Halaman

Minggu, 25 November 2012

Resensi


Dinamisasi Hukum Islam di Indonesia
Judul Buku: Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Kompilasi Hukum Islam
Penulis: Dr. H. A. Malthuf Siroj, M. Ag
Penerbit: Pustaka Ilmu
Tahun Terbit: 2012
Tebal Buku: 252 Halaman
Resenator: Husnul Khatimah Arief

Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, Islam datang di tengah-tengah umat dengan  membawa seperangkat regulasi untuk mencipta kehidupan masyarakat yang beradab, karena diakui sebelum hadirnya Islam, kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Arab mengalami degradasi moral akibat dari tidak adanya aturan-aturan etis dan humanis sebagai pedoman hidup masyarakat kala itu.
            Peraturan-peraturan dalam Islam telah terakumulasi dalam sumber primer yang autentik, yakni al-Quran dan Hadis. Kedua sumber inilah yang dijadikan rujukan utama umat Islam dalam mengambil keputusan hukum. Pokok permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, pemecahannya tersedia dalam dua  pedoman tersebut. Umat Islam tidak akan tersesat bila berpegang teguh pada keduanya. Sebagaimana sabda Nabi saw. Taraktu fiikum amraini in tamassaktum bihima lan tadhillu abadan kitaballahi wa sunnata rasulihi (Aku tinggalkan dua perkara pada kamu sekalian. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah dan sunnah NabiNya. (HR. Turmudzi)
            Bicara soal hukum memang tidak bisa dilepas dari dinamika kehidupan masyarakat. Hukum bukanlah sistem nilai yang otonom. Melainkan, ia akan terus jalin berkelindan dengan konteks lingkungan yang melingkupinya. Hukum ada tentunya untuk mengatur tatanan hidup masyarakat guna mencapai kemaslahatan, kedamaian dan keamanan. Karena hukum adalah sebuah kebutuhan masyarakat, maka hukum haruslah senantiasa relevan dengan situasi yang tengah dihadapi masyarakat.
            Sebagai negara yang mayoritas penduduknya menganut Islam, Indonesia tidak hanya menganut hukum sekuler (baca: hukum negara) dalam mengatur masyarakat. Hukum sakral (hukum Islam) juga sangat perlu diaktualisasikan sebagai konsekuensi logis atas pemilihan Islam sebagai agama. Dari sini akan muncul permasalahan akurat ketika hukum negara dan hukum agama berseberangan dalam suatu kasus, misalnya. Hukum mana yang mesti diikuti? atau persoalan lainnya, bagaimana bila hukum Islam tidak lagi mampu menjawab persoalan kekinian yang dihadapi masyarakat Indonesia?
            Masyarakat Indonesia memang pernah mengalami situasi itu, dimana hukum Islam dinilai tidak mampu menjawab persoalan-persoalan masyarakat. Dalam hal ini, founding fathers Indonesia, ahli hukum Islam dan tokoh-tokoh ormas memandang perlu mereformulasi hukum Islam agar mampu menjawab kebutuhan hukum masyarakat dan sejalan dengan konteks keindonesiaan. Implementasi hukum Islam di Indonesia mengalami babak baru pada tahun 1991 dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai rujukan yuridis dalam Peradilan Agama yang meliputi hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
                Munculnya format baru dalam bentuk hukum ini masih saja melahirkan persoalan terkait eksistensinya. Tak jarang ada banyak golongan yang menentangnya, terutama golongan Islam konservatif, yang memandang bahwa hukum Islam adalah hukum Tuhan yang final dan tidak perlu diadakan perubahan. Sementara KHI adalah hukum buatan manusia setelah melakukan konsensus dan ijtihad. Meski demikian, ada pula golongan yang justru mengamini kedatangan KHI ini. Mereka menyatakan, Indonesia memang seharusnya memiliki hukum Islam tersendiri yang berkarakter nasional dan mampu menyediakan solusi bagi persoalan masyarakat Indonesia, karena mereka meyakini hukum Islam di Indonesia selama ini masih taklid pada hukum yang berlaku di Timur Tengah. Padahal, kultur dan lingkungan di sana tentu berbeda dengan kultur yang ada di Indonesia.
            Kehadiran KHI sebagai hukum positif (positive law) bisa dikatakan sebagai angin segar di tengah-tengah kerumitan persoalan yang dihadapi bangsa. Dalam KHI terdapat hukum-hukum yang diadaptasikan dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan dan kemaslahatan. Dilihat dari sudut ini, KHI dapat berfungsi sebagai instrumen pembaruan hukum Islam di Indonesia sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat yang menuntut perubahan. Dalam konteks ushul fiqih, KHI termasuk dalam kategori ijtihad jama’i.
            Pertanyaan mengemuka kemudian, apakah KHI sudah dikira cukup sebagai acuan hukum negara tanpa perlu pembaruan? Apakah peraturan tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat tanpa direformulasi kembali? Nah, pertanyaaan-pertanyaan semacam ini telah dijawab oleh Dr. H. A. Malthuf Siroj, M. Ag dalam karyanya berjudul Pembaruan Hukum Islam: Telaah Kompilasi Hukum Islam. Dalam buku ini dijelaskan secara komprehensif mengenai Kompilasi Hukum Islam mulai dari sejarah terbentuknya, landasan berlakunya, tujuannya, proses pembentukannya, hingga kedudukannya dalam sistem perundang-undangan RI.
            Tidak diragukan memang ketika sarjana muda Fakultas Syari’ah seperti penulis ini membahas secara tuntas tentang terma hukum. Kualifikasi keilmuan yang dimiliki penulis teraktualisasi dalam analisisnya yang tajam terhadap hukum negara dalam kaitannya dengan hukum agama. Dalam uraiannya, penulis hendak mengajak pembaca agar terlepas dari belenggu pemahaman bahwa kitab-kitab fikih gubahan ulama’ mutaqaddimin adalah kitab yang sakral dan final sehingga mesti dijauhi dari sentuhan kritik. Pernyataan yang demikian jelas keliru, sebab menurut penulis, kitab klasik juga hasil karya manusia setelah melakukan istinbathul hukmi dari al-Quran dan Hadis. Kesimpulan manusia tidak melahirkan kebenaran absolut, melainkan kebenaran relatif yang berpotensi salah atau benar. Dengan demikian, kitab-kitab fikih sebenarnya masih terbuka lebar untuk dikritisi bersama.
            Karya yang merupakan hasil penelitian disertasi ini memuat beberapa hal terkait pembaruan hukum Islam sebelum menguraikan tentang KHI, yaitu tujuan, media dan metode pembaruan hukum Islam. Hal ini menunjukkan sikap moderasi penulis untuk merelevansikan KHI dengan kaidah-kaidah pembaruan hukum Islam. Sehingga nantinya pembaca bisa mengambil konklusi sendiri dimana letak kesesuaian KHI dengan kaidah-kaidah pembaruan hukum Islam.
            Pembaruan hukum Islam dalam rentang sejarah memang mutlak diperlukan. Ini didasarkan pada situasi dan kondisi kehidupan manusia yang akan terus bergerak mengalami dinamisasi seiring dengan kemajuan politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, tekhnologi dan pola pikir masyarakat. Hukum yang berlaku dulu belum tentu cocok ketika diberlakukan saat ini. Maka, agar hukum Islam tetap eksis dan relevan, sebagai antisipasinya perlu dilakukan pembaruan, rekonstruksi serta reinterpretasi terhadap teks  hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Hadis.
Selain karena kebutuhan yang mendesak itu, faktor pembaruan hukum Islam juga disebabkan oleh faktor intern, yakni hukum Islam itu sendiri yang bersifat fleksibel, lentur dan dinamis sehingga memungkinkan terjadinya perubahan sesuai dengan ruang dan waktu dimana hukum tersebut diterapkan. Potensi perubahan hukum itu terlihat dari teks al-Quran dan Hadis yang banyak memuat teks dhanni (hipotetik) sehingga menyediakan ruang terbuka bagi “siapapun” untuk menafsirkannya secara heterogen.
Melihat latar belakang pendidikan penulis yang bergenre pesantren, yaitu PP. Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura dan PP. Lirboyo Kediri, tampaknya ini  sangat mendukung terhadap luasnya pengetahuan keislaman penulis. Sehingga wajar apabila dalam buku ini penulis terlihat kritis dengan menyatakan bahwa KHI juga memerlukan pembaruan kendati secara historis keberadaannya memang mengandung nilai-nilai pembaruan. Hal ini dimaksudkan agar hukum Islam tetap up to date dan bisa menjawab persoalan umat tanpa mengenal batas waktu.
Sikap kritis itu terlihat ketika penulis menilai pasal 209 dalam KHI yang berbunyi: memberlakukan wasiat wajibah bagi anak angkat atau orangtua angkat. Secara tegas penulis menyatakan, anak angkat bukanlah anak kandung dan pengangkatan anak itu menurut hukum Islam tidaklah menimbulkan hubungan kekerabatan sama sekali antara orangtua angkat dan anak angkat berdasarkan ayat 4 surat al-Ahzab, yang apabila ditinjau dari segi eksistensi (tsubut) dan petunjuk hukumnya (dalalah-nya), ayat itu bersifat qath’i. Atas dasar ini, pemberian wasiat wajibah bagi orangtua angkat atau anak angkat kuranglah sejalan dengan pemaknaan ayat tersebut (halaman 229).
Selain contoh tersebut, masih banyak pasal-pasal dalam KHI yang dipandang perlu untuk diperbarui guna mencapai kemaslahatan sebagaimana yang diinginkan. Hal inilah sebenarnya yang ingin ditekankan dalam buku ini bahwa hukum Islam (Islamic jurisprudence) akan senantiasa memerlukan pembaruan seiring dengan kebutuhan masyarakat di waktu dan kondisi tertentu. Apabila tidak demikian, tentu hukum Islam akan menjadi kaku dan tidak mampu berdialog dengan kondisi zaman.
Uraian deskriptif-analitis yang terdapat dalam buku ini begitu lugas disampaikan. Pembaca akan dibawa melanglang buana ke dalam dunia ushul fiqih yang amat luas sebelum memasuki pembahasan Kompilasi Hukum Islam. Strategi ini tepat sekali dilakukan, karena pembaca mampu melihat dimana peran teori hukum Islam (ushul fiqih) dalam proses pembuatan Kompilasi Hukum Islam. Apalagi penulis melengkapi buku ini dengan matriks, sehingga pembaca akan lebih mudah mengetahui seperti apa hukum Islam sebelum diperbarui dan seperti apa pula hukum Islam setelah diperbarui.
Walaupun demikian, tak ada gading yang tak retak. Kesalahan ketik dalam kata-kata masih bisa ditemui di halaman buku ini yang mengindikasikan bahwa penulis kurang berhati-hati. Di samping itu, sangat disayangkan buku ini tidak dilengkapi dengan indeks. Padahal, tulisan prestisius seperti disertasi pada umumnya menyertakan indeks sebagai acuan pembaca untuk mencari kata kunci yang dibutuhkan. Namun, kekurangan-kekurangan itu tidak lantas mengurangi kualitas buku ini. Bagaimanapun, masterpiece Dr. H. A. Malthuf Siroj, M. Ag ini adalah kontribusi berharga untuk bangsa Indonesia di tengah keramaian wacana Kompilasi Hukum Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar