Jangan
Bangga Dulu, Pak Presiden!
Tulisan
ini terinspirasi dari artikel Sayidiman Suryohadiprojo berjudul Paradoks
Indonesia di harian Kompas, 24 November 2012. Ia menilai ada banyak hal
kontradiktif di negeri kita. Kontradiksi itu menimbulkan tanya, kenapa dan
bagaimana mengatasinya. Kemarin kita mendapat kabar bahwa presiden kita
mendapat pujian dan penghargaan tinggi dari Ratu Elizabeth II berupa bintang
The Knight Grand Cross in The Order of The Beth karena sukses menjadikan
Indonesia sebagai Negara demokratis, keberhasilannya di bidang ekonomi di
tengah krisis Eropa, dan keberhasilan-keberhasilan lainnya. Sebelumnya, pujian
itu juga datang dari pemimpin Negara lain seperti AS dan Jepang. Wajar bila kita
turut bangga melihat presiden kita dipuji Negara lain yang terbilang maju.
Mari
kita dengar pujian lain yang datangnya dari Tim Lindsey dari Universitas
Melbourne, Australia, ketika diwawancarai Kompas pada 17 November 2012 kemarin.
Katanya, sudah banyak prestasi yang telah Indonesia raih. Prestasi apa yang ia
maksud? Pada tahun 1998, banyak pihak pesimistis mengatakan Indonesia tidak akan
mampu bangkit disebabkan karena dalamnya keterpurukan. Namun, ternyata
Indonesia bisa menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis dan ekonominya
terus tumbuh. Bandingkan dengan Thailand yang beberapa kali mengganti perdana
menteri atau Singapura dan Malaysia yang masih menganut sistem satu partai atau
China yang belum sepenuhnya demokratis.
Lalu
bagaimana dengan kasus korupsi yang merajalela di Indonesia yang justru merusak
prestasi itu? Lindsey menjawab, korupsi memang ada dimana-mana, di banyak
Negara. India, China, Australia, dan Amerika Serikat juga tidak sepenuhnya
bebas korupsi. Masalahnya adalah bukan ada korupsi atau tidak, melainkan apa
yang dilakukan untuk menghadapinya dan Indonesia sudah melakukan itu. Indeks
persepsi korupsi Indonesia memang masih rendah, yaitu di angka 3,00 pada tahun
2011. Namun jika dibandingkan dengan tahun 2004 yang pada angka 2,00, ada
peningkatan 1 poin. Peningkatan itu adalah yang terbesar di Asia Tenggara,
nomor lima di Asia, dan nomor delapan di dunia.
Itulah
penilaian Lindsey. Namun, lihatlah apa yang sebenarnya terjadi dalam negeri ini.
Endemi korupsi sepertinya tidak akan menemukan ujung penyelesaian, banjir terus
saja terjadi, tawuran antarsiswa yang berakhir petaka di SMA Jakarta dan
antarmahasiswa di Makassar semakin menambah daftar buruk negeri ini. Belum lagi
persoalan kemiskinan yang belum teratasi secara maksimal. Saya merasa jengah
sendiri membaca media massa yang setiap harinya menyuguhkan berita tentang
kebobrokan negeri ini. Seakan semua rakyat bersuara bahwa Negara kita telah gagal.
Jelas saya kecewa, hingga tak bergairah lagi mengikuti berita perkembangan
negeri ini. Pemimpin yang menjadi tumpuan rakyat tidak mampu memenuhi harapan
yang sejak lama berkelindan, kesejahteraan. Jarang sekali terdengar
pujian-pujian yang bersumber dari rakyat sendiri. Pujian itu malah datang dari
Negara lain yang tidak tahu pasti apa yang sedang kita hadapi. Kesimpulannya,
Negara lain menganggap kita maju dan berhasil, sementara kita sendiri merasa
gagal dan terbelakang. Aneh, bukan?
Situasi
politik di negeri ini juga belum stabil. “Perang” antara KPK dan Polri,
kongkalikong di tubuh DPR, kecurangan-kecurangan yang dilakoni panitia KPU, dan
massifnya kasus korupsi yang melibatkan
sebagian besar elite partai Demokrat, sempat menjadikan kita mengutuk negeri
sendiri. Pujian yang disematkan kepada presiden kita seolah hanya kamuflase
belaka, hanya pencitraan bagi seseorang saja. Sementara rakyat dibiarkan
menderita. Memang, situasi ini masih lebih baik bila kita bandingkan dengan situasi
yang dihadapi Negara Timur Tengah; Mesir yang tengah mengalami krisis politik, Palestina-Israel
yang terus berseteru dan menanggalkan perdamaian, serta Suriah yang rakyatnya
saling berperang. Tetapi walau bagaimanapun, perbandingan itu tidak bisa
dijadikan alasan untuk berhenti mengentaskan problem akut negeri ini. Uluran
perhatian pemerintah tetap amat dibutuhkan dalam situasi begini.
Masih
soal korupsi, ada kabar yang sempat membuat saya tercengang setelah membaca
harian Kompas edisi Rabu, 5 Desember 2012. Di sana diberitakan bahwa setelah
dikalkulasi, jumlah uang yang dirampok pejabat dari tahun 2004 hingga 2011
adalah 39,3 triliun dengan 1.408 kasus korupsi. Siapa yang tidak kaget kalau
begitu? Uang yang tidak sedikit itu jika digunakan untuk kepentingan rakyat
tentu saja akan lebih meringankan problem mereka. Masyarakat akar rumput yang
berekonomi lemah terpaksa bersimbah air mata sebab mencari pengganjal perut, gara-gara
ulah pejabat yang telah merampas hak mereka itu. Saya selalu bertanya-tanya dengan
nada pesimis, mampukah penegak hukum membumi-hanguskan koruptor yang sangat
bandel dari negeri tercinta ini? Kita tunggu saja buktinya.
Salah
satu alasan kenapa Indonesia belum menemukan penerangan dan kesejahteraan
adalah krisis kepemimpinan. Jika ditanya tentang siapakah pemimpin Indonesia
yang patut diteladani, pasti jawaban yang disebutkan adalah pemimpin-pemimpin
tempo dulu: ya Soekarno, ya Hatta, atau Tan Malaka. Jajak pendapat yang
dilakukan Kompas kemarin pernah menyajikan suara rakyat tentang siapa pemimpin
Indonesia saat ini yang patut diteladani. Jawaban yang mendominasi adalah tidak
ada. Ada pula sebagian yang menyebut-nyebut nama SBY, Jokowi, dan Dahlan Iskan.
Tapi itu tidak seberapa. Dan ini artinya
kepercayaan rakyat pada pemimpin semakin memudar, atau bisa jadi tidak ada sama
sekali.
Andai
saja pemimpin kita bisa meneladani sosok Sukrasana, tentu negeri ini akan damai
sentosa. Sukrasana adalah tokoh utama dalam pewayangan yang buruk secara fisik
tapi berwatak mulia dan ksatria. Ia adalah konfigurasi dari substansi dan
esensi manusia. Cita-citanya bukanlah untuk meraup keuntungan materi di balik
kedudukan yang ditempati. Satu-satunya pamrih yang ada dalam dirinya adalah
cita-cita untuk membawa kemaslahatan bagi banyak orang, bukan untuk mengejar
pencitraan.
Sukrasana
adalah monumen kesetiaan dan integritas yang menjadi rujukan kolektif. Ia berpikir bahwa
dirinya tak lebih sebagai “utusan” Tuhan yang dititahkan untuk membawa
kemaslahatan dan mewujudkan nilai ideal kehidupan. Bukan seperti pemimpin umumnya,
Sukrasana tidak butuh artifisialitas dan tidak pula bermental kemaruk. Niatnya
sebagai pemimpin benar-benar murni untuk menolong kehidupan masyarakat dunia.
Di
Indonesia, meski sulit mencari pemimpin bermental Sukrasana, namun bukan
berarti menafikannya sama sekali. Tugas seluruh elemen bangsa ini adalah
menguatkan sinergisitas dengan bekerja sama mewujudkan pemimpin “Sukrasana”.
Salah satu langkahnya adalah memilih pemimpin yang tepat dalam kontestasi
Pemilu 2014, karena di tangan pemimpinlah masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Tentu
kita tidak menginginkan pemimpin kita bermental kapital dan berjiwa makelar kekuasaan.
Terakhir,
saya menyadari bahwa saya tak pantas berbicara panjang lebar tentang
hiruk-pikuk politik negeri ini, karena saya memang tidak tahu apa-apa tentang
itu. Terlebih, ini bukan bidang saya. Saya hanya ingin berbagi ketika beberapa
kali dibuat kecewa oleh pemberitaan media massa. Dengan berbagi, saya bisa
sedikit lega. Biarlah semua orang tahu bahwa ada sebagian orang yang bangga dan
sebagian besar kecewa dengan kerja pejabat kita. Biarlah mereka tahu bahwa
Negara lain tengah memuji kita, sementara kita sendiri menderita. Jangan bangga
dulu, Pak Presiden! Lihatlah rakyatmu…
Guluk-guluk, 10 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar