Dinamisasi
Hukum Islam di Indonesia
Judul Buku:
Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Kompilasi Hukum Islam
Penulis: Dr. H.
A. Malthuf Siroj, M. Ag
Penerbit:
Pustaka Ilmu
Tahun Terbit:
2012
Tebal Buku: 252
Halaman
Resenator:
Husnul Khatimah Arief
Sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin, Islam datang di tengah-tengah umat dengan membawa seperangkat regulasi untuk mencipta kehidupan
masyarakat yang beradab, karena diakui sebelum hadirnya Islam, kehidupan
masyarakat khususnya masyarakat Arab mengalami degradasi moral akibat dari
tidak adanya aturan-aturan etis dan humanis sebagai pedoman hidup masyarakat
kala itu.
Peraturan-peraturan
dalam Islam telah terakumulasi dalam sumber primer yang autentik, yakni
al-Quran dan Hadis. Kedua sumber inilah yang dijadikan rujukan utama umat Islam
dalam mengambil keputusan hukum. Pokok permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat, pemecahannya tersedia dalam dua pedoman tersebut. Umat Islam tidak akan
tersesat bila berpegang teguh pada keduanya. Sebagaimana sabda Nabi saw. Taraktu
fiikum amraini in tamassaktum bihima lan tadhillu abadan kitaballahi wa sunnata
rasulihi (Aku tinggalkan dua perkara pada kamu sekalian. Jika kalian berpegang
teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah
dan sunnah NabiNya. (HR. Turmudzi)
Bicara
soal hukum memang tidak bisa dilepas dari dinamika kehidupan masyarakat. Hukum
bukanlah sistem nilai yang otonom. Melainkan, ia akan terus jalin berkelindan
dengan konteks lingkungan yang melingkupinya. Hukum ada tentunya untuk mengatur
tatanan hidup masyarakat guna mencapai kemaslahatan, kedamaian dan keamanan.
Karena hukum adalah sebuah kebutuhan masyarakat, maka hukum haruslah senantiasa
relevan dengan situasi yang tengah dihadapi masyarakat.
Sebagai
negara yang mayoritas penduduknya menganut Islam, Indonesia tidak hanya menganut
hukum sekuler (baca: hukum negara) dalam mengatur masyarakat. Hukum sakral
(hukum Islam) juga sangat perlu diaktualisasikan sebagai konsekuensi logis atas
pemilihan Islam sebagai agama. Dari sini akan muncul permasalahan akurat ketika
hukum negara dan hukum agama berseberangan dalam suatu kasus, misalnya. Hukum
mana yang mesti diikuti? atau persoalan lainnya, bagaimana bila hukum Islam
tidak lagi mampu menjawab persoalan kekinian yang dihadapi masyarakat Indonesia?
Masyarakat
Indonesia memang pernah mengalami situasi itu, dimana hukum Islam dinilai tidak
mampu menjawab persoalan-persoalan masyarakat. Dalam hal ini, founding
fathers Indonesia, ahli hukum Islam dan tokoh-tokoh ormas memandang perlu
mereformulasi hukum Islam agar mampu menjawab kebutuhan hukum masyarakat dan
sejalan dengan konteks keindonesiaan. Implementasi hukum Islam di Indonesia
mengalami babak baru pada tahun 1991 dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum
Islam (KHI) sebagai rujukan yuridis dalam Peradilan Agama yang meliputi hukum perkawinan,
kewarisan dan perwakafan.
Munculnya format baru dalam bentuk hukum ini masih saja melahirkan
persoalan terkait eksistensinya. Tak jarang ada banyak golongan yang
menentangnya, terutama golongan Islam konservatif, yang memandang bahwa hukum
Islam adalah hukum Tuhan yang final dan tidak perlu diadakan perubahan.
Sementara KHI adalah hukum buatan manusia setelah melakukan konsensus dan ijtihad.
Meski demikian, ada pula golongan yang justru mengamini kedatangan KHI ini.
Mereka menyatakan, Indonesia memang seharusnya memiliki hukum Islam tersendiri
yang berkarakter nasional dan mampu menyediakan solusi bagi persoalan
masyarakat Indonesia, karena mereka meyakini hukum Islam di Indonesia selama
ini masih taklid pada hukum yang berlaku di Timur Tengah. Padahal, kultur dan
lingkungan di sana tentu berbeda dengan kultur yang ada di Indonesia.
Kehadiran
KHI sebagai hukum positif (positive law) bisa dikatakan sebagai angin
segar di tengah-tengah kerumitan persoalan yang dihadapi bangsa. Dalam KHI
terdapat hukum-hukum yang diadaptasikan dengan kondisi sosial masyarakat
Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan dan kemaslahatan. Dilihat dari sudut
ini, KHI dapat berfungsi sebagai instrumen pembaruan hukum Islam di Indonesia
sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat yang menuntut perubahan. Dalam
konteks ushul fiqih, KHI termasuk dalam kategori ijtihad jama’i.
Pertanyaan
mengemuka kemudian, apakah KHI sudah dikira cukup sebagai acuan hukum negara tanpa
perlu pembaruan? Apakah peraturan tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan
masyarakat tanpa direformulasi kembali? Nah, pertanyaaan-pertanyaan
semacam ini telah dijawab oleh Dr. H. A. Malthuf Siroj, M. Ag dalam karyanya
berjudul Pembaruan Hukum Islam: Telaah Kompilasi Hukum Islam. Dalam buku
ini dijelaskan secara komprehensif mengenai Kompilasi Hukum Islam mulai dari
sejarah terbentuknya, landasan berlakunya, tujuannya, proses pembentukannya,
hingga kedudukannya dalam sistem perundang-undangan RI.
Tidak
diragukan memang ketika sarjana muda Fakultas Syari’ah seperti penulis ini membahas
secara tuntas tentang terma hukum. Kualifikasi keilmuan yang dimiliki penulis
teraktualisasi dalam analisisnya yang tajam terhadap hukum negara dalam kaitannya
dengan hukum agama. Dalam uraiannya, penulis hendak mengajak pembaca agar terlepas
dari belenggu pemahaman bahwa kitab-kitab fikih gubahan ulama’ mutaqaddimin
adalah kitab yang sakral dan final sehingga mesti dijauhi dari sentuhan kritik.
Pernyataan yang demikian jelas keliru, sebab menurut penulis, kitab klasik juga
hasil karya manusia setelah melakukan istinbathul hukmi dari al-Quran
dan Hadis. Kesimpulan manusia tidak melahirkan kebenaran absolut, melainkan
kebenaran relatif yang berpotensi salah atau benar. Dengan demikian,
kitab-kitab fikih sebenarnya masih terbuka lebar untuk dikritisi bersama.
Karya
yang merupakan hasil penelitian disertasi ini memuat beberapa hal terkait pembaruan
hukum Islam sebelum menguraikan tentang KHI, yaitu tujuan, media dan metode
pembaruan hukum Islam. Hal ini menunjukkan sikap moderasi penulis untuk
merelevansikan KHI dengan kaidah-kaidah pembaruan hukum Islam. Sehingga
nantinya pembaca bisa mengambil konklusi sendiri dimana letak kesesuaian KHI
dengan kaidah-kaidah pembaruan hukum Islam.
Pembaruan
hukum Islam dalam rentang sejarah memang mutlak diperlukan. Ini didasarkan pada
situasi dan kondisi kehidupan manusia yang akan terus bergerak mengalami
dinamisasi seiring dengan kemajuan politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, tekhnologi
dan pola pikir masyarakat. Hukum yang berlaku dulu belum tentu cocok ketika
diberlakukan saat ini. Maka, agar hukum Islam tetap eksis dan relevan, sebagai
antisipasinya perlu dilakukan pembaruan, rekonstruksi serta reinterpretasi
terhadap teks hukum yang terdapat dalam
al-Quran dan Hadis.
Selain karena
kebutuhan yang mendesak itu, faktor pembaruan hukum Islam juga disebabkan oleh faktor
intern, yakni hukum Islam itu sendiri yang bersifat fleksibel, lentur dan dinamis
sehingga memungkinkan terjadinya perubahan sesuai dengan ruang dan waktu dimana
hukum tersebut diterapkan. Potensi perubahan hukum itu terlihat dari teks
al-Quran dan Hadis yang banyak memuat teks dhanni (hipotetik) sehingga
menyediakan ruang terbuka bagi “siapapun” untuk menafsirkannya secara heterogen.
Melihat latar
belakang pendidikan penulis yang bergenre pesantren, yaitu PP. Annuqayah
Guluk-Guluk Sumenep Madura dan PP. Lirboyo Kediri, tampaknya ini sangat mendukung terhadap luasnya pengetahuan
keislaman penulis. Sehingga wajar apabila dalam buku ini penulis terlihat
kritis dengan menyatakan bahwa KHI juga memerlukan pembaruan kendati secara
historis keberadaannya memang mengandung nilai-nilai pembaruan. Hal ini
dimaksudkan agar hukum Islam tetap up to date dan bisa menjawab
persoalan umat tanpa mengenal batas waktu.
Sikap kritis itu
terlihat ketika penulis menilai pasal 209 dalam KHI yang berbunyi:
memberlakukan wasiat wajibah bagi anak angkat atau orangtua angkat. Secara
tegas penulis menyatakan, anak angkat bukanlah anak kandung dan pengangkatan
anak itu menurut hukum Islam tidaklah menimbulkan hubungan kekerabatan sama
sekali antara orangtua angkat dan anak angkat berdasarkan ayat 4 surat al-Ahzab,
yang apabila ditinjau dari segi eksistensi (tsubut) dan petunjuk
hukumnya (dalalah-nya), ayat itu bersifat qath’i. Atas dasar ini,
pemberian wasiat wajibah bagi orangtua angkat atau anak angkat kuranglah
sejalan dengan pemaknaan ayat tersebut (halaman 229).
Selain contoh tersebut,
masih banyak pasal-pasal dalam KHI yang dipandang perlu untuk diperbarui guna
mencapai kemaslahatan sebagaimana yang diinginkan. Hal inilah sebenarnya yang ingin
ditekankan dalam buku ini bahwa hukum Islam (Islamic jurisprudence) akan
senantiasa memerlukan pembaruan seiring dengan kebutuhan masyarakat di waktu
dan kondisi tertentu. Apabila tidak demikian, tentu hukum Islam akan menjadi
kaku dan tidak mampu berdialog dengan kondisi zaman.
Uraian
deskriptif-analitis yang terdapat dalam buku ini begitu lugas disampaikan.
Pembaca akan dibawa melanglang buana ke dalam dunia ushul fiqih yang
amat luas sebelum memasuki pembahasan Kompilasi Hukum Islam. Strategi ini tepat
sekali dilakukan, karena pembaca mampu melihat dimana peran teori hukum Islam (ushul
fiqih) dalam proses pembuatan Kompilasi Hukum Islam. Apalagi penulis melengkapi
buku ini dengan matriks, sehingga pembaca akan lebih mudah mengetahui seperti
apa hukum Islam sebelum diperbarui dan seperti apa pula hukum Islam setelah
diperbarui.
Walaupun
demikian, tak ada gading yang tak retak. Kesalahan ketik dalam kata-kata masih
bisa ditemui di halaman buku ini yang mengindikasikan bahwa penulis kurang
berhati-hati. Di samping itu, sangat disayangkan buku ini tidak dilengkapi
dengan indeks. Padahal, tulisan prestisius seperti disertasi pada umumnya menyertakan
indeks sebagai acuan pembaca untuk mencari kata kunci yang dibutuhkan. Namun, kekurangan-kekurangan
itu tidak lantas mengurangi kualitas buku ini. Bagaimanapun, masterpiece Dr.
H. A. Malthuf Siroj, M. Ag ini adalah kontribusi berharga untuk bangsa
Indonesia di tengah keramaian wacana Kompilasi Hukum Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar