Halaman

Rabu, 24 April 2013



Alhamdulillah, pada akhirnya, tulisan ini ditetapkan sebagai juara 1 lomba menulis resensi di kompetisi FCB Nasional 2013 BEM-I Instika tingkat regional.

Menyemai Kearifan Lokal Madura
Data Buku
Judul Buku          : Rahasia Perempuan Madura: Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan Madura
Penulis                 : A. Dardiri Zubairi
Penerbit                : Andhap Asor kerja sama dengan Al-Afkar Press
Tahun Terbit       : 2013
Tebal Buku          : XXVI + 127 halaman
ISBN                      : 978-979-25-3177-0

Dalam Kungkungan Stereotip
Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengar kata “Madura”? Di banyak perbincangan, yang kerap muncul tentangnya tak jauh dari soal carok dan kekerasan lainnya. Stereotip itu sedemikian melekat, sehingga menenggelamkan sisi kearifan dari pulau garam ini.
Sejak dulu, orang Madura sering diasosiasikan dengan celurit dan benda-benda tajam lainnya. Kita tidak bisa menampik atau menafikan kenyataan itu, karena stigma tersebut bukan tanpa alasan. Kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari perilaku orang Madura sendiri yang “menggandrungi” carok ketika ada pantangan (moral) yang telah dilanggar. Meski hanya persoalan sepele, jika itu terkait “tengka”, orang Madura selalu berani “pote tolang”. Sekali bangkit darah Maduranya, maka sulit bagi orang Madura untuk mundur.
Anggapan negatif itu telah merasuk, menyusup, bahkan mendarah-daging, utamanya bagi kalangan non-Madura. Selain karena bukti nyata di lapangan, hal ini juga disumbangkan oleh, salah satunya, publikasi film “Carok” (1985) yang disutradarai Imam Tantowi. Bagaimanapun, film tersebut juga turut andil mengukuhkan pandangan keras terhadap orang Madura.
Melihat watak keras orang Madura melulu identik dengan adu otot rasanya tak fair juga. Dari sudut pandang yang berbeda, watak keras itu bisa bermakna positif. Dari sisi ekologis, misalnya, Kuntowijoyo dalam bukunya Madura (2002) pernah menyatakan bahwa tanah tegal yang sebagian besar mendominasi pulau Madura secara tak langsung telah membentuk masyarakatnya menjadi pribadi yang self centered (mandiri), tidak gampang menyerah (mungkin juga keras kepala), dan teguh memegang moral etis. Sebab untuk bertahan hidup, mau tak mau mereka harus bekerja keras mengolah tanahnya yang tandus agar bisa ditanami. Ini sangat jauh berbeda dengan tanah sawah yang telah membentuk kepribadian orang Jawa yang community centered, lebih lembut, dan serba mistis.
Tak jauh beda dari Kuntowijoyo, Mien A. Rifa’ie dalam buku Manusia Madura (2007) menyatakan, merepresentasikan orang Madura dengan kekerasan tidak sepenuhnya benar. Ia beralasan, apabila dikaji dari filosofi parebasan yang umumnya menjadi pedoman normatif, justru masyarakat Madura itu berkarakter ideal. Misalnya, jauh sebelum orang Madura mengenal life long education yang disosialisasikan UNESCO, mereka sudah punya semboyan abeddung pellang yang memiliki makna serupa. Sebelum mahasiswa Madura menghafal istilah hifdhul ‘ardh dalam ushul fiqh, masyarakat Madura sudah punya pote mata pote tolang.
Pandangan Kuntowijoyo dan Mien A. Rifa’ie di atas tampaknya ingin memberikan cara pandang berbeda agar orang lain melihat Madura tidak hanya soal carok belaka. Karena pada kenyataannya masih banyak dijumpai kearifan lokal yang sampai saat ini masih terus dilestarikan.
Kearifan-kearifan tersebut sangat penting diangkat ke permukaan agar bisa mengimbangi atau bahkan menghilangkan pandangan negatif terhadap Madura. Sayang sekali, tidak banyak orang Madura yang mau berbuat untuk itu.
Dari yang sedikit itu, A. Dardiri Zubairi, mencoba mengambil peran dengan menghadirkan buku berjudul Rahasia Perempuan Madura: Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan Madura”. Buku ini memuat sejumlah esai tentang kebudayaan Madura yang terkesan remeh-temeh. Namun, dari yang remeh-temeh tersebut, secara tak langsung penulis telah menyuarakan penolakan atas stigma negatif yang terlanjur berkembang.
Kebudayaan yang Variatif
Sebagai orang Madura, penulis detail sekali ketika menguraikan kebudayaan-kebudayaan Madura yang kadang luput dari perhatian orang Madura sendiri. Pembaca barangkali akan terperangah saat membaca tulisan tentang rokok, kopi, sarung, songkok, dan hal remeh lainnya, setelah menyadari bahwa hal demikian telah menjadi kearifan lokal yang mengenalkan identitas orang Madura.
Buku ini dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama menguraikan tentang agama dan kebudayaan Madura. Pada aras ini, penulis memasukkan nilai-nilai religiusitas yang telah lama dibangun oleh orang Madura. Persoalan seputar agama orang Madura, pesantren, cara orang Madura menghormati guru, orang Madura yang berhasrat kuat untuk berhaji, simbol songkok, sarung, dan sebagainya penulis kupas di bagian ini.
            Dalam kesehariannya, orang Madura sering memakai sarung, bukan jubah atau celana. Entah, tidak tahu pasti alasannya apa. Namun yang jelas, sarung sudah diperkenalkan sejak dini oleh orangtua kepada anaknya. Ketika akan mengaji di surau, misalnya, orangtua pasti akan memakaikan sarung pada anaknya. Sarung telah menjadi kearifan lokal yang mengenalkan pemakainya terhadap agama. Ia juga menjadi ekspresi keagamaan yang ramah budaya. Melalui sarung, orang Madura mampu mengenal tradisi “kaum sarungan”: tahlilan, ziarah kubur, cium tangan kiai, maulid Nabi Saw., dan tradisi-tradisi lain yang dianggap bid’ah oleh kaum Wahabi.
Di bagian kedua, pembaca akan disuguhi ihwal kearifan lokal Madura yang sangat bervariasi. Mulai dari pembahasan tellasan topa’, rampak naong, ser maleng, kopi, rokok, ayam, hingga persoalan gentong. Memang terkesan sederhana, namun di sinilah sebetulnya keberhasilan penulis karena telah mampu mengangkat persoalan yang “terlupakan” dan “dilupakan” kebanyakan orang Madura.
Dalam ser maleng, misalnya, akan tampak kearifan lokal orang Madura dari sisi religiusitas dan sosial. Ser maleng adalah tindakan berbagi sedekah yang tidak diketahui orang ketika memberikannya. Dalam praktiknya, orang yang melakukan ser maleng biasanya memberi beras, kopi, gula, dan rempah-rempah. Barang yang akan diberikan itu biasanya ditaruh di depan pintu orang yang akan diberi pada malam hari, tentu tanpa memberi tahu penghuni rumah. Pagi hari si penerima bantuan akan kaget karena di depan pintu ada bungkusan tanpa tahu siapa pemberinya. Yang mungkin bisa dilakukan penerima hanya memberi tahu tetangga bahwa ia baru saja menerima ser maleng (halaman 64).
Ser maleng mengajarkan si pemberi untuk ikhlas berbagi, tidak gagah-gagahan, tidak sombong dan membangga-banggakan diri karena bisa membagi, dan tidak menganggap pemberiannya besar. Inilah hikmah yang bisa ditemukan dalam tradisi ser maleng (halaman 65-66).
Selanjutnya, uraian terkait reproduksi orang Madura akan ditemukan di bagian ketiga. Tulisan berjudul Rahasia Perempuan Madura yang dijadikan judul buku ini, penulis letakkan di bagian ini. Bicara soal perempuan memang selalu menggoda, baik ditinjau dari segi fisik, kepribadian, ataupun perannya. Madura dengan segenap cita rasa dan kulturalnya punya referensi sendiri mengenai prototipe perempuan cantik. Kecantikan  perempuan Madura bagi masyarakat Madura tidak hanya soal fisik belaka. Cantik dalam pandangan budaya Madura sangat memperhatikan substansi, sehingga muncullah pitutur raddin atena, bagus tengka gulina. Maksudnya, perempuan cantik itu adalah perempuan yang cantik hatinya dan indah prilakunya. Itulah kecantikan sesungguhnya.  
Di bagian akhir, dengan nada “menggerutu” penulis mengupas tentang stereotip yang sering dialamatkan kepada orang Madura. Tulisan berjudul Duh, Susahnya Jadi Orang Madura, Sumenep “Solonya” Madura?, Jangan Biarkan Stereotip Itu Beranak-Pinak, menunjukkan bahwa Madura yang diidentikkan dengan kekerasan patut diuji kembali. Orang yang mengatakan demikian kerap kali tidak menyertai data, melainkan hanya asumsi belaka. Artinya, penempatan Madura sebagai daerah yang rawan konflik lebih didasarkan pada prasangka, ketimbang kajian serius.
Dikatakan demikian bukan berarti penulis menampik fakta bahwa ada orang Madura yang “menyukai” kekerasan. Di Madura memang terdapat kekerasan, tetapi kekerasan tidak berarti hanya terjadi di Madura. Di daerah-daerah lain juga pasti ditemui kekerasan dengan berbagai macam bentuknya. Namun, naif rasanya jika kekerasan tersebut dianggap sebagai representasi suatu daerah. Anasir-anasir yang membentuk kekerasan tidaklah tunggal (faktor internal), melainkan juga terdapat faktor eksternalnya. Konteks sosial-ekonomi juga penting untuk dibaca. Maka analisisnya tidak benar jika hanya berpusat pada lokus di mana kekerasan itu terjadi.
Dalam perjalanan karier pendidikannya yang ditempuh di luar Madura, yakni IAIN Jakarta (sekarang UIN Jakarta), penulis mengaku sering kali dihadapkan dengan fenomena yang tampak “mendiskreditkan” orang Madura. Pernah suatu ketika ia melihat teman kos-nya yang berasal dari Jawa Mataram dipaksa seorang pedagang agar membeli jualannya. Karena tidak tahan dengan gangguannya, akhirnya orang tersebut menakut-nakuti penjual dengan mengaku dirinya sebagai orang Madura. Kisah ini menandaskan bahwa ternyata ada orang luar yang menyandera Madura. Madura yang terlanjur dicap keras sengaja disandera orang luar untuk menakut-nakuti orang lain. Jika disandera untuk membela diri sebagaimana kisah tadi, masih mending. Tapi masalahnya tidak sederhana jika nama Madura beserta segenap simbolnya digunakan untuk aksi kejahatan.
Demikianlah pengalaman penulis ketika berada di kota seberang dalam kaitannya dengan Madura. Karena kegelisahan itulah, buku setebal 127 halaman ini ditulis dengan maksud mengintrodusir kepada pembaca sejumlah kearifan lokal yang justru kontraproduktif dengan stereotip yang masih melekat sampai saat ini. Namun sayang sekali, dalam tulisannya, penulis kurang melakukan kajian serius dan mendalam. Padahal, kajian mendalam mengenai stereotip orang Madura dirasa penting sebagai bantahan yang kredibel terhadap mereka yang gampang menyebut orang Madura keras.
            Terlepas dari itu, bagi yang mengaku orang Madura, sangat disayangkan bila belum membaca buku ini. Sebab, di dalamnya penulis telah mengakumulasi beberapa kebudayaan Madura yang terserak namun sangat berarti. Maka naif kiranya jika masyarakat suatu daerah tidak mengenal kebudayaannya sendiri. Dan bagi mereka yang mudah mengecap Madura keras, tunggu dulu! Buku ini akan menjawab sekaligus mengklarifikasinya. Selamat membaca!

1 komentar: