Melupakan Masa Lalu
Tidak
semua orang suka bicara soal masa lalu. Istilah “masa lalu” kadang menjadi
sesuatu yang “mengerikan” bagi sebagian orang. Mereka tak ingin masa lalu terus
diungkit dan diingat kembali setelah sekian lama mencoba menguburnya. Ada apa
di masa lalu? Pertanyaan inilah yang akan mengantarkan pada jawaban mengapa
masa lalu terkesan “mengerikan”. Tiap orang tentu memiliki jawaban yang
beragam. Tetapi dipastikan salah satu alasannya adalah karena masa lalu
meninggalkan kenangan getir yang menumpahkan derita. Lantas siapa yang ingin
kembali terluka? Siapa yang mau bermuram durja karena mengingat momen di kala
berduka? Tidak ada. Lalu hati kita diam-diam akan berkata, sudahlah.. yang lalu
biarlah berlalu, tinggalkan kenangan itu.
Setiap
orang memiliki masa lalu, entah senang, entah muram. Dunia yang terikat ruang
dan waktu memberi tahapan-tahapan waktu pada perjalanan hidup manusia. Yang
telah lalu menjadi kenangan, saat ini adalah kenyataan, dan yang akan datang
adalah harapan. Setiap tahapan waktu itu, mestinya dimanfaatkan sebaik mungkin
oleh manusia. Masa lalu dijadikan pelajaran, kenyataan saat ini dilalui dengan maksimal,
dan masa depan ditatap dengan rasa optimis. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quranil
Karim, menyatakan La khaufun ‘alaihim fiima yastaqbiluunahum ketika menggambarkan
keadaaan orang-orang mukmin yang selalu optimis menatap masa depan.
Tetapi,
adakalanya seseorang tidak ingin membuang masa lalunya yang pahit dengan dalih
ingin menjadikannya cerminan untuk menjalani hari-hari berikutnya. Ia
menginginkan masa lalu yang menjatuhkan dirinya menjadi pelajaran berharga sehingga
kelak tidak terjatuh kembali di lubang yang sama. Orang yang demikian melihat
masa lalu bukan sebagai momok yang menakutkan, melainkan sebagai senjata yang
akan menolongnya melalui hari-hari ke depan.
Ketika
masa lalu yang saya miliki menikam hati, saya lalu berpikir tamanni,
“andai saja waktu itu (masa lalu) bisa saya perbaiki, saya bisa berpikir jernih
dan mempertimbangkan segalanya secara matang, maka saya tidak akan menyesal
begini”. Penyesalan memang kerap muncul setelah apa yang kita harap tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada. Setelah itu saya mencoba berpikir positif,
untuk apa disesali, toh konfigurasi masa lalu tidak akan kembali lagi?
Yang bisa dilakukan saat ini adalah mencoba menyikapinya dengan mata terbuka
bahwa manusia ada untuk sekarang dan masa depan. Masa lalu boleh diingat asal
bukan untuk disesali, tetapi untuk digali ibrahnya sebagai bekal masa depan.
Kemarin,
saya sempat berdiskusi kecil dengan seorang teman terkait masa lalu. Bukan soal
esensi dan fungsi dari masa lalu yang saya bicarakan tadi, tetapi kami hanya
mempersoalkan kata “melupakan” ketika dilihat secara leksikal. Memang terkesan
sederhana, tapi perbincangan itu tidak membuat saya berhenti untuk mencari
jawaban argumentatif dari apa yang saya katakan, karena waktu itu jawaban yang
saya utarakan –dalam persepsi saya- benar walaupun alasannya tidak bisa
dipertanggungjawabkan.
Kalau
boleh saya analogikan, saya akan menyebut dia seperti Moh. Syahrur yang biasa
menggunakan pendekatan literal-tekstual dalam menafsirkan kalimat. Sementara
saya sendiri menggunakan pisau analisis sebagaimana yang dipakai Nashr Hamid
Abu Zaid atau Fazlur Rahman dalam menafsirkan suatu teks. Memang, tidak akan ada
kebenaran yang absolut ketika si pembicara adalah manusia. Tetapi, paling tidak
kita harus tetap berusaha mencari jawaban yang paling mendekati kebenaran.
Beberapa
menit, perdebatan kami tak kunjung usai dan menemukan ujung penyelesaian. Dia berkata,
tidak tepat bila ada orang yang mengatakan, “saya bisa melupakan masa lalu” sebagai
representasi kalimat “saya bisa melupakan atau membuang perasaan cinta pada
masa lalu saya”. Karena baginya, tidak mungkin
orang bisa lupa secara utuh terhadap masa lalu. Pasti ada momen-momen tertentu
yang masih bisa diingat-ingat kembali. Lain lagi masalahnya jika orang tersebut
memang sudah amnesia dan tidak bisa mengingat apa-apa.
Ya,
benar apa yang dia katakan. Kalau dilihat secara bahasa, kata “melupakan” berarti tidak ingat
apapun. Dan tentu tidak akan ada orang yang bisa lupa keseluruhan terhadap apa
yang sudah terjadi. Betul jika penggunaan kalimat “saya bisa melupakan masa
lalu” itu salah. Tetapi saya memiliki pandangan berbeda dalam hal ini. Penggunaan
kalimat itu bagi saya tepat ketika masuk dalam konteks Stilistika atau Balaghah.
Saya
buka-buka lagi buku tentang itu setelah sekian lama merana dalam lemari. Saya
lihat dan kemudian mempelajarinya dalam beberapa menit. Akhirnya, saya mendapat
jawaban setelah sampai pada bab Majaz. Lantas saya mengambil kesimpulan bahwa
kalimat “saya bisa melupakan masa lalu” termasuk kategori Majaz Mursal, yakni majaz
yang tidak menggunakan ‘alaqah musyabahah (hubungan keserupaan).
Salah
satu cirinya adalah menyebut keseluruhan tetapi yang dimaksud adalah sebagian. Kata
“melupakan” yang berarti keseluruhan tidak ingat apa-apa bisa benar dalam
Stilistika ketika digunakan dalam kalimat yang tadi, sebab pembicara memang
sengaja menyebut keseluruhan tetapi yang dimaksud hanyalah sebagian, yakni rasa,
rasa yang sudah ia lupakan. Penggunaan yang serupa ini memang banyak digunakan
dalam al-Quran sebagai bentuk majaz yang indah. Salah satunya dalam surat al-Baqarah
ayat 19: yaj’aluuna ashabi’ahum fii adzanihim min as-shawa’iqi hadzaral
maut. Kata ashabi’ahum dalam ayat ini bukan berarti semua jari,
tetapi yang dimaksud hanyalah telunjuk.
Setelah
ini, saya tak ingin mempersoalkannya lagi. Jawaban yang ia berikan dan jawaban
yang saya tawarkan bagi saya sama-sama benar, tergantung dari sudut pandang apa
kita melihatnya. Tidak mengherankan memang bila satu objek bisa ditafsirkan
secara beragam. Penafsiran-penafsiran itu kesemuanya berupaya menuju satu titik
sumber, yakni objek itu sendiri walaupun melalui jalur yang berbeda.
Guluk-guluk, 29
November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar