Halaman

Minggu, 25 November 2012


Jangan Tunda Memberi!
Saya sangat tertarik pada catatan yang ditulis oleh Rhenaldkasali pada harian Jawa Pos edisi Januari 2012 berjudul “Orang Miskin Memberi”. Dalam catatannya, ia hendak memberi penyadaran pada pembaca bahwa tak hanya orang kaya saja yang bisa memberi. Siapapun berpotensi untuk menjadi dermawan yang senantiasa memberi, tak terkecuali kaum miskin dan terpinggirkan. Konsepsi kita bisa jadi tidak menyetujui pendapat Rhenaldkasali tersebut, karena orang miskin memang tidak memiliki apa-apa untuk diberikan. Lalu apa yang akan diberi?
            Baik, tak salah kita berpikir seperti itu. Namun, mungkin saja apa yang dikatakan Rhenaldkasali itu benar. Jika mau jujur, sebenarnya istilah “tak punya” hanya kedok dan alasan lawas bagi mereka yang tidak mau memberi. Ketika memberi diyakini hanya bisa dilakukan oleh si kaya, maka sampai kapanpun orang miskin tak akan bisa berderma. Orang-orang yang berpikir seperti itu, sejatinya menunda pekerjaan baik dan mulia. Mereka menunggu sampai saatnya tiba. Padahal, bagi orang yang menerima, orang kaya yang memberi rasanya sangat biasa dan lumrah. Yang sangat “tak biasa” dan menjadi luar biasa ialah apabila si pemberi orang miskin yang tak memiliki apa-apa.
            Coba saja saksikan fenomena yang biasa ditemui di lingkungan kita tatkala ada pengemis yang meminta sesuap nasi seraya berjuang melawan terik matahari di sepanjang jalan. Ada orang kaya yang memberinya uang ratusan ribu namun masih dibumbui dengan caci maki dan penghinaan yang bertubi. Lalu pada detik berikutnya, datang orang biasa yang juga memberinya uang berupa recehan namun diberikan dengan ketulusan dan kasih sayang. Tak lupa ia juga memberi seulas senyum pada pengemis tadi. Kita pasti bisa mengambil kesimpulan, pemberian mana yang lebih membahagiakan dan mendamaikan.
            Kalau begitu, pemberian sebenarnya tak bisa diukur dengan materi. Pemberian yang menenangkan hati itulah pemberian yang substantif, pemberian yang sesungguhnya. Dengan sendirinya lalu kita akan membenarkan apa yang dikatakan Rhenaldkasali tadi bahwa memberi bisa dilakukan oleh siapa saja, karena memberi pada hakikatnya tak hanya terbatas pada pemberian materi (uang, makanan, pakaian, rumah, dan sebagainya). Kata “memberi” juga bisa dikonotasikan pada pemberian yang non-materi, seperti senyuman, empati, kasih sayang, perhatian, ketulusan dan uluran tangan. Rhenaldkasali menyebut hal itu dengan istilah material giving dan spiritual giving.
Pengertian “memberi” yang sangat luas ini meniscayakan semua orang untuk memberi. Memberi apa saja yang bisa ia berikan. Jadi pada dasarnya, kita tidak mesti menunggu menjadi kaya secara material terlebih dahulu untuk bisa memberi. Tetapi, memberi apapun yang bisa kita beri, baik material giving atau spiritual giving,  sudah cukup mengindikasikan bahwa kita kaya. Rhenald mengatakan, kaya adalah state of mind yang dibentuk oleh pikiran, bukan oleh jumlah uang. Pemberian yang banyak atau sedikit semua sama. Yang membedakan adalah seberapa besar ketulusan dan keikhlasan hati ketika memberi.
Di kota-kota besar, kerap kita temui orang kaya yang masih mengunci rapat hatinya untuk memberi. Bahkan, mereka bisa dikatakan orang yang lebih miskin dari orang miskin. Ketika ada kesempatan, mereka berada di depan. Ketika ada bantuan, mereka datang dengan sigap untuk memperebutkan. Kemudian, ada pula orang yang secara ekonomi terpuruk, hatinya pelit pula. Lantas apa yang bisa mereka andalkan? Mereka tak ubahnya dengan orang kaya yang bergaya hidup hedonis. Ah, ironis sekali rasanya.
Di tempat lain, tepatnya di tempat terpencil bernama pondok pesantren kita akan melihat nuansa yang berbeda. Pondok pesantren Annuqayah, misalnya. Di dalamnya, penghuni pesantren Annuqayah akan merasakan pemberian yang melimpah dan luar biasa. Persaudaraan dan kebersamaan adalah keniscayaan yang akan dirasakan mereka. Untuk makan saja, meski porsinya tidak banyak, akan terasa nikmat bila dimakan bersama. Inilah pemberian berharga yang lebih dari apapun. Rasa kekeluargaan yang tercipta di lingkungan pesantren mendidik penghuninya (santri) untuk  saling berbagi. Bila tidak bisa memberi material giving, paling tidak santri bisa memberi pemberian yang sederhana, senyum tulus pada sesama. Dengan demikian, maka orang yang berbagi itulah yang lebih pantas dikatakan kaya.
Pemberian akan tampak berharga bagi penerima bila sesuai dengan kebutuhan. Orang tak akan bahagia diberi berjuta-juta uang jika ia hanya butuh cinta dan kasih sayang. Atau orang tak akan senang diberi pakaian apabila ia hanya butuh teman untuk menemaninya. Saya jadi teringat salah seorang teman yang bagi saya kehidupannya amat mapan dan nyaman. Ia tergolong orang yang beruntung karena segala kebutuhannya dapat terpenuhi. Fasilitas rumah yang lengkap dan orang tua yang kaya.
Namun di balik itu, ia selalu mengeluh pada saya bahwa apa yang ia miliki justru menjadi nelangsa baginya. Apa yang saya kira ternyata salah. Ia bilang sebenarnya tak mendapatkan apa-apa meski kekayaan yang dimiliki orang tuanya melimpah. Ia malah terpuruk dengan kekayaannya itu. Kedua orang tuanya yang bisnisman seringkali keluar rumah karena sibuk mengurusi bisnisnya. Ia yang merupakan anak tunggal merasa sendiri dan merindukan uluran kasih sayang orang tuanya yang kadang pulang satu kali dalam seminggu. Hatinya merasa tak damai. Ia butuh teman. Kekayaan yang dimilikinya tak berarti apa-apa ketika hatinya lebih menginginkan cinta.
Pemberian materi (material giving) dan non-materi (spiritual giving) sebenarnya sama-sama dibutuhkan. Namun, akan fatal akibatnya jika dua komponen tersebut tidak diberikan secara simultan. Ya, seperti yang dirasakan oleh teman saya tadi. Realita yang tampak di hadapan kita memang tak semuanya seperti yang kita harap. Pemberian materi seringkali ditonjolkan ketimbang pemberian yang non-materi. Taruhlah misalnya pemerintah kita yang memberikan tunjangan untuk kelompok masyarakat  yang  kurang mampu. Secara faktual, masyarakat memang menerima tunjangan itu. Namun, di balik itu masyarakat kadangkala merasa  inferior ketika pemerintah menganggapnya rendah dan terbelakang. Begitulah akibatnya ketika keduanya tidak berjalan secara seimbang.
Di bab penutup buku The Power of Giving yang ditulis Azim Jamal dan Harvey Mc Kinnon, Rhenald membaca kalimat ini “One of the best gifts you can give children is to teach them the beauty of giving.” Setiap anak bisa diajari memberi selagi mereka kecil. Mulai dari memberikan perhatian, kasih sayang, sapaan, senyuman, kata-kata yang membesarkan hati, motivasi, kepercayaan, sanjungan, kepedulian dan seterusnya. Ini perlu. Mengingat, pendidikan sejak kecil itulah yang akan membentuk kepribadian anak ketika dewasa kelak. Jika anak kecil saja sudah diajarkan untuk membiasakan memberi, kenapa yang dewasa tidak?
Dalam konsep Islam, perbuatan memberi pada hakikatnya tidak akan mengurangi harta. Secara eksplisit memang berkurang, tapi secara implisit justru bertambah. Hal ini digambarkan oleh Allah dalam  QS. Al-Baqarah: 261 “Matsalu alladzina yunfiquuna amwaalahum fi sabiilillahi ka matsali habbatin anbatat sab’a sanaabila fii kulli sunbulatin mi’atu habbah wa allahu yudla’ifu liman yasyaa’u wa allahu waasi’un ‘aliim.” (perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada setiap bulir ada tujuh biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui). Begitulah perumpamaan orang yang memberi untuk mencari ridha Allah. Allah akan membalasnya dengan reward yang lebih besar dan apa yang tidak kita bayangkan sebelumnya. The big surprise dari Tuhan, begitu saya mengistilahkannya.
Namun, orang yang mengerti itu hanyalah orang yang memiliki keimanan kokoh. Untuk menguji kekokohan iman itulah Allah memerintahkan mereka untuk mengorbankan harta yang cenderung dicintai di jalan Allah, untuk membela kalimat Allah. Apa artinya harta yang fatamorgana bila dibandingkan dengan kenikmatan yang akan diberikan Allah kelak di surga. Orang yang beriman akan menyadari hal ini. Tetapi bagi orang yang keimanannya masih goyah, memberi harta yang dimiliki justru menjadi ancaman baginya. Hartanya yang “dielus-elus” diduga akan musnah dan tidak akan kembali lagi. Itu tak lain karena mereka memandangnya  secara parsial. Andai saja mereka merenungkan janji Allah dalam ayat tadi, maka tak mungkin dia berpelit hati.
Sekali lagi saya katakan, orang yang memberi adalah orang yang kaya dan bahagia. Memberi dapat membuat beban tersalurkan dan melupakan kesulitan. Orang yang memberikan ketulusan cinta dan kasih sayang tidak akan pernah dirugikan meski nanti ia bisa jadi tidak menerima balasan. Sebagaimana diktum klasik, memberi itu lebih baik daripada menerima, karena memberi adalah perbuatan Tuhan dan menerima adalah karakteristik manusia. Orang yang memberi justru akan merasakan betapa indahnya berbagi kebaikan selagi masih bisa dilakukan. Kebaikan yang kita tebarkan pasti akan berbuah kebaikan pula. Mari, mulai memberi sejak saat ini. Mari bercinta mulai detik ini. Jangan tunda lagi!

Untukmu, maafkan aku jika kelak aku tetap tak bisa membalas
“PEMBERIANMU.” Tuhan-lah yang akan memberimu
balasan yang lebih berharga, yang lebih dari yang kau kira.
Tunggulah The Big Surprise dari-Nya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar