Halaman

Minggu, 09 Desember 2012


Calon Sarjana Tafsir Hadis
Apa menariknya menjadi sarjana Tafsir Hadis? Pertanyaan seorang teman ini menggelitik saya untuk mencari jawaban representatif tentang apa kelebihannya menjadi sarjana Tafsir Hadis. Zaman modern yang penuh digital ini telah menuntut pemuda yang bergelut di dunia akademik untuk mengambil jurusan yang pragmatis, yang berorientasi kerja. Sehingga ketika keluar dari jenjang pendidikan terakhir nanti tidak sulit-sulit amat mencari kerja. Cukup mengandalkan ijazah dan titel yang disandang, pekerjaan yang diincar akan mudah didapatkan.
            Lihatlah di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri, beberapa jurusan yang banyak diminati mahasiswa dipastikan merupakan jurusan yang menjanjikan kerja. Sementara jurusan teologis terkesan tidak “laku” karena mahasiswanya ternyata tidak seberapa. Tidak hanya di PT Negeri, di PT Swasta juga mengalami hal yang sama. Di Instika, misalnya, coba hitung berapa banyak mahasiswa yang masuk jurusan Tafsir Hadis dan Akhlak Tashawuf? Lalu bandingkan dengan mahasiswa yang memilih jurusan Pendidikan Agama Islam. Tentu jumlahnya jauh lebih besar. Alasannya bermacam-macam, dari alasan yang sederhana sampai alasan yang kompleks.
            Jurusan Tafsir Hadis yang merupakan kalangan minoritas tak jarang mendapat pertanyaan-pertanyaan bernada sumbing, apa yang bisa diandalkan dari sarjana Tafsir Hadis ketika pulang ke masyarakat nanti? Apakah hanya akan menjadi ustadz/ustadzah di mushalla dan di masjid saja? Pertanyaan ini, bagi saya, tidak perlu dijawab secara lisan. Cukup buktikan dengan tindakan nanti bahwa sarjana Tafsir Hadis juga bisa memberi sumbangsih dan kontribusi di lingkungan masyarakat. Dan ini adalah Pekerjaan Rumah yang tidak sederhana bagi para calon sarjana Tafsir Hadis.
            Sekedar berbagi cerita, dulu waktu saya memberi tahu keluarga tentang jurusan yang saya ambil di PT, mereka langsung komplain. Katanya, saya harus mengubah haluan dengan memilih jurusan Pendidikan Agama Islam setelah melalui pertimbangan-pertimbangan yang mereka pikirkan. Tapi saya menolak. Berbagai alasan saya utarakan. Saya mencoba meyakinkan mereka bahwa jurusan yang saya pilih tidak akan salah karena memang sesuai dengan minat saya semenjak di bangku MAK. Soal pekerjaan, itu urusan nanti. Jalan untuk itu pasti ada. Kalau saya menuruti saran keluarga tadi, pendidikan saya tentu akan sembrawutan, karena saya tidak akan menikmati aktifitas belajar. Berada dalam zona yang tidak sesuai dengan minat kita, tentu saja akan membuat tidak kerasan. Dan akhirnya, segalanya tidak akan berjalan maksimal.
            Di jurusan Tafsir Hadis, ada banyak hal yang akan didapat yang tidak mungkin ada di jurusan lain, seperti perihal teologi, wacana-wacana keislaman kontemporer, pemikiran modern dalam Islam, perkembangan tafsir, isu Islam dan Barat, dan lain sebagainya. Dan ini, bagi saya, sangat menarik. Pengetahuan semacam ini perlu digali oleh generasi muslim sebagai bekal menghadapi orang-orang yang akan berusaha merobohkan pilar-pilar Islam dengan pemikiran liberal. Terlebih, ketika nanti berhadapan dengan komplotan orientalis yang merasuki umat Islam dengan gagasan-gagasannya yang pincang. Jika mereka menyerang kita dengan ide dan teori, maka kita harus bisa melawannya dengan cara yang sama. Kita tidak akan bisa melakukan hal itu jika tidak memiliki pondasi pengetahuan yang kuat. Dan berada di jurusan Tafsir Hadis adalah pilihan tepat untuk mempelajari itu.
            Selain itu, kita tahu, kajian hadis di Indonesia selama ini jatahnya sangat sedikit ketimbang kajian tafsir. Kalau mau dijumlah, buku-buku yang bergenre tafsir jauh lebih banyak ditemukan ketimbang buku-buku hadis. Wacana tentang hadis tampaknya mengalami stagnasi dan kebekuan. Bahkan, mencari ahli hadis atau peminat hadis saat ini relatif sulit. Memang ada sejumlah tokoh hadis di Indonesia yang sempat bermunculan seperti Mahmud Yunus, Taufiq Shidqi, A. Hasan, Ali Musthafa Ya’qub, Syuhudi Isma’il, Hasyim Asy’ari, dan Munawar Khalil. Tetapi sebagian besar kajian mereka justru lebih concern pada tafsir. Minimnya literatur-literatur mengenai perkembangan dan pemikiran hadis di Nusantara ini bisa dijadikan peluang bagi sarjana Tafsir Hadis untuk mengkaji hal itu. Hingga kemudian hasil pemikiran dan penelitian hadis yang ditulisnya menjadi kontribusi berharga untuk umat Islam, khususnya di Indonesia, yang berminat di bidang hadis.
            Itu sekelumit persoalan hadis, lalu beda lagi dengan persoalan tafsir. Kajian tentang perkembangan tafsir yang sangat luas adalah tantangan tersendiri bagi umat Islam. Berbagai macam corak dan metode yang diperkenalkan mufassir kontemporer memang di satu sisi menjadi sumbangsih yang sangat bernilai untuk mendapatkan “kebenaran” penafsiran ayat. Tetapi di sisi lain, metode dan corak yang mereka tawarkan justru kontroversial dan menyulut persoalan. Sembarang menggunakan metode dan corak yang mereka pakai tentu akan menjadikan penafsiran kita semakin jauh dari weltanschauung al-Quran. Katakanlah misalnya penafsiran corak ilmy yang terkesan memaksakan al-Quran sejalan dengan penemuan-penemuan sains modern. Ini sama artinya dengan mereduksi al-Quran secara diam-diam.
            Sekali lagi, jika kita tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang hal itu, tentu mudah saja menafsirkan al-Quran menggunakan metode dan corak apapun. Hal ihwal terkait penafsiran al-Quran bisa diperoleh, paling tidak,  ketika berada di jurusan Tafsir Hadis. Mendalami ilmu tafsir akan membuat kita semakin waspada dalam menafsirkan al-Quran sehingga bisa terhindar dari apa yang disebut oleh­­­­­­­­ M. Khaled Abou Fadhl sebagai interpretatif despotism (penafsiran yang sewenang-wenang).  
            Dengan demikian, maka menjadi tugas pokok sarjana Tafsir Hadislah menafsirkan al-Quran dengan menggunakan pisau analisis yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan agamis. Mereka juga harus mampu menilai secara kritis produk penafsiran mufassir klasik dan kontemporer yang berkembang saat ini sehingga tidak lantas menerimanya dengan cara taken for granted saja.
Sarjana Tafsir Hadis akan sangat dibutuhkan eksistensinya di saat masyarakat modern saat ini menghadapi massifnya pemikiran-pemikiran Islam yang cenderung politis dan destruktif, termasuk kaitannya dalam bidang penafsiran. Kalau bukan sarjana Tafsir Hadis yang akan membendung hal ini, lalu siapa lagi? Masih adakah alasan mereka untuk tidak urun rembuk pada kemelut problem yang masyarakat hadapi saat ini?  

Annuqayah mendung, 4 Desember 2012
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar