Halaman

Jumat, 30 November 2012


Melupakan Masa Lalu
Tidak semua orang suka bicara soal masa lalu. Istilah “masa lalu” kadang menjadi sesuatu yang “mengerikan” bagi sebagian orang. Mereka tak ingin masa lalu terus diungkit dan diingat kembali setelah sekian lama mencoba menguburnya. Ada apa di masa lalu? Pertanyaan inilah yang akan mengantarkan pada jawaban mengapa masa lalu terkesan “mengerikan”. Tiap orang tentu memiliki jawaban yang beragam. Tetapi dipastikan salah satu alasannya adalah karena masa lalu meninggalkan kenangan getir yang menumpahkan derita. Lantas siapa yang ingin kembali terluka? Siapa yang mau bermuram durja karena mengingat momen di kala berduka? Tidak ada. Lalu hati kita diam-diam akan berkata, sudahlah.. yang lalu biarlah berlalu, tinggalkan kenangan itu.    
Setiap orang memiliki masa lalu, entah senang, entah muram. Dunia yang terikat ruang dan waktu memberi tahapan-tahapan waktu pada perjalanan hidup manusia. Yang telah lalu menjadi kenangan, saat ini adalah kenyataan, dan yang akan datang adalah harapan. Setiap tahapan waktu itu, mestinya dimanfaatkan sebaik mungkin oleh manusia. Masa lalu dijadikan pelajaran, kenyataan saat ini dilalui dengan maksimal, dan masa depan ditatap dengan rasa optimis. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quranil Karim, menyatakan La khaufun ‘alaihim fiima yastaqbiluunahum ketika menggambarkan keadaaan orang-orang mukmin yang selalu optimis menatap masa depan.
Tetapi, adakalanya seseorang tidak ingin membuang masa lalunya yang pahit dengan dalih ingin menjadikannya cerminan untuk menjalani hari-hari berikutnya. Ia menginginkan masa lalu yang menjatuhkan dirinya menjadi pelajaran berharga sehingga kelak tidak terjatuh kembali di lubang yang sama. Orang yang demikian melihat masa lalu bukan sebagai momok yang menakutkan, melainkan sebagai senjata yang akan menolongnya melalui hari-hari ke depan.
Ketika masa lalu yang saya miliki menikam hati, saya lalu berpikir tamanni, “andai saja waktu itu (masa lalu) bisa saya perbaiki, saya bisa berpikir jernih dan mempertimbangkan segalanya secara matang, maka saya tidak akan menyesal begini”. Penyesalan memang kerap muncul setelah apa yang kita harap tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Setelah itu saya mencoba berpikir positif, untuk apa disesali, toh konfigurasi masa lalu tidak akan kembali lagi? Yang bisa dilakukan saat ini adalah mencoba menyikapinya dengan mata terbuka bahwa manusia ada untuk sekarang dan masa depan. Masa lalu boleh diingat asal bukan untuk disesali, tetapi untuk digali ibrahnya sebagai bekal masa depan.
Kemarin, saya sempat berdiskusi kecil dengan seorang teman terkait masa lalu. Bukan soal esensi dan fungsi dari masa lalu yang saya bicarakan tadi, tetapi kami hanya mempersoalkan kata “melupakan” ketika dilihat secara leksikal. Memang terkesan sederhana, tapi perbincangan itu tidak membuat saya berhenti untuk mencari jawaban argumentatif dari apa yang saya katakan, karena waktu itu jawaban yang saya utarakan –dalam persepsi saya- benar walaupun alasannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau boleh saya analogikan, saya akan menyebut dia seperti Moh. Syahrur yang biasa menggunakan pendekatan literal-tekstual dalam menafsirkan kalimat. Sementara saya sendiri menggunakan pisau analisis sebagaimana yang dipakai Nashr Hamid Abu Zaid atau Fazlur Rahman dalam menafsirkan suatu teks. Memang, tidak akan ada kebenaran yang absolut ketika si pembicara adalah manusia. Tetapi, paling tidak kita harus tetap berusaha mencari jawaban yang paling mendekati kebenaran.
Beberapa menit, perdebatan kami tak kunjung usai dan menemukan ujung penyelesaian. Dia berkata, tidak tepat bila ada orang yang mengatakan, “saya bisa melupakan masa lalu” sebagai representasi kalimat “saya bisa melupakan atau membuang perasaan cinta pada masa lalu saya”. Karena baginya, tidak mungkin  orang bisa lupa secara utuh terhadap masa lalu. Pasti ada momen-momen tertentu yang masih bisa diingat-ingat kembali. Lain lagi masalahnya jika orang tersebut memang sudah amnesia dan tidak bisa mengingat apa-apa.
Ya, benar apa yang dia katakan. Kalau dilihat secara  bahasa, kata “melupakan” berarti tidak ingat apapun. Dan tentu tidak akan ada orang yang bisa lupa keseluruhan terhadap apa yang sudah terjadi. Betul jika penggunaan kalimat “saya bisa melupakan masa lalu” itu salah. Tetapi saya memiliki pandangan berbeda dalam hal ini. Penggunaan kalimat itu bagi saya tepat ketika masuk dalam konteks Stilistika atau Balaghah.  
Saya buka-buka lagi buku tentang itu setelah sekian lama merana dalam lemari. Saya lihat dan kemudian mempelajarinya dalam beberapa menit. Akhirnya, saya mendapat jawaban setelah sampai pada bab Majaz. Lantas saya mengambil kesimpulan bahwa kalimat “saya bisa melupakan masa lalu” termasuk kategori Majaz Mursal, yakni majaz yang tidak menggunakan ‘alaqah musyabahah (hubungan keserupaan).
Salah satu cirinya adalah menyebut keseluruhan tetapi yang dimaksud adalah sebagian. Kata “melupakan” yang berarti keseluruhan tidak ingat apa-apa bisa benar dalam Stilistika ketika digunakan dalam kalimat yang tadi, sebab pembicara memang sengaja menyebut keseluruhan tetapi yang dimaksud hanyalah sebagian, yakni rasa, rasa yang sudah ia lupakan. Penggunaan yang serupa ini memang banyak digunakan dalam al-Quran sebagai bentuk majaz yang indah. Salah satunya dalam surat al-Baqarah ayat 19: yaj’aluuna ashabi’ahum fii adzanihim min as-shawa’iqi hadzaral maut. Kata ashabi’ahum dalam ayat ini bukan berarti semua jari, tetapi yang dimaksud hanyalah telunjuk.
Setelah ini, saya tak ingin mempersoalkannya lagi. Jawaban yang ia berikan dan jawaban yang saya tawarkan bagi saya sama-sama benar, tergantung dari sudut pandang apa kita melihatnya. Tidak mengherankan memang bila satu objek bisa ditafsirkan secara beragam. Penafsiran-penafsiran itu kesemuanya berupaya menuju satu titik sumber, yakni objek itu sendiri walaupun melalui jalur yang berbeda.  


Guluk-guluk, 29 November 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar