Calon Sarjana Tafsir Hadis
Apa menariknya menjadi sarjana Tafsir Hadis? Pertanyaan
seorang teman ini menggelitik saya untuk mencari jawaban representatif tentang apa
kelebihannya menjadi sarjana Tafsir Hadis. Zaman modern yang penuh digital ini
telah menuntut pemuda yang bergelut di dunia akademik untuk mengambil jurusan
yang pragmatis, yang berorientasi kerja. Sehingga ketika keluar dari jenjang
pendidikan terakhir nanti tidak sulit-sulit amat mencari kerja. Cukup
mengandalkan ijazah dan titel yang disandang, pekerjaan yang diincar akan mudah
didapatkan.
Lihatlah di sejumlah Perguruan
Tinggi Negeri, beberapa jurusan yang banyak diminati mahasiswa dipastikan
merupakan jurusan yang menjanjikan kerja. Sementara jurusan teologis terkesan
tidak “laku” karena mahasiswanya ternyata tidak seberapa. Tidak hanya di PT Negeri,
di PT Swasta juga mengalami hal yang sama. Di Instika, misalnya, coba hitung
berapa banyak mahasiswa yang masuk jurusan Tafsir Hadis dan Akhlak Tashawuf?
Lalu bandingkan dengan mahasiswa yang memilih jurusan Pendidikan Agama Islam.
Tentu jumlahnya jauh lebih besar. Alasannya bermacam-macam, dari alasan yang
sederhana sampai alasan yang kompleks.
Jurusan Tafsir Hadis yang merupakan
kalangan minoritas tak jarang mendapat pertanyaan-pertanyaan bernada sumbing,
apa yang bisa diandalkan dari sarjana Tafsir Hadis ketika pulang ke masyarakat
nanti? Apakah hanya akan menjadi ustadz/ustadzah di mushalla dan di masjid
saja? Pertanyaan ini, bagi saya, tidak perlu dijawab secara lisan. Cukup
buktikan dengan tindakan nanti bahwa sarjana Tafsir Hadis juga bisa memberi
sumbangsih dan kontribusi di lingkungan masyarakat. Dan ini adalah Pekerjaan
Rumah yang tidak sederhana bagi para calon sarjana Tafsir Hadis.
Sekedar berbagi cerita, dulu waktu
saya memberi tahu keluarga tentang jurusan yang saya ambil di PT, mereka langsung
komplain. Katanya, saya harus mengubah haluan dengan memilih jurusan Pendidikan
Agama Islam setelah melalui pertimbangan-pertimbangan yang mereka pikirkan.
Tapi saya menolak. Berbagai alasan saya utarakan. Saya mencoba meyakinkan
mereka bahwa jurusan yang saya pilih tidak akan salah karena memang sesuai
dengan minat saya semenjak di bangku MAK. Soal pekerjaan, itu urusan nanti.
Jalan untuk itu pasti ada. Kalau saya menuruti saran keluarga tadi, pendidikan
saya tentu akan sembrawutan, karena saya tidak akan menikmati aktifitas
belajar. Berada dalam zona yang tidak sesuai dengan minat kita, tentu saja akan
membuat tidak kerasan. Dan akhirnya, segalanya tidak akan berjalan maksimal.
Di jurusan Tafsir Hadis, ada banyak
hal yang akan didapat yang tidak mungkin ada di jurusan lain, seperti perihal
teologi, wacana-wacana keislaman kontemporer, pemikiran modern dalam Islam,
perkembangan tafsir, isu Islam dan Barat, dan lain sebagainya. Dan ini, bagi
saya, sangat menarik. Pengetahuan semacam ini perlu digali oleh generasi muslim
sebagai bekal menghadapi orang-orang yang akan berusaha merobohkan pilar-pilar
Islam dengan pemikiran liberal. Terlebih, ketika nanti berhadapan dengan
komplotan orientalis yang merasuki umat Islam dengan gagasan-gagasannya yang pincang.
Jika mereka menyerang kita dengan ide dan teori, maka kita harus bisa
melawannya dengan cara yang sama. Kita tidak akan bisa melakukan hal itu jika
tidak memiliki pondasi pengetahuan yang kuat. Dan berada di jurusan Tafsir
Hadis adalah pilihan tepat untuk mempelajari itu.
Selain itu, kita tahu, kajian hadis di
Indonesia selama ini jatahnya sangat sedikit ketimbang kajian tafsir. Kalau mau
dijumlah, buku-buku yang bergenre tafsir jauh lebih banyak ditemukan ketimbang
buku-buku hadis. Wacana tentang hadis tampaknya mengalami stagnasi dan
kebekuan. Bahkan, mencari ahli hadis atau peminat hadis saat ini relatif sulit.
Memang ada sejumlah tokoh hadis di Indonesia yang sempat bermunculan seperti Mahmud
Yunus, Taufiq Shidqi, A. Hasan, Ali Musthafa Ya’qub, Syuhudi Isma’il, Hasyim
Asy’ari, dan Munawar Khalil. Tetapi sebagian besar kajian mereka justru lebih concern
pada tafsir. Minimnya literatur-literatur mengenai perkembangan dan
pemikiran hadis di Nusantara ini bisa dijadikan peluang bagi sarjana Tafsir
Hadis untuk mengkaji hal itu. Hingga kemudian hasil pemikiran dan penelitian
hadis yang ditulisnya menjadi kontribusi berharga untuk umat Islam, khususnya
di Indonesia, yang berminat di bidang hadis.
Itu sekelumit persoalan hadis, lalu beda
lagi dengan persoalan tafsir. Kajian tentang perkembangan tafsir yang sangat
luas adalah tantangan tersendiri bagi umat Islam. Berbagai macam corak dan
metode yang diperkenalkan mufassir kontemporer memang di satu sisi menjadi
sumbangsih yang sangat bernilai untuk mendapatkan “kebenaran” penafsiran ayat.
Tetapi di sisi lain, metode dan corak yang mereka tawarkan justru kontroversial
dan menyulut persoalan. Sembarang menggunakan metode dan corak yang mereka
pakai tentu akan menjadikan penafsiran kita semakin jauh dari weltanschauung
al-Quran. Katakanlah misalnya penafsiran corak ilmy yang terkesan
memaksakan al-Quran sejalan dengan penemuan-penemuan sains modern. Ini sama
artinya dengan mereduksi al-Quran secara diam-diam.
Sekali
lagi, jika kita tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang hal itu, tentu
mudah saja menafsirkan al-Quran menggunakan metode dan corak apapun. Hal ihwal terkait
penafsiran al-Quran bisa diperoleh, paling tidak, ketika berada di jurusan Tafsir Hadis.
Mendalami ilmu tafsir akan membuat kita semakin waspada dalam menafsirkan
al-Quran sehingga bisa terhindar dari apa yang disebut oleh M. Khaled
Abou Fadhl sebagai interpretatif despotism (penafsiran yang
sewenang-wenang).
Dengan
demikian, maka menjadi tugas pokok sarjana Tafsir Hadislah menafsirkan al-Quran
dengan menggunakan pisau analisis yang bisa dipertanggungjawabkan secara
akademik dan agamis. Mereka juga harus mampu menilai secara kritis produk penafsiran
mufassir klasik dan kontemporer yang berkembang saat ini sehingga tidak lantas menerimanya
dengan cara taken for granted saja.
Sarjana Tafsir Hadis akan sangat dibutuhkan
eksistensinya di saat masyarakat modern saat ini menghadapi massifnya
pemikiran-pemikiran Islam yang cenderung politis dan destruktif, termasuk kaitannya
dalam bidang penafsiran. Kalau bukan sarjana Tafsir Hadis yang akan membendung
hal ini, lalu siapa lagi? Masih adakah alasan mereka untuk tidak urun rembuk
pada kemelut problem yang masyarakat hadapi saat ini?
Annuqayah
mendung, 4 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar