Halaman

Sabtu, 26 Oktober 2013

Ternyata, Cerdas itu Tak Cukup



Sebagaimana orangtua pada umumnya, ayah-ibu saya menginginkan anaknya tumbuh menjadi anak yang  cerdas. Sejak kecil saya dididik menjadi pribadi yang suka membaca, menghapal, dan menulis materi-materi pelajaran. Bahkan, untuk meningkatkan prestasi saya, orangtua kerap kali mengiming-imingi saya hadiah jika saya bisa mendapatkan juara. Mungkin, mereka berpikir bahwa kesuksesan seseorang diukur dari setinggi apa kecerdasan dan kepintaran yang dimilikinya. Asumsi tersebut juga didukung oleh pemahaman masyarakat pada umumnya bahwa kesuksesan itu hanya bisa didapatkan orang yang pintar, cerdas, dan berpengetahuan.
Selama ini masyarakat Indonesia masih meyakini bahwa kecerdasan intelektual sangat menentukan terhadap kesuksesan seseorang. Karena itulah sistem pendidikan kita saat ini masih menekankan pada kurikulum yang memprioritaskan aspek kognitif. Wajar jika kemudian kebanyakan guru di negeri ini lebih memberikan pengetahuan daripada pendidikan terhadap anak didiknya. Bagi mereka, yang penting anak didik paham dan hapal, itu sudah cukup.
Benarkah demikian? Tampaknya saya harus berpikir seribu kali untuk membenarkan asumsi tersebut. Ada banyak alasan kenapa saya menolak pendapat bahwa kecerdasan intelektual harus menjadi prioritas. Memang, awalnya saya juga berpikir begitu, bahwa walau bagaimanapun kecerdasan intelektual harus menjadi prioritas yang diutamakan, karena sulit rasanya diterima akal, orang bodoh dapat mencapai kesuksesan. Begitulah persepsi saya awalnya. Untuk mencapai keinginan tersebut, maka saya harus sering-sering memberi asupan gizi pada otak untuk meningkatkan daya kecerdasannya.
Namun, tampaknya ada yang keliru dari pemahaman saya tersebut. Kesalahan itu terlihat ketika saya berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Saya melupakan kecerdasan emosional yang justru menjadi hal terpenting dalam membangun relasi dengan orang lain. Sebagai mahluk zoon politicon, tak ditampik bahwa kita saling membutuhkan satu sama lain. Kita butuh orang lain untuk bekerja sama, untuk berbagi cinta, untuk mendengarkan keluh kesah kita, yang muaranya adalah untuk mencipta kehidupan.
Kita tidak bisa mengenyampingkan orang lain dalam hal kesuksesan. Dalam artian, orang lain juga turut andil dalam menyukseskan impian-impian kita. Lihat saja orang yang tengah berbisnis. Pembisnis sangat memerlukan kecakapan berbicara ketika mempengaruhi konsumen  agar tertarik pada bisnis yang digelutinya. Saya percaya bahwa kesuksesan itu sangat ditentukan oleh sejauh mana kita bisa berinteraksi dengan orang lain. Bahkan ada pernyataan satir, orang yang tidak mengenyam pendidikan sekalipun bisa lebih sukses daripada orang yang menyandang banyak gelar. Alasannya, orang pintar kadang tidak memiliki kecakapan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sementara orang bodoh terkadang bisa melakukan hal sebaliknya.
Terlepas dari obrolan tentang kesuksesan sebagaimana di atas, orang yang loyal dan punya kemampuan berinteraksi yang baik ternyata lebih dicintai daripada orang yang sebaliknya. Biasanya, orang yang memiliki kecerdasan emosional lebih memiliki kepedulian terhadap sesamanya. Kepedulian tersebut akan menggerakkan hatinya untuk menolong orang lain. Ia bisa membuat hati orang lain senang dan merasa nyaman sehingga nantinya ia bisa dicintai.
Saya ingat waktu saya masih di pesantren.  Teman-teman saya bilang, saya tipe orang yang kurang peduli lingkungan dan terkesan cuek. Kata mereka, saya sibuk dengan dunia sendiri. Saya kerap kali ditegur ketika hanya sibuk membaca buku tanpa peduli apa yang sedang terjadi di sekeliling. Saya menyadari, itu adalah sebuah kekurangan, di mana saya malah sibuk mencerdaskan otak daripada meningkatkan kepedulian (kecerdasan emosional) yang justru lebih penting. Akibatnya, jika kepedulian kita kurang pada orang lain, orang lain pun juga akan bersikap kurang peduli pada kita. Orang bilang, “sikapmu akan menentukan sikap orang lain terhadapmu”.
Saya juga menyadari akan pentingnya kecerdasan emosional waktu saya kembali ke masyarakat. Masyarakat desa tentu akan memperhatikan tingkah laku dan tindakan kita sehari-hari. Dalam Ta’limul Muta’allim memang disebutkan bahwa Ilmul Hal (Madura: elmo tengka) sangat penting dipelajari. Hal itu dirasakan pentingnya ketika nanti bermasyarakat. Kadang saya merasa teori-teori “elitis” yang saya pelajari di bangku pendidikan tidak ada apa-apanya ketika sampai di masyarakat. Yang sangat diperlukan ketika bermasyarakat adalah kecerdasan emosional, kemampuan berinteraksi yang dapat mengantarkan kita pada kecintaan mereka.
Dalam bincang-bincang santai dengan tetangga, saya merasa malu ketika mereka mengatakan kalau mahasiswa saat ini hanya bisa berteori dan saling menunjukkan kemampuan berorasi. Tapi dalam hal tengka dan berafiliasi dengan masyarakat, bisa dibilang mereka masih kurang. Tak apalah saya tersinggung, toh, kenyataannya memang seperti itu.
Coba saja perhatikan bagaimana gaya bicara mahasiswa dalam sebuah forum atau dalam kelas kuliah. Sebagai mahasiswa, saya tahu betul tentang itu. Akan tetapi ketika terjun ke dunia yang “sebenarnya” di masyarakat, mereka malah merasakan ada sekat antara dirinya dan masyarakat. Ada tabir penghalang yang sepertinya menghalangi interaksi di antara mereka. Sekat ini boleh jadi disebabkan karena teori-teori yang selama ini dipelajari tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebab demikian, penilaian masyarakat terhadap mahasiswa menjadi “min” walaupun mereka memiliki kecerdasan yang luar biasa.
Namun bukan berarti saya menampik kalau kecerdasan intelektual itu juga penting. Hanya saja, jika kecerdasan intelektual tidak berjalan seiring dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain, maka cerdas otak itu tidak bernilai apa-apa. Hanya omong kosong belaka. Contoh konkritnya adalah pejabat-pejabat kita. Mereka memang pintar-pintar, cerdas-cerdas, dan punya banyak gelar. Tapi, kenapa mereka biasa bersinggungan dengan KPK? Kenapa mereka selalu dipandang sinis oleh rakyatnya? Kenapa mereka sering terjerat mafia hukum? Ya, kenapa? Kenapa? Nah, hal inilah yang mengindikasikan bahwa kecerdasan intelektual saja tak cukup. Ada kecerdasan lain yang mereka lupakan, yakni kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Saya kemudian berkesimpulan bahwa kecerdasan emosional itu lebih dibutuhkan daripada kecerdasan intelektual dalam kehidupan kita sehari-hari. Kesimpulan ini saya dapatkan ketika sudah sama-sama merasakan menjadi seorang pelajar dan bagian dari masyarakat.
Akhirnya saya katakan, catatan ini hanyalah buah kegelisahan saya terhadap pelajar yang hanya bisa berlomba-lomba menonjolkan kemampuan intelektual, namun di waktu yang bersamaan mereka malah melupakan kecerdasan-kecerdasan lain yang juga dinilai penting. Bisa juga, catatan ini dikatakan sebagai teguran dan peringatan untuk saya sendiri agar lebih memperhatikan kecerdasan emosional ketimbang kecerdasan intelektual, agar lebih peka dan peduli terhadap lingkungan masyarakat daripada menyibukkan diri untuk mencerdaskan otak dan abai sekitar.

Lenteng Barat, 22 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar