Jangan
Tunda Memberi!
Saya sangat tertarik pada
catatan yang ditulis oleh Rhenaldkasali pada harian Jawa Pos
edisi Januari 2012 berjudul “Orang Miskin Memberi”. Dalam catatannya, ia hendak
memberi penyadaran pada pembaca bahwa tak hanya orang kaya saja yang bisa
memberi. Siapapun berpotensi untuk menjadi dermawan yang senantiasa memberi,
tak terkecuali kaum miskin dan terpinggirkan. Konsepsi kita bisa jadi tidak
menyetujui pendapat Rhenaldkasali tersebut, karena orang miskin memang tidak
memiliki apa-apa untuk diberikan. Lalu apa yang akan diberi?
Baik, tak salah kita berpikir seperti itu. Namun, mungkin
saja apa yang dikatakan Rhenaldkasali itu benar. Jika mau jujur, sebenarnya
istilah “tak punya” hanya kedok dan alasan lawas bagi mereka yang tidak mau
memberi. Ketika memberi diyakini hanya bisa dilakukan oleh si kaya, maka sampai
kapanpun orang miskin tak akan bisa berderma. Orang-orang yang berpikir seperti
itu, sejatinya menunda pekerjaan baik dan mulia. Mereka menunggu sampai saatnya
tiba. Padahal, bagi orang yang menerima, orang kaya yang memberi rasanya sangat
biasa dan lumrah. Yang sangat “tak biasa” dan menjadi luar biasa ialah apabila
si pemberi orang miskin yang tak memiliki apa-apa.
Coba saja saksikan fenomena yang biasa ditemui di
lingkungan kita tatkala ada pengemis yang meminta sesuap nasi seraya berjuang
melawan terik matahari di sepanjang jalan. Ada orang kaya yang memberinya uang ratusan
ribu namun masih dibumbui dengan caci maki dan penghinaan yang bertubi. Lalu
pada detik berikutnya, datang orang biasa yang juga memberinya uang berupa
recehan namun diberikan dengan ketulusan dan kasih sayang. Tak lupa ia juga
memberi seulas senyum pada pengemis tadi. Kita pasti bisa mengambil kesimpulan,
pemberian mana yang lebih membahagiakan dan mendamaikan.
Kalau begitu, pemberian sebenarnya tak bisa diukur dengan
materi. Pemberian yang menenangkan hati itulah pemberian yang substantif,
pemberian yang sesungguhnya. Dengan sendirinya lalu kita akan membenarkan apa
yang dikatakan Rhenaldkasali tadi bahwa memberi bisa dilakukan oleh siapa saja,
karena memberi pada hakikatnya tak hanya terbatas pada pemberian materi (uang,
makanan, pakaian, rumah, dan sebagainya). Kata “memberi” juga bisa
dikonotasikan pada pemberian yang non-materi, seperti senyuman, empati, kasih
sayang, perhatian, ketulusan dan uluran tangan. Rhenaldkasali menyebut hal itu
dengan istilah material giving dan spiritual giving.
Pengertian
“memberi” yang sangat luas ini meniscayakan semua orang untuk memberi. Memberi
apa saja yang bisa ia berikan. Jadi pada dasarnya, kita tidak mesti menunggu
menjadi kaya secara material terlebih dahulu untuk bisa memberi. Tetapi,
memberi apapun yang bisa kita beri, baik material giving atau spiritual
giving, sudah cukup mengindikasikan
bahwa kita kaya. Rhenald mengatakan, kaya adalah state of mind yang
dibentuk oleh pikiran, bukan oleh jumlah uang. Pemberian yang banyak atau
sedikit semua sama. Yang membedakan adalah seberapa besar ketulusan dan
keikhlasan hati ketika memberi.
Di
kota-kota besar, kerap kita temui orang kaya yang masih mengunci rapat hatinya
untuk memberi. Bahkan, mereka bisa dikatakan orang yang lebih miskin dari orang
miskin. Ketika ada kesempatan, mereka berada di depan. Ketika ada bantuan,
mereka datang dengan sigap untuk memperebutkan. Kemudian, ada pula orang yang
secara ekonomi terpuruk, hatinya pelit pula. Lantas apa yang bisa mereka
andalkan? Mereka tak ubahnya dengan orang kaya yang bergaya hidup hedonis. Ah,
ironis sekali rasanya.
Di
tempat lain, tepatnya di tempat terpencil bernama pondok pesantren kita akan
melihat nuansa yang berbeda. Pondok pesantren Annuqayah, misalnya. Di dalamnya,
penghuni pesantren Annuqayah akan merasakan pemberian yang melimpah dan luar
biasa. Persaudaraan dan kebersamaan adalah keniscayaan yang akan dirasakan
mereka. Untuk makan saja, meski porsinya tidak banyak, akan terasa nikmat bila
dimakan bersama. Inilah pemberian berharga yang lebih dari apapun. Rasa
kekeluargaan yang tercipta di lingkungan pesantren mendidik penghuninya
(santri) untuk saling berbagi. Bila
tidak bisa memberi material giving, paling tidak santri bisa memberi
pemberian yang sederhana, senyum tulus pada sesama. Dengan demikian, maka orang
yang berbagi itulah yang lebih pantas dikatakan kaya.
Pemberian
akan tampak berharga bagi penerima bila sesuai dengan kebutuhan. Orang tak akan
bahagia diberi berjuta-juta uang jika ia hanya butuh cinta dan kasih sayang. Atau
orang tak akan senang diberi pakaian apabila ia hanya butuh teman untuk
menemaninya. Saya jadi teringat salah seorang teman yang bagi saya kehidupannya
amat mapan dan nyaman. Ia tergolong orang yang beruntung karena segala
kebutuhannya dapat terpenuhi. Fasilitas rumah yang lengkap dan orang tua yang
kaya.
Namun di
balik itu, ia selalu mengeluh pada saya bahwa apa yang ia miliki justru menjadi
nelangsa baginya. Apa yang saya kira ternyata salah. Ia bilang sebenarnya tak
mendapatkan apa-apa meski kekayaan yang dimiliki orang tuanya melimpah. Ia
malah terpuruk dengan kekayaannya itu. Kedua orang tuanya yang bisnisman
seringkali keluar rumah karena sibuk mengurusi bisnisnya. Ia yang merupakan
anak tunggal merasa sendiri dan merindukan uluran kasih sayang orang tuanya
yang kadang pulang satu kali dalam seminggu. Hatinya merasa tak damai. Ia butuh
teman. Kekayaan yang dimilikinya tak berarti apa-apa ketika hatinya lebih
menginginkan cinta.
Pemberian
materi (material giving) dan non-materi (spiritual giving)
sebenarnya sama-sama dibutuhkan. Namun, akan fatal akibatnya jika dua komponen
tersebut tidak diberikan secara simultan. Ya, seperti yang dirasakan oleh teman
saya tadi. Realita yang tampak di hadapan kita memang tak semuanya seperti yang
kita harap. Pemberian materi seringkali ditonjolkan ketimbang pemberian yang
non-materi. Taruhlah misalnya pemerintah kita yang memberikan tunjangan untuk
kelompok masyarakat yang kurang mampu. Secara faktual, masyarakat
memang menerima tunjangan itu. Namun, di balik itu masyarakat kadangkala
merasa inferior ketika pemerintah
menganggapnya rendah dan terbelakang. Begitulah akibatnya ketika keduanya tidak
berjalan secara seimbang.
Di bab
penutup buku The Power of Giving yang ditulis Azim Jamal dan Harvey Mc
Kinnon, Rhenald membaca kalimat ini “One of the best gifts you can give
children is to teach them the beauty of giving.” Setiap anak bisa diajari
memberi selagi mereka kecil. Mulai dari memberikan perhatian, kasih sayang,
sapaan, senyuman, kata-kata yang membesarkan hati, motivasi, kepercayaan,
sanjungan, kepedulian dan seterusnya. Ini perlu. Mengingat, pendidikan sejak
kecil itulah yang akan membentuk kepribadian anak ketika dewasa kelak. Jika
anak kecil saja sudah diajarkan untuk membiasakan memberi, kenapa yang dewasa
tidak?
Dalam
konsep Islam, perbuatan memberi pada hakikatnya tidak akan mengurangi harta.
Secara eksplisit memang berkurang, tapi secara implisit justru bertambah. Hal
ini digambarkan oleh Allah dalam QS.
Al-Baqarah: 261 “Matsalu alladzina yunfiquuna amwaalahum fi sabiilillahi ka
matsali habbatin anbatat sab’a sanaabila fii kulli sunbulatin mi’atu habbah wa
allahu yudla’ifu liman yasyaa’u wa allahu waasi’un ‘aliim.” (perumpamaan
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada setiap bulir ada tujuh biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah maha
luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui). Begitulah perumpamaan orang yang
memberi untuk mencari ridha Allah. Allah akan membalasnya dengan reward yang
lebih besar dan apa yang tidak kita bayangkan sebelumnya. The big surprise
dari Tuhan, begitu saya mengistilahkannya.
Namun,
orang yang mengerti itu hanyalah orang yang memiliki keimanan kokoh. Untuk menguji
kekokohan iman itulah Allah memerintahkan mereka untuk mengorbankan harta yang
cenderung dicintai di jalan Allah, untuk membela kalimat Allah. Apa artinya
harta yang fatamorgana bila dibandingkan dengan kenikmatan yang akan diberikan
Allah kelak di surga. Orang yang beriman akan menyadari hal ini. Tetapi bagi
orang yang keimanannya masih goyah, memberi harta yang dimiliki justru menjadi
ancaman baginya. Hartanya yang “dielus-elus” diduga akan musnah dan tidak akan
kembali lagi. Itu tak lain karena mereka memandangnya secara parsial. Andai saja mereka merenungkan
janji Allah dalam ayat tadi, maka tak mungkin dia berpelit hati.
Sekali lagi saya katakan, orang yang memberi adalah orang yang kaya
dan bahagia. Memberi dapat membuat beban tersalurkan dan melupakan kesulitan.
Orang yang memberikan ketulusan cinta dan kasih sayang tidak akan pernah
dirugikan meski nanti ia bisa jadi tidak menerima balasan. Sebagaimana diktum
klasik, memberi itu lebih baik daripada menerima, karena memberi adalah
perbuatan Tuhan dan menerima adalah karakteristik manusia. Orang yang memberi
justru akan merasakan betapa indahnya berbagi kebaikan selagi masih bisa dilakukan.
Kebaikan yang kita tebarkan pasti akan berbuah kebaikan pula. Mari, mulai
memberi sejak saat ini. Mari bercinta mulai detik ini. Jangan tunda lagi!
Untukmu,
maafkan aku jika kelak aku tetap tak bisa membalas
“PEMBERIANMU.”
Tuhan-lah yang akan memberimu
balasan
yang lebih berharga, yang lebih dari yang kau kira.
Tunggulah
The Big Surprise dari-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar