas dari peran membaca dan menulis. Atau pada masa keemasan Islam ketika tampuk kepemimpinan dalam genggaman dinasti Abbasiyah,  kemajuan kala itu juga karena rakyat yang suka membaca dan menulis. Lalu, tokoh-tokoh intelektual bermunculan melahirkan terobosan baru di bidang ilmu pengetahuan. Itu tak lepas, sekali lagi, dari aktifitas membaca dan menulis. Ribuan buku disediakan oleh khalifah untuk rakyatnya agar mereka gemar membaca. Apresiasi yang luar biasa dari khalifah inilah yang memulai peradaban baru dalam Islam.
Sebagai umat Islam, kita bisa bangga memiliki satu kemajuan yang sebelumnya tidak dimiliki pihak manapun. Tetapi sekarang, realitasnya berbanding terbalik. Orang Eropa diam-diam mencuri cara Islam membentuk peradaban maju. Dan sekarang, peradaban yang maju itu telah dimiliki Barat. Sementara Islam sendiri hanya bisa melihat dan memuji kemajuan itu tanpa mewujudkan inovasi-inovasi saingan untuk mensejajarkan diri dengan mereka.
Melihat kenyataan ini, muncul beberapa tokoh muslim yang berupaya membangunkan atau bahkan menggertak umat Islam dari lamunan panjang agar berlari mengejar ketertinggalan. Sebutlah misalnya Moh. Arkoun dengan teori kritik nalar Islam atau Abid al-Jabiri dengan teori kritik nalar Arab, Moh. Iqbal, Moh. Abduh, Ali Syari’ati, dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka memberi warning  bagi umat Islam bahwa sekarang zaman telah berubah, zaman telah maju, zaman telah modern, maka tak layak bagi kita hanya berleha-leha dan bangga melihat kemajuan kelompok lain, sementara kita hanya berdiam diri. Sudah saatnya kita meraup kembali kemajuan yang sudah hilang itu.
Itu tentang sejarah. Kita tinggalkan sejenak. Mari kembali ke pembicaraan semula. Sering kita dengar, menulis erat kaitannya dengan membaca. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Bila ingin membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain yang lebih maju,  kita jelas kalah dalam bidang literasi. Siswa-siswa di negara lain membaca puluhan buku tiap tahun. Tetapi dalam penelitian Taufik Isma’il pada tahun 2008, siswa Indonesia malah 0 buku. Wajar saja jika buku yang diterbitkan hanya 5.000 dalam setahun. Bandingkan dengan Malaysia yang bisa menghasilkan 18.000 judul buku tiap tahun. Sederhananya, kalau minat baca saja rendah, apalagi menulis. Apa yang mau ditulis kalau tidak membaca?
Mengikuti acara Diskusi Literasi oleh Eko Prasetyo, editor bahasa harian Jawa Pos, 29 November di SMA 3 Annuqayah kemarin, membuat hati saya tergugah kembali untuk menulis, kendatipun tulisan ringan yang serampangan macam ini. Saya hanya terhenyak ketika melihat foto Nick Vujicic yang diperlihatkan pak Eko waktu itu. Bayangkan saja, sosok Vujicic yang tidak memiliki fisik sempurna seperti kita (tidak punya tangan dan kaki) masih bisa menulis dan menginspirasi banyak orang. Kekurangan yang ada padanya tidak dijadikan alasan untuk bergantung pada orang lain. Bahkan, ia masih bisa berenang dan melakukan olah raga lain. Sungguh mengagumkan!
Bandingkan dengan kita yang mempunyai fisik sempurna. Membaca dan menulis saja sudah tidak ngeh. Apalagi melakukan aktifitas lain yang lebih manfaat?  Kesempurnaan fisik yang kita punya sejatinya tak cukup disyukuri melalui lisan saja, melainkan harus diiringi dengan tindakan. Mensyukuri fisik yang sempurna berarti menggunakan fisik tersebut untuk hal-hal baik dan bermanfaat.
Kebutuhan manusia yang paling esensi adalah inspirasi, kata pak Eko. Dengan inspirasi, manusia akan tergerak untuk berusaha, tergerak untuk menulis, dan tergerak untuk maju. Inspirasi sebenarnya bertebaran di sekeliling kita, ada banyak hal yang bisa dijadikan inspirasi. Inspirasi itu lalu kita jadikan pemantik semangat untuk bergerak menggapai kulminasi mimpi yang kita inginkan.
Dunia saya adalah dunia aksara. “Berpisah ranjang” dengan kata tampak sulit rasanya. Jelas saja, karena saat ini saya memang berada di dunia akademik yang menuntut saya untuk terus belajar, membaca, dan menulis. Sejalan dengan jargon Steve Jobs, stay hungry, stay foolish. Tetap merasa lapar akan membuat kita selalu ingin makan, tetap merasa bodoh akan menjadikan kita haus untuk selalu belajar. Akhirnya, semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita kantongi, spontan kita akan bertanya diri “saya kok semakin bodoh ya?”  
Guluk-guluk, 30 November 2012  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar