Alhamdulillah, pada
akhirnya, tulisan ini ditetapkan sebagai juara 1 lomba menulis resensi di
kompetisi FCB Nasional 2013 BEM-I Instika tingkat regional.
Menyemai Kearifan Lokal
Madura
Data Buku
Judul Buku : Rahasia Perempuan Madura: Esai-Esai
Remeh Seputar Kebudayaan Madura
Penulis :
A. Dardiri Zubairi
Penerbit : Andhap Asor kerja sama dengan
Al-Afkar Press
Tahun Terbit : 2013
Tebal Buku : XXVI + 127 halaman
ISBN : 978-979-25-3177-0
Dalam Kungkungan Stereotip
Apa yang terbayang di benak Anda ketika
mendengar kata “Madura”? Di banyak perbincangan, yang kerap muncul tentangnya tak
jauh dari soal carok dan
kekerasan lainnya. Stereotip itu sedemikian melekat, sehingga
menenggelamkan sisi kearifan dari pulau garam ini.
Sejak dulu, orang Madura sering diasosiasikan
dengan celurit dan benda-benda tajam lainnya. Kita tidak bisa menampik atau
menafikan kenyataan itu, karena stigma tersebut bukan tanpa alasan. Kemunculannya
tidak bisa dilepaskan dari perilaku orang Madura sendiri yang “menggandrungi” carok
ketika ada pantangan (moral) yang telah dilanggar. Meski hanya persoalan sepele,
jika itu terkait “tengka”, orang Madura selalu berani “pote tolang”.
Sekali bangkit darah Maduranya, maka sulit bagi orang Madura untuk mundur.
Anggapan negatif itu telah merasuk, menyusup,
bahkan mendarah-daging, utamanya bagi kalangan non-Madura. Selain karena bukti
nyata di lapangan, hal ini juga disumbangkan oleh, salah satunya, publikasi
film “Carok” (1985) yang disutradarai Imam Tantowi. Bagaimanapun, film tersebut
juga turut andil mengukuhkan pandangan keras terhadap orang Madura.
Melihat watak keras orang Madura melulu identik
dengan adu otot rasanya tak fair juga.
Dari sudut pandang yang berbeda, watak keras itu bisa bermakna positif. Dari
sisi ekologis, misalnya, Kuntowijoyo dalam bukunya Madura (2002) pernah
menyatakan bahwa tanah tegal yang sebagian besar mendominasi pulau Madura secara
tak langsung telah membentuk masyarakatnya menjadi pribadi yang self
centered (mandiri), tidak gampang menyerah (mungkin juga keras kepala), dan
teguh memegang moral etis. Sebab untuk bertahan hidup, mau tak mau mereka harus
bekerja keras mengolah tanahnya yang tandus agar bisa ditanami. Ini sangat jauh
berbeda dengan tanah sawah yang telah membentuk kepribadian orang Jawa yang community
centered, lebih lembut, dan serba mistis.
Tak jauh beda dari Kuntowijoyo, Mien A. Rifa’ie
dalam buku Manusia Madura (2007) menyatakan, merepresentasikan orang
Madura dengan kekerasan tidak sepenuhnya benar. Ia beralasan, apabila dikaji
dari filosofi parebasan yang umumnya menjadi pedoman normatif, justru
masyarakat Madura itu berkarakter ideal. Misalnya, jauh sebelum orang Madura
mengenal life long education yang disosialisasikan UNESCO, mereka sudah
punya semboyan abeddung pellang yang memiliki makna serupa. Sebelum
mahasiswa Madura menghafal istilah hifdhul ‘ardh dalam ushul fiqh, masyarakat
Madura sudah punya pote mata pote tolang.
Pandangan Kuntowijoyo dan Mien A. Rifa’ie di
atas tampaknya ingin memberikan cara pandang berbeda agar orang lain melihat
Madura tidak hanya soal carok belaka.
Karena pada kenyataannya masih banyak dijumpai kearifan lokal yang sampai saat
ini masih terus dilestarikan.
Kearifan-kearifan tersebut sangat penting
diangkat ke permukaan agar bisa mengimbangi atau bahkan menghilangkan pandangan
negatif terhadap Madura. Sayang sekali, tidak banyak orang Madura yang mau
berbuat untuk itu.
Dari yang sedikit itu, A. Dardiri Zubairi, mencoba
mengambil peran dengan menghadirkan buku berjudul “Rahasia Perempuan Madura:
Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan Madura”. Buku ini memuat sejumlah
esai tentang kebudayaan Madura yang terkesan remeh-temeh. Namun, dari yang
remeh-temeh tersebut, secara tak langsung penulis telah menyuarakan penolakan
atas stigma negatif yang terlanjur berkembang.
Kebudayaan
yang Variatif
Sebagai orang Madura, penulis detail sekali ketika
menguraikan kebudayaan-kebudayaan Madura yang kadang luput dari perhatian orang
Madura sendiri. Pembaca barangkali akan terperangah saat membaca tulisan tentang
rokok, kopi, sarung, songkok, dan hal remeh lainnya, setelah menyadari bahwa
hal demikian telah menjadi kearifan lokal yang mengenalkan identitas orang
Madura.
Buku ini dibagi dalam empat bagian. Bagian
pertama menguraikan tentang agama dan kebudayaan Madura. Pada aras ini, penulis
memasukkan nilai-nilai religiusitas yang telah lama dibangun oleh orang Madura.
Persoalan seputar agama orang Madura, pesantren, cara orang Madura menghormati guru,
orang Madura yang berhasrat kuat untuk berhaji, simbol songkok, sarung, dan
sebagainya penulis kupas di bagian ini.
Dalam kesehariannya, orang Madura
sering memakai sarung, bukan jubah atau celana. Entah, tidak tahu pasti
alasannya apa. Namun yang jelas, sarung sudah diperkenalkan sejak dini oleh
orangtua kepada anaknya. Ketika akan mengaji di surau, misalnya, orangtua pasti
akan memakaikan sarung pada anaknya. Sarung telah menjadi kearifan lokal yang mengenalkan
pemakainya terhadap agama. Ia juga menjadi ekspresi keagamaan yang ramah
budaya. Melalui sarung, orang Madura mampu mengenal tradisi “kaum sarungan”: tahlilan,
ziarah kubur, cium tangan kiai, maulid Nabi Saw., dan tradisi-tradisi lain yang
dianggap bid’ah oleh kaum Wahabi.
Di bagian kedua, pembaca akan disuguhi ihwal kearifan
lokal Madura yang sangat bervariasi. Mulai dari pembahasan tellasan topa’,
rampak naong, ser maleng, kopi, rokok, ayam, hingga persoalan gentong. Memang
terkesan sederhana, namun di sinilah sebetulnya keberhasilan penulis karena
telah mampu mengangkat persoalan yang “terlupakan” dan “dilupakan” kebanyakan
orang Madura.
Dalam ser maleng, misalnya, akan tampak kearifan lokal orang
Madura dari sisi religiusitas dan sosial. Ser maleng adalah
tindakan berbagi sedekah yang tidak diketahui orang ketika memberikannya. Dalam
praktiknya, orang yang melakukan ser maleng biasanya memberi beras,
kopi, gula, dan rempah-rempah. Barang yang akan diberikan itu biasanya ditaruh
di depan pintu orang yang akan diberi pada malam hari, tentu tanpa memberi tahu
penghuni rumah. Pagi hari si penerima bantuan akan kaget karena di depan pintu
ada bungkusan tanpa tahu siapa pemberinya. Yang mungkin bisa dilakukan penerima
hanya memberi tahu tetangga bahwa ia baru saja menerima ser maleng (halaman
64).
Ser maleng mengajarkan si pemberi untuk ikhlas berbagi, tidak
gagah-gagahan, tidak sombong dan membangga-banggakan diri karena bisa membagi,
dan tidak menganggap pemberiannya besar. Inilah hikmah yang bisa ditemukan dalam
tradisi ser maleng (halaman 65-66).
Selanjutnya, uraian terkait reproduksi orang
Madura akan ditemukan di bagian ketiga. Tulisan berjudul Rahasia Perempuan
Madura yang dijadikan judul buku ini, penulis letakkan di bagian ini.
Bicara soal perempuan memang selalu menggoda, baik ditinjau dari segi fisik,
kepribadian, ataupun perannya. Madura dengan segenap cita rasa dan kulturalnya
punya referensi sendiri mengenai prototipe perempuan cantik. Kecantikan perempuan Madura bagi masyarakat Madura tidak
hanya soal fisik belaka. Cantik dalam pandangan budaya Madura sangat
memperhatikan substansi, sehingga muncullah pitutur raddin atena, bagus
tengka gulina. Maksudnya, perempuan cantik itu adalah perempuan yang cantik
hatinya dan indah prilakunya. Itulah kecantikan sesungguhnya.
Di bagian akhir, dengan nada “menggerutu” penulis
mengupas tentang stereotip yang sering dialamatkan kepada orang Madura. Tulisan
berjudul Duh, Susahnya Jadi Orang Madura,
Sumenep “Solonya” Madura?, Jangan Biarkan Stereotip Itu Beranak-Pinak,
menunjukkan bahwa Madura yang diidentikkan dengan kekerasan patut diuji
kembali. Orang yang mengatakan demikian kerap kali tidak menyertai data, melainkan
hanya asumsi belaka. Artinya, penempatan Madura sebagai daerah yang rawan
konflik lebih didasarkan pada prasangka, ketimbang kajian serius.
Dikatakan demikian bukan berarti penulis menampik
fakta bahwa ada orang Madura yang “menyukai” kekerasan. Di Madura memang
terdapat kekerasan, tetapi kekerasan tidak berarti hanya terjadi di Madura. Di
daerah-daerah lain juga pasti ditemui kekerasan dengan berbagai macam
bentuknya. Namun, naif rasanya jika kekerasan tersebut dianggap sebagai
representasi suatu daerah. Anasir-anasir yang membentuk kekerasan tidaklah
tunggal (faktor internal), melainkan juga terdapat faktor eksternalnya. Konteks
sosial-ekonomi juga penting untuk dibaca. Maka analisisnya tidak benar jika hanya
berpusat pada lokus di mana kekerasan itu terjadi.
Dalam perjalanan karier pendidikannya yang
ditempuh di luar Madura, yakni IAIN Jakarta (sekarang UIN Jakarta), penulis mengaku
sering kali dihadapkan dengan fenomena yang tampak “mendiskreditkan” orang
Madura. Pernah suatu ketika ia melihat teman kos-nya yang berasal dari Jawa
Mataram dipaksa seorang pedagang agar membeli jualannya. Karena tidak tahan
dengan gangguannya, akhirnya orang tersebut menakut-nakuti penjual dengan mengaku
dirinya sebagai orang Madura. Kisah ini menandaskan bahwa ternyata ada orang
luar yang menyandera Madura. Madura yang terlanjur dicap keras sengaja
disandera orang luar untuk menakut-nakuti orang lain. Jika disandera untuk
membela diri sebagaimana kisah tadi, masih mending. Tapi masalahnya
tidak sederhana jika nama Madura beserta segenap simbolnya digunakan untuk aksi
kejahatan.
Demikianlah pengalaman penulis ketika berada di
kota seberang dalam kaitannya dengan Madura. Karena kegelisahan itulah, buku
setebal 127 halaman ini ditulis dengan maksud mengintrodusir kepada pembaca sejumlah
kearifan lokal yang justru kontraproduktif dengan stereotip yang masih melekat
sampai saat ini. Namun sayang sekali, dalam tulisannya, penulis kurang
melakukan kajian serius dan mendalam. Padahal, kajian mendalam mengenai stereotip
orang Madura dirasa penting sebagai bantahan yang kredibel terhadap mereka yang
gampang menyebut orang Madura keras.
Terlepas dari itu, bagi yang mengaku
orang Madura, sangat disayangkan bila belum membaca buku ini. Sebab, di
dalamnya penulis telah mengakumulasi beberapa kebudayaan Madura yang terserak namun
sangat berarti. Maka naif kiranya jika masyarakat suatu daerah tidak mengenal
kebudayaannya sendiri. Dan bagi mereka yang mudah mengecap Madura keras, tunggu
dulu! Buku ini akan menjawab sekaligus mengklarifikasinya. Selamat membaca!
maaf, kalau boleh tau bukunya beli dimana?
BalasHapus